Sesekali ia menekan nekan perutnya
Berharap hilang rasa perih laparnya
Beberapa hari sudah berpuasa
Terkadang tanpa sahur, hanya buka saja
Lebih karena untuk penghematan, katanya
Matahari semakin menjauh ke ufuk barat
Pemuda itu menunduk gelisah
Memikirkan uang kontrakan
Bayar listrik bulanan
Belanja dapur istri esok pagi
Biaya sekolah anaknya yang besar
Juga beli susu anaknya yang kecil
"Aku tak boleh menyerah,"
"Aku harus bisa melalui ini,"
"Aku harus bekerja lebih keras lagi,"
"Demi anak istriku di rumah,"
"Demi kebahagiaan keluarga, aku harus bisa,"
"Pasti bisa, pasti bisa, pasti bisa."
Kata sanubarinya menyemangati diri
-000-
Diambang keputus asaan
Dipuncak pedih kehidupan yang ia rasakan
Gelas berisi racun sudah ditangan
"Menenggaknya bisa terlepas dari semua beban"
Pikir, ibu muda itu
Gelas mulai mendekat ke bibirnya
 Ia melirik jam dinding di tembok samping
Terlihat disebelahnya, foto anak pertama
Tesenyum renyah sambil membawa piala
"Foto anakku juara cerdas cermat"
Gumam nya
Air matanya tiba tiba meleleh
Bak lahar merapi
Hangat basahi bekuanya pipi
Sambil sesenggukan
Hatinya mulai bimbang
Tentang kehidupan, dan harapan
"Aku tak siap berpisah,"
"Dengan orang orang yang kucinta,"
Katanya gemetaran
Tangisnyapun meledak tak tertahan
"Betapa malang anakku,"
"Jika tumbuh tanpa ibu"
Ia teringat pesan mendiang bapak nya
Bahwa keluarga adalah harta paling berharga
Jaga, jangan pernah menelantarkannya
Saat engkau mulai menua
Pastilah akan merasa
Cinta itu sumber energi luar biasa
Membuatmu tegar, dan ingin terus berada
Seakan baru tersadar dari mimpi buruk
Ibu itu berdiri tegak, menghirup nafas dalam
Lalu tumpahkan gelas di halaman
Tak lupa baca ulang kata wasiatnya
 Disobeknya kecil kecil kertas itu
Dengan tawa tertahan
Dalam hati terdalam ia berkata
Terima kasih Tuhan
Telah menyadarkan, sesatnya pikiran
Aku memilih tetap hidup, dan bertahan
Melawan segala problematika kehidupan