Mohon tunggu...
Putu Suasta
Putu Suasta Mohon Tunggu... Wiraswasta - Alumnus UGM dan Cornell University

Alumnus UGM dan Cornell University

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kemenangan Pluralisme, Pelajaran Penting dari Pilpres AS 2020

8 November 2020   13:57 Diperbarui: 8 November 2020   14:16 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pekan ini perhatian mayoritas warga dunia tertuju pada penghitungan surat suara Pilpres AS yang disiarkan secara live oleh berbagai media. Kita tahu, Joe Biden mengunci kemenangan setelah mengumpulkan lebih dari 270 electoral college votes berdasarkan perhitungan sementara lembaga-lembaga yang kredibel. Tapi bagi penulis, jauh lebih menarik menelisik arti kekalahan Donald Trump daripada mendiskusikan prospek pemerintahan Joe Biden.

Selama pemerintahan Donald Trump, wajah AS tampak sangat berbeda. Kita hampir tidak percaya bahwa negara yang dikenal sebagai salah satu kiblat demokrasi tersebut menjadi tempat yang tidak nyaman bagi kelompok-kelompok minoritas. 

Kita tahu, dalam 4 tahun terakhir  AS tak henti-hentinya mempertontonkan kekerasan berbau rasisme, perlakuan sewenang-wenang kepada minoritas dan mobilisasi kebencian  berbau primordial.

Saya tidak mengatakan bahwa  sebelum pemerintahan Donald Trump, masalah-masalah rasisme sudah tidak ada di AS. Setidaknya berdasarkan pengalaman penulis tinggal beberapa tahun di AS selama menyelesaikan studi paska sarjana, gesekan-gesekan kecil berbau rasisme masih kerap terjadi di tingkat akar rumput. 

Tapi di bawah pemerintahan Donald Trump, masalah-masalah seperti itu menjadi lebih besar bahkan tak jarang melibatkan aparat negara yang memicu protes besar-besaran. 

Tampak jelas ada usaha mobilisasi sentimen primordial yang kemudian dikapitilisasi secara politik. Kebijakan-kebijakan dan pernyataan-pernyataan provokatif Donald Trump sebagai presiden merupakan besin yang menyulut berkobarnya api rasisme di AS.

Simpati dan Koalisi Masyarakat Sipil

Dengan situasi sosial politik di atas, orang-orang yang memiliki kepedulian pada hak-hak sipil, nilai-nilai pluralisme dan toleransi, semakin cemas dari hari ke hari menyaksikan bagaimana Trump menjalankan pemerintahannya. Kemudian muncul kehawatiran lebih besar bahwa Trump akan berhasil mempertahankan kekuasaannya. 

Maka dalam 1 tahun terakhir semakin banyak orang yang tergerak memamfaatkan jejaring sosial untuk mengetuk hati mereka yang memiliki hak pilih di AS agar tidak menjatuhkan pilihan mereka kepada tokoh yang tak mempedulikan nilai-niai pluralisme dan toleransi. 

Bahkan baru-baru ini kita menyaksikan bagaimana para remaja yang tergabung dalam fans club K-Pop di AS mengelabui tim kampanye Donald Trump sebagai bentuk simpati mereka kepada para korban perlakuan rasisme.

Aliran simpati dari masyarakat sipil bahkan dari luar AS sendiri pada akhirnya menggugah kesadaran lebih banyak masyarakat AS untuk lebih mendengarkan nurani dalam menjatuhkan pilihan mereka dalam Pilpres. 

Penjelasan sederhana ini, ditambah dengan faktor pandemi Covid-19 yang terus menerus diingkari Trump dan akhirnya mengacaukan AS, kiranya dapat membantu kita memahami mengapa prediksi sejumlah ahli yang menggunggulkan Trump pada jam-jam awal penghitungan suara, kini terbukti salah. 

Beberapa negara bagian yang pada periode sebelumnya ditandai merah (Republik) dan memberikan kemenangan kepada Trump, berbalik menjadi biru (Demokrat) di luar prediksi para analis. 

Koalisi masyarakat sipil melalui jejaring sosial berhasil mempengaruhi pilihan warga dari merah menjadi biru (flip state) yang gagal diprediksi para analis.  

Tapi terlepas dari kesalahan prediksi para analis tersebut, kini kita bisa lega setelah menyaksikan tumbangnya kekuasaan yang tak peka pada nilai-nilai pluralisme dan toleransi.

Banyak orang tentu bingung dengan tren populisme primordial yang berhasil mengantarkan banyak tokoh menjadi pemimpin di sejumlah negara beberapa tahun terakhir ini. Trump adalah salah satu pelopornya dan contoh paling populer dalam tren tersebut. 

Kekalahan Trump kini menunjukkan bahwa kekuasaan seperti itu tidak sustainable karena demokrasi mengisyaratkan bahwa kekuasaan mesti dibangun dengan dasar nilai-nilai pluralisme dan hak-hak sipil. 

Saat nilai-nilai itu terus menerus dihianati, masyarakat sipil akan berkoalisi untuk melawannya dan dalam demokrasi tak ada kekuatan apapun yang dapat mengalahkan koalisi masyarakat sipil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun