Aliran simpati dari masyarakat sipil bahkan dari luar AS sendiri pada akhirnya menggugah kesadaran lebih banyak masyarakat AS untuk lebih mendengarkan nurani dalam menjatuhkan pilihan mereka dalam Pilpres.Â
Penjelasan sederhana ini, ditambah dengan faktor pandemi Covid-19 yang terus menerus diingkari Trump dan akhirnya mengacaukan AS, kiranya dapat membantu kita memahami mengapa prediksi sejumlah ahli yang menggunggulkan Trump pada jam-jam awal penghitungan suara, kini terbukti salah.Â
Beberapa negara bagian yang pada periode sebelumnya ditandai merah (Republik) dan memberikan kemenangan kepada Trump, berbalik menjadi biru (Demokrat) di luar prediksi para analis.Â
Koalisi masyarakat sipil melalui jejaring sosial berhasil mempengaruhi pilihan warga dari merah menjadi biru (flip state) yang gagal diprediksi para analis. Â
Tapi terlepas dari kesalahan prediksi para analis tersebut, kini kita bisa lega setelah menyaksikan tumbangnya kekuasaan yang tak peka pada nilai-nilai pluralisme dan toleransi.
Banyak orang tentu bingung dengan tren populisme primordial yang berhasil mengantarkan banyak tokoh menjadi pemimpin di sejumlah negara beberapa tahun terakhir ini. Trump adalah salah satu pelopornya dan contoh paling populer dalam tren tersebut.Â
Kekalahan Trump kini menunjukkan bahwa kekuasaan seperti itu tidak sustainable karena demokrasi mengisyaratkan bahwa kekuasaan mesti dibangun dengan dasar nilai-nilai pluralisme dan hak-hak sipil.Â
Saat nilai-nilai itu terus menerus dihianati, masyarakat sipil akan berkoalisi untuk melawannya dan dalam demokrasi tak ada kekuatan apapun yang dapat mengalahkan koalisi masyarakat sipil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H