Mohon tunggu...
Putu Suasta
Putu Suasta Mohon Tunggu... Wiraswasta - Alumnus UGM dan Cornell University

Alumnus UGM dan Cornell University

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gerakan Budaya dari Sudamala

27 Mei 2019   19:05 Diperbarui: 27 Mei 2019   21:40 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu kekayaan budaya masyarakat Bali adalah apa yang disebut subak. Secara sederhana subak dapat dijelaskan sebagai sistem pengairan sawah di Bali. Dengan pengertian yang sederhana itu, sistem pengairan semacam ini juga ada di Jawa, terutama di Jawa Barat yang hingga saat ini masih cukup lestari kawasan pesawahannya. Tetapi mengapa subak menjadi begitu terkenal di dunia, dan  sering menjadi 'sistem pengairan percontohan' bagi beberapa negara di Asia?

Karena subak di Bali hakikatnya bukan sekadar sistem pengairan. Ia bertalian dengan cara hidup, cara pandang, tersuratnya filosofi dan kearifan lokal. Sebagaimana diketahui, sebagian dari kehidupan masyarakat Bali berkaitan dengan hal-hal transenden, tradisi dan susastra kuno. Begitu pula dengan keberadaan subak. Tetapi di sini saya tidak secara khusus membahas subak secara holistik. Saya hanya mau menekankan bahwa subak bagi orang Bali adalah salah satu hal utama dalam urat nadi kehidupan mereka sebagai masyarakat agraris.

Subak sebagai 'ruh' masyarakat agraris di Bali inilah kemudian menjadi bagian yang terdampak dalam pesatnya progresivitas turisme di Bali. Kawasan pesawahan yang menjadi bagian teritegrasi dalam sistem subak lambat-laun beralih fungsi menjadi berbagai bangunan, sebagian besar dalam konteks kepentingan turistik. Hampir seluruh Bali adalah kawasan pesawahan di masa lalu, namun kini telah banyak berubah! Benar kata sebuah ungkapan; tak ada yang tinggal tetap!

Tergerusnya pesawahan di Bali dan dengan sendirinya pula akan mengikis budaya subak menjadi perhatian utama dalam diskusi perdana yang diseneggarakan oleh Sudamala. Dalam tajuk Dialog Budaya Sudamala, topik utama yang menjadi perhatian besar adalah "Menata Bali ke Depan: Prospektif Parisata dan Budaya", September 2011 silam. Salah satu pokok bahasan yang menjadi perhatian besar ketika itu adalah tentang subak. Dialog yang dihadiri sejumlah pengamat, budayawan, tokoh-tokoh adat itu secara faktual dan kritis menyikapi progresivitas pariwisata di Bali dan dampaknya pada budaya Bali.

Satu hal utama yang dibahas panjang ialah keberadaan subak di tengah gempuran nilai, perubahan dan orientasi masyarakat Bali dalam menyikapi kekinian. Berbagai pandangan kritis dan holistik menyeruak dalam dialog budaya tersebut yang  pada intinya peserta dialog tetap merasa subak---dan juga kekayaan budaya Bali lainnya---harus dipertahankan dengan kesadaran baru yang dilaksanakan dengan konsisten dan keberanian untuk menahan diri dari kepentingan hedonisitik.

Salah seorang peserta misalnya ketika itu mengungkapkan bahwa kelemahan masyarakat Bali adalah mudahnya tergoda dengan nilai-nilai baru berupa produk, gaya hidup, konsumerisme yang berkaitan dengan prestise yang sesungguhnya tak perlu, juga kebiasaan yang tak terpuji, yakni judi (tajen). Peserta lain juga mengungkapkan bahwa di masa 'perebutan kue Bali', yang utama dipikirkan ialah bagaimana para petani dan masyarakat Bali pada umumnya mendapatkan bagian 'kue' terbesar dari pariwisata Bali, dan bukan sekadar menjadi buruh/pekerja.

Sudamala nampaknya cukup serius membuka dirinya untuk menyediakan ruang dialog terhadap persoalan sosial budaya Bali. Melalui agenda tetapnya per bulan, Sudamala memberi nama tajuk acaranya: Dialog Budaya Sudamala (DBS). Berbagai pakar, tokoh, pengamat dan intelektual Bali diundang untuk membahas berbagai hal yang bersifat krusial dan kritis dalam DBS itu. menurut penggagasnya,  Ben Subrata, dialog itu bertujuan untuk membangkitkan tradisi berpikir kritis melalui diskusi tentang berbagai hal dengan sudut pandang budaya yang diharapkan mampu menawarkan pemikiran-pemikiran yang berpijak dari kearifan lokal Bali.

Dengan melibatkan pers dalam DBS itu, pihak Sudamala berharap bahwa pemikiran-pemikiran baru dari kalangan intelektual Bali dapat diketahui masyarakat dan diharapkan juga menjadi masukan bagi pemegang kebijakan di Bali.

Tradisi Kesenian Sanur

Sudamala tak hanya menyediakan ruang dialog, melainkan juga ruang untuk mengekspresikan cipta karsa dan karya. Di gedung Sudakara Art Sapce dan di sekitarnya, para pekerja kreatif, seniman, fotografer, pelukis dan pesastra diberi tempat untuk menampilkan puncak-puncak kreasinya. Bahkan anak-anak juga mendapatkan porsinya untuk berekspresi di situ.

Sejak dibukanya Sudarkara Art Space, berbagai pameran seni rupa kontemporer telah dilaksanakan. Pilihan untuk memberi ruang pada pergerakan seni rupa di Sudakara Art Space tak lepas dari lingkungan Sanur yang kental dengan sejarah seni lukis dan dan aktifnya wilayah Sanur menyelengarakan pameran-pameran seni rupa. Hingga kini, setidaknya ada tiga hotel yang relatif tetap dan berkesinambungan menyelenggarakan pameran seni rupa: Griya Santrian Resort and Spa, Maya Sanur Resort & Spa dan Sudamala Suites & Villas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun