"Wanita (ibu-ibu dan calon ibu) merupakan ras terkuat di bumi", begitu kira-kira ocehan netizen yang kerap memenuhi ruang komentar di kanal media sosial. Sebagai perempuan berdarah Indonesia, julukan tersebut sudah tidak diragukan lagi. Terlihat berbagai aktivitas yang dilakukan oleh wanita Indonesia yang begitu aktif dan tentunya bersifat menggelitik dan justru seksi jika dibahas.
Perempuan muda maupun wanita yang telah menikah memiliki peranan yang fundamental di negeri ini. Ia memiliki kedudukan yang mampu menjarah ke berbagai sector, mulai dari pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, dsb. Salah satunya adalah berperan aktif dalam literasi digital nasional.Â
Tidak dapat dipungkiri jika sumber daya manusia tanpa adanya wanita akan sangat krusial. Masifnya penggunaan gadget di tengah pandemic membuat masyarakat kian merasuki kolam konten yang tiada habisnya (infinity pool) .Â
Sebagaimana yang tercatat dalam pernyataan Kepala Dinas Kependudukan dan Keluarga Berencana Karangsem, diperkirakan 1.700-2.000 kasus perkawinan anak di 2020 masif terjadi.Â
Secara eksplisit, ini merupakan salah satu dampak negative yang ditimbulkan dari penggunaan media sosial tanpa dibarengi dengan literasi yang baik. Maraknya trend sosial media yang menyebutkan bahwa menikah muda merupakan hal yang keren, nyatanya banyak mendominasi kalangan remaja dan mengubah pemikiran mereka.
Wanita sebagai ibu maupun perempuan sebagai generasi penerus bangsa wajib menilik kasus ini dengan baik. Bagaimana mereka dapat mengupayakan secara preventif dan terkoordinir agar hal ini dapat dikendalikan.Â
Frekuensi literasi digital perempuan wajib diutamakan sebagai portal informasi keluarga, karena mulai dari ibu/wanitalah kita dapat menjaring beragam informasi sebagai manajer rumah tangga. Ibu adalah pusat dari segala pemikiran dan ruang diskusi pada keluarganya.Â
Terlebih lagi, terdata bahwa terdapat pernyataan bahwa banyak masyarakat yang kecanduan gawai hingga kejahatan online dan seksualitas yang menyebabkan anak-anak menjadi korban di angka 1.940 kasus berdasarkan data KPAI 2017-2019.
 Degradasi moral kian berlanjut karena factor pandemic dan juga sosial media yang krusial. Ini merupakan angka yang cukup besar pada kasus kejahatan sosial media ,namun akan memungkinkan untuk menekan angka tersebut jika masyarakat salah satunya wanita dapat berpartisipasi dalam hal ini.
Disrupsi teknologi memungkinkan kita semua memakai mesin otomatis sebagai pengganti tenaga manusia, namun peran ibu dalam rumah tangga menjadikan rumah tangga itu hidup tanpa mengesampingkan sosial media.
Seperti yang diketahui, kecanggihan internet yang melesat membuat kita khususnya kaum wanita wajib berhati-hati. Bagaimana tidak, literasi digital yang kurang akan membuat wanita sebagai penyalur informasi di rumah tangga atau lingkup keluarga akan kacau. Maraknya kasus hoax, ujaran kebencian, bahkan malasnya membaca nampaknya sudah menjadi penyakit turun-temurun.
Agus Cahyadi (40) yakni salah satu masyarakat di daerah Buleleng menyatakan bahwa memang terasa sekali perbedaan penggunaan teknologi dari masa ke masa, terlebih lagi saat ini banyak terdapat beragam merk yang membuat segala sesuatunya amat mudah.
"Ya, teknologi memang memudahkan, namun bisa juga berbahaya" ujarnya
Kesadaran yang masih jauh dari cukup ini tidak menutup kemungkinan akan membuat kita semakin tergerus dalam degradasi moral dan kemunduran bangsa. Wanita harus diberdayakan agar segala hal dapat berjalan dengan baik.Â
Bukan berarti wanita hanya bertugas sebagai ibu rumah tangga yang berurusan dengan perabotan rumah, namun ibu dan wanita sejati adalah ia yang mampu melakukan segala hal selain pekerjaan rumah tangga, dalam hal ini menyangkut penggunaan internet sebagai media yang akan menjadi budaya siber di masa mendatang.
Mengapa dikatakan sebagai budaya siber? Karena masifnya penggunaan gawai dan segala bentuk fitur menarik yang ditawarkan, terlebih dalam aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi, sarana prasarana, dll yang membutuhkan gawai dengan kecerdasan robot dalam membantu kehidupan manusia.Â
Para wanita mestinya menilik hal ini dan dengan bantuan pula dari berbagai pihak baik itu pemerintah maupun masyarakat Indonesia yang harus menumbuhkan kesadaran bahwa kita mesti memberdayakan wanita untuk dilibatkan dalam upaya perencanaan literasi digital yang baik, terlebih di masa pandemic ini.
Namun, seiring berjalannya waktu masih saja terdapat wanita yang kebanyakan didominasi oleh kaum ibu rumah tangga yakni belum memiliki gawai. Meskipun mereka memiliki gawai tapi juga masih ada yang belum terlalu mahir dalam memahami beragam fiturnya, sehingga lumayan menyulitkan dalam memulai literasi digital.
 Sebenarnya ini bukanlah suatu masalah yang besar, karena fitur pada gawai yang mudah digunakan membuat mereka dapat mempelajarinya hanya dalam kurun waktu yang singkat.
Maka, mulailah dari langkah kecil. Membiasakan membaca berita terkait informasi berbagai sector pada internet dan laman-laman sosial media lainnya, karena menilik fungsi gawai yakni tidak hanya sebagai fungsi hiburan, tapi bisa juga sebagai media informasi, komunikasi, edukasi, dsb.Â
Wanita mesti menyadari terlebih dahulu apa manfaat dari gawai agar dapat menyeimbangkan penggunaannya dan tidak cepat terpengaruh gawai itu untuk mencegah keluarga mereka terjerumus pula.
Membiasakan diri untuk membaca meskipun tulisan yang sedikit akan perlahan menambah wawasan kita sebagai wanita dan memecahkan stereotif bahwa wanita tidak bisa maju dan sebaiknya tinggal di rumah saja untuk melayani suami dan keluarga. Padahal, wanita tidaklah selemah itu.Â
Wanita memang memiliki kewajiban untuk mengurus rumah tangganya, namun bukan berarti mereka tidak bisa berkarya dan menjadi kader perubahan bangsa.
Selain pemerintah yang dituntut untuk memberikan pelatihan maupun pemberdayaan kepada wanita secara berkala, perlu juga kesadaran pribadi dari orang yang bersangkutan (wanita) bahwa gawai sangat penting untuk literasi digital dan kehidupan di era 4.0. Wanita mesti menyadari pentingnya bersaing di era globalisasi yang kian melesat.
 Jika kita tertinggal sedikit saja, maka sumber daya manusia lainnya akan ikut menurun keoptimalannya.
Wanita sebagai asset Negara juga mesti diberikan pendampingan khusus di setiap bulannya tentang psikologi yang khususnya memotivasi wanita Indonesia agar mau berjuang bersama memajukan bangsa di tengah hiruk pikuk krisis literasi digital.
 Orang-orang memercayai wanita sebagai orang cerdas yang siap melahirkan generasi jenius dan dibawah didikannya yang diharapkan mampu menjadi tonggak kemajuan bangsa. Disini perlu ditekankan akan dorongan mental dan penanaman perubahan pola pikir digital agar tercipta kesiapan pribadi dari para wanita bangsa.
Jika bangsa ini maju, sudah dapat dipastikan bahwa peran wanita sebagai ibu maupun generasi selanjutnya telah berhasil melalui tantangan memajukan literasi digital di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kesiapan sumber daya manusia dalam mengulik informasi maupun mencerna informasi yang ada serta mampu melakukan kejaran target persaingan di era global. Selain itu, masyarakat akan memiliki pola pikir baru tentang bagaimana agar mereka tidak diperbudak oleh teknologi.
Maka, junjung tinggilah wanita Indonesia, emansipasi Ibu Kartini yang semangat apinya tiada padam, akan selalu melekat di benak para wanita Indonesia. Dukunglah wanita Indonesia dan jadikan bangsa ini sebagai bangsa bermoral, berertika, dan mampu mencapai wawasan global yang siap bersaing dengan bangsa asing. Semoga pemerintah siaga dalam memikirkan dan merencanakan nasib Indonesia kedepannya dan juga dengan melibatkan para wanita tangguh Indonesia.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI