Mohon tunggu...
Putu Maria Ratih Anggraini
Putu Maria Ratih Anggraini Mohon Tunggu... Dosen STAH N Mpu Kuturan Singaraja

Tinggal di Singaraja Suka Membaca dan Memasak

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Krisis Spritual di Era Modernitas dalam Pandangan Filsafat Perenial

18 Juni 2020   14:12 Diperbarui: 18 Juni 2020   14:14 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Kata Hans Kueng dalam artikelnya What Do We Need a Global Ethic for?: "The Global Ethic is not a subtitute for the Sermon on the Mount of the Torah, the Qur'an, the Bhagavadgita, the Discourses of the Buddha or the Sayings of Confucius. On the contrary, it is precisely these age old 'sacred texts', which are important for billions of people, that can give a global ethic a solid foundation and make it concrete in convincing way." Pencarian etika global agama-agama berarti suatu  penziarahan antaragama dalam "menapaki jejak-jejak Ruh" melalui pengungkapan makna dalam istilah hermeneutika Paul Ricouer, 'recollection' atau juga 'restoration of meaning' dari tradisi-tradisi, ritus-ritus, simbol-simbol, dan sarana-sarana keagamaan, yang semua itu jika "ditapaki" secara benar akan membawa kepada "the timeless metaphysical truth underlying the diverse religions" yang diyakini sepenuhnya oleh kaum beragama sebagai berasal dari Tuhan-- justru karena Tuhan membuat alam kehidupan semesta ini dari Ruhnya (menarik sekali, tentang ini sekarang menjadi isu yang hangat di kalangan pemikir Kristiani, menyangkut apa yang disebut Jacob Needleman, pencarian kembali atas "jalan Kristianitas yang hilang" dalam bukunya The Lost Christianity.

            Dengan cara "menapaki jejak-jejak Ruh", filsafat perennial meyakinkan kita bahwa keanekaragaman jalan keagamaan yang ada yang pada dasarnya merupakan hak setiap individu untuk memilih jalan keselamatan sendiri dalam kenyataan historis menjadi bisa diterima dengan lapang dada, penuh toleransi dan sikap pluralis, tanpa harus menganggap lagi bahwa hanya agama sendirilah yang paling besar. Semua agama bisa menjadi paling benar secara relatif. Dari sinilah pencarian etika global bisa dirintis.

            Pada dasarnya ajaran metafisika keagamaan ini  seperti Tuhan itu sendiri hanya Satu, tapi dikatakan dengan banyak ekspresi kultural. Dengan begitu, lewat pengabaian atas perbedaan-perbedaan kultural yang ada antaragama, yang sebenarnya hanya cara memperkenalkan diri dari Yang Satu itu, dapat dikenallah adanya pandangan metafisis yang sama, yang hidup dalam jantung setiap agama. Inilah yang bersifat Ilahi dari agama-agama itu, yang selalu disampaikan dan diajarkan oleh para Nabi dan Rasul, juga para walinya, dari setiap agama yang pernah hidup dan membuat kebudayaan.

            Mengerti mengenai aspek kesatuan transenden ini, sekaligus merupakan cara mengerti pesan ketuhanan yang bersifat spiritual dan sosial kepada manusia, yang disampaikan dalam suatu bentuk agama, sekaligus cara manusia kembali kepada Tuhannya. Metafisika inilah yang menjadikan setiap agama bersifat abadi. Metafisika ini juga yang hidup dalam hati manusia, di mana di dalamnya ada "Ruh yang bersifat Ketuhanan", yang menjadi --istilah Deepak Chopra dalam  The Way of the Wizard  jalannya Orang Arif menapaki religiositasnya. Orang Arif itu adalah kita. "A Wizard exists in all of us." Tetapi kita dituntut untuk menyempurnakan diri agar menjadi arif. Kematangan dalam religiositas kita menjadi dasar pencarian etika bersama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun