Mohon tunggu...
Putu Maria Ratih Anggraini
Putu Maria Ratih Anggraini Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STAH N Mpu Kuturan Singaraja

Tinggal di Singaraja Suka Membaca dan Memasak

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Krisis Spritual di Era Modernitas dalam Pandangan Filsafat Perenial

18 Juni 2020   14:12 Diperbarui: 18 Juni 2020   14:14 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat perennial sekarang menjadi salah satu filsafat yang penting, dalam rangka memahami kompleksitas agama-agama dan keterlibatannya dalam berbagai macam persoalan kemanusiaan dewasa ini, seperti krisis spiritualitas akibat tekanan modernisme yang habis-habisan, krisis lingkungan hidup, keinginan memberikan pendasaran teoretis bagi pluralitas keagamaan, dan sebagainya. 

Filsafat perennial sebagai sebuah cara pandang filsafat keagamaan, berkaitan dengan "the universal gnosis, which always has existed and always will exist" oleh penganutnya dianggap bisa menjelaskan segala problem dan kejadian yang memerlukan kearifan dalam menjalankan dan memenuhi kewajiban hidup yang benar. Dan lebih dari itu, 'philosophy of duty' ini adalah hakikat paling mendalam dari agama-agama manusia.

Semakin dipertimbangkan cara pandang filsafat perennial ini, terlihat misalnya dalam rencana terbitan The Library of Living Philosophers, sebuah buku besar lebih dari seribu halaman yang selalu berisi biografi dan tanggapan-tanggapan rekan ahli sezamannya (dibuat sudah sejak 1939), menyangkut pemikiran seorang filsuf besar yang masih hidup. 

Sekarang ini sudah terbit lebih dari 20-an jilid. Dan ini yang menarik dalam bulan-bulan mendatang akan terbit edisi The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr, salah satu tokoh filsafat perennial paling terkemuka di akhir abad ini.

Dengan terbitnya buku tersebut, artinya seorang pemikir filsafat perennial dipertimbangkan dalam rangka filsuf-filsuf Barat. Apalagi kita tahu Nasr mempunyai perhatian yang telah mewarnai seluruh buku-bukunya pada usaha memahami kompleksitas dan perbedaan-perbedaan yang ada antara satu dan lain agama, yang selama ini banyak dianggap bahkan di antaranya adalah para ahli agama sendiri bahwa yang ada dalam realitas sosiologis agama-agama hanya perbedaan yang telah menimbulkan problem klaim kebenaran yang tidak pernah selesai dari zaman ke zaman.

Secara keilmuan apa itu psikologis, sosiologis, filosofis, bahkan teologis sebenarnya kita mengalami kesulitan besar untuk mendapatkan pengertian yang definitif dan betul-betul seimbang, tentang apa itu agama. Padahal batasan itu penting supaya kita bisa membuat kejelasan tentang tugas bersama antaragama dalam konteks pencarian suatu etika global. Setiap agama, biasanya mendefinisikan dengan caranya sendiri, apa yang disebut agama itu, dengan kadang-kadang menyisihkan agama lain, sebagai "bukan agama", atau sebagai "agama yang tidak lagi sempurna", "sudah diselewengkan pengikutnya", dan sebagainya. Dan ini biasanya disebabkan oleh gagasan yang tidak ketolongan untuk "mau selamat sendiri" di surga.

            Betapa kompleks dan sulitnya memberi batasan tentang hakikat agama yang bisa diterima semua pihak yang tanpa kecenderungan melecehkan---maka The Encyclopedia of Religion (ed. Vergilius Ferm, PhD, 1987) dalam 'entry' "Religion"-nya mencatatkan secara detail sepuluh kesalahan yang sering dilakukan para sarjana dalam memberikan batasan tentang agama. Kesalahan tersebut muncul karena mendefisinikan agama secara terlalu luas, terlalu sempit, atau terlalu kearah tertentu, sehingga bisa tidak melingkupi "yang lain". Akibat kompleksitas fenomena keagamaan ini pun, kita jadi tidak bisa dengan mudah menilai sebuah batasan tentang apa itu agama, tanpa terjatuh kepada penyederhanaan dan versi agama kita sendiri.

            Inilah salah satu agenda filsafat perennial paling penting, yang bisa memberikan kontribusi kepada wacana agama-agama yang semakin terbuka kepada pencarian dan pemecahan persoalan etika global. Huston Smith filosuf agama Amerika Serikat dalam bukunya The Forgotten Truth: The Common Vision of the World's Religions, memberi konsep yang bisa membuka jalan keluar dari problem tersebut, dengan menunjukkan adanya 'the common vision' dalam setiap agama. Penerimaan adanya kesamaan visi ini mempunyai implikasi yang tidak hanya bersifat inklusif, tetapi sekaligus pluralis yaitu mampu menghubungkan kembali realitas 'the many' dalam hal ini adalah realitas keanekaragaman agama-agama kepada asalnya yaitu Tuhan, yang diberi berbagai macam nama, sejalan dengan perkembangan kebudayaan dan kesadaran sosial dan spiritual yang ada. Berbagai macam usaha sejak zaman kuno menguraikan benang kusut tentang ini. Kesan kasat mata tentang adanya keanekaragaman agama-agama yang berbeda-beda dipecahkan filsafat perennial ini dengan cara metafisis bahwa ada satu realitas yang menjadi pengikat yang sama pada tingkat transenden dari semua agama, yang dalam bahasa simbolis bolehlah kita sebut dengan "Agama" ('The Religion', bukan 'a religion'). "Adalah penting untuk membedakan 'Agama' yang kita tulis dengan huruf "A" besar, dan 'agama' dengan "a" kecil," kata Dvid Steindl-Rast dalam bukunya  Belonging to the Universe: New Thinking about God and Nature. "Antara 'Agama' dan 'agama' ini adalah dua hal yang berbeda.

Filsafat Perennial mengandung kajian yang bersifat, a) metafisika yang berusaha menemukan adanya dasar imanen dan transenden dari segala sesuatu; b) psikologi yang menggali tentang adanya sesuatu yang sama dalam diri manusia; c) etika yang membuat tujuan akhir manusia. Kedua, krisis spiritual manusia yang dimaksud adalah sifat kerohanian yang sedang sakit, ada sebuah pengingkaran, penghancuran dan menafikan unsur-unsur ke-Tuhanan yang ada dalam diri manusia itu sendiri. Ketiga, jawaban filsafat perennial Huston Smith terhadap krisis spiritual manusia modern yakni, a) krisis spiritual manusia modern sebagai kegagalan modernitas digambarkan Smith dengan konsep metafora terowongannya, yaitu lantai dasar adalah saintisme; dinding kiri adalah pendidikan, atap adalah media, dan dinding kanan terdapat hukum. b) Krisis spiritual manusia modern sebagai kegagalan post-modernitas memiliki persamaan dengan modernisme yang melihat dunia ini sebagai satu-satunya realitas yang nyata, walaupun antara keduanya berbeda dalam pendekatannya. c) Mistisisme agama yang ditawarkan Smith sebagai solusi krisis spiritual manusia modern bersifat perennialistik. Sikap dan pandangan yang sangat beragam atau pluralistik pada manusia mesti dilandaskan dengan prinsip esoterisme masing-masing agama. d) Konsep perennial Smith sangat tepat dijadikan rujukan bagi penganut agama Indonesia, yang selama ini banyak terjebak dalam kerangka teologis agama yang kaku. Agama sesungguhnya menjadi media dan instrument bagi manusia untuk menggapai kehidupan yang luhur.

Dengan membuka perspektif yang lebih luas bahwa kebenaran suatu agama pada dasarnya hanyalah secara relatif absolut, maka kita bisa mengharapkan agama  seperti dulunya  mengambil kembali peranan pembebasan atas kemanusiaan lewat usaha mencari 'common vision', yang diterjemahkan dari suatu analisis metafisis bersama seperti yang ditulis di atas kepada kerja besar bersama dalam tataran etika sosial. Inilah sekarang yang tumbuh dalam kajian-kajian keagamaan yang ramai sekali, yang telah mempertemukan filsafat keagamaan Timur dan Barat dalam satu tema yang oleh Hans Kueng disebut sebagai 'searching for a common ethic'.

Tema-tema peranan etis-sosial ini yang bisa melibatkan visi perennial, misalnya menyangkut isu-isu kemajemukan intraagama dan antaragama, kritik moderni-tas, isu gender, isu lingkungan hidup, pandangan mengenai otentisitas kehidup-an dalam sebuah dunia kapitalisme, dasar-dasar etika sosial mengenai peradab-an, penumbuhan kembali seni sakral sebagai aspek pembebasan batin manusia yang telah ditimbuni jenis seni-seni yang tidak membebaskan batin, dan sebagainya.

            Kata Hans Kueng dalam artikelnya What Do We Need a Global Ethic for?: "The Global Ethic is not a subtitute for the Sermon on the Mount of the Torah, the Qur'an, the Bhagavadgita, the Discourses of the Buddha or the Sayings of Confucius. On the contrary, it is precisely these age old 'sacred texts', which are important for billions of people, that can give a global ethic a solid foundation and make it concrete in convincing way." Pencarian etika global agama-agama berarti suatu  penziarahan antaragama dalam "menapaki jejak-jejak Ruh" melalui pengungkapan makna dalam istilah hermeneutika Paul Ricouer, 'recollection' atau juga 'restoration of meaning' dari tradisi-tradisi, ritus-ritus, simbol-simbol, dan sarana-sarana keagamaan, yang semua itu jika "ditapaki" secara benar akan membawa kepada "the timeless metaphysical truth underlying the diverse religions" yang diyakini sepenuhnya oleh kaum beragama sebagai berasal dari Tuhan-- justru karena Tuhan membuat alam kehidupan semesta ini dari Ruhnya (menarik sekali, tentang ini sekarang menjadi isu yang hangat di kalangan pemikir Kristiani, menyangkut apa yang disebut Jacob Needleman, pencarian kembali atas "jalan Kristianitas yang hilang" dalam bukunya The Lost Christianity.

            Dengan cara "menapaki jejak-jejak Ruh", filsafat perennial meyakinkan kita bahwa keanekaragaman jalan keagamaan yang ada yang pada dasarnya merupakan hak setiap individu untuk memilih jalan keselamatan sendiri dalam kenyataan historis menjadi bisa diterima dengan lapang dada, penuh toleransi dan sikap pluralis, tanpa harus menganggap lagi bahwa hanya agama sendirilah yang paling besar. Semua agama bisa menjadi paling benar secara relatif. Dari sinilah pencarian etika global bisa dirintis.

            Pada dasarnya ajaran metafisika keagamaan ini  seperti Tuhan itu sendiri hanya Satu, tapi dikatakan dengan banyak ekspresi kultural. Dengan begitu, lewat pengabaian atas perbedaan-perbedaan kultural yang ada antaragama, yang sebenarnya hanya cara memperkenalkan diri dari Yang Satu itu, dapat dikenallah adanya pandangan metafisis yang sama, yang hidup dalam jantung setiap agama. Inilah yang bersifat Ilahi dari agama-agama itu, yang selalu disampaikan dan diajarkan oleh para Nabi dan Rasul, juga para walinya, dari setiap agama yang pernah hidup dan membuat kebudayaan.

            Mengerti mengenai aspek kesatuan transenden ini, sekaligus merupakan cara mengerti pesan ketuhanan yang bersifat spiritual dan sosial kepada manusia, yang disampaikan dalam suatu bentuk agama, sekaligus cara manusia kembali kepada Tuhannya. Metafisika inilah yang menjadikan setiap agama bersifat abadi. Metafisika ini juga yang hidup dalam hati manusia, di mana di dalamnya ada "Ruh yang bersifat Ketuhanan", yang menjadi --istilah Deepak Chopra dalam  The Way of the Wizard  jalannya Orang Arif menapaki religiositasnya. Orang Arif itu adalah kita. "A Wizard exists in all of us." Tetapi kita dituntut untuk menyempurnakan diri agar menjadi arif. Kematangan dalam religiositas kita menjadi dasar pencarian etika bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun