Mohon tunggu...
Putu Maria Ratih Anggraini
Putu Maria Ratih Anggraini Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STAH N Mpu Kuturan Singaraja

Tinggal di Singaraja Suka Membaca dan Memasak

Selanjutnya

Tutup

Beauty Artikel Utama

Kebaya Bukan Hanya Tren, namun Juga Simbol Identitas Perempuan Bali

17 Juni 2020   19:34 Diperbarui: 20 Juni 2020   02:01 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fashions dalam dunia modern tentu sudah tidak asing lagi. Dalam perkembangannya tampak terus mengalami kemajuan dan menghasilkan berbagai variasi mode dan gaya sebagai trens masa kini. 

Kemajuan dan perkembangan fashions tidak bisa lepas dari peminat dan pencinta atau pendukungnya yang selalu kreatif melakukan inovasi, mencari dan menciptakan desain-desain yang sesuai dengan selera pasar atau konsumennya. 

Fashion tidaklah hanya sekedar suatu produk untuk kepentingan pasar semata namun lebih dari itu dalam relitas sosialnya telah membonceng berbagai simbol sosial yang mengkonstruksi kehidupan atau prakis seseorang. 

Melihat gaya hidup seperti fashion; salah satunya gaya pakaian. Pakaian juga merupakan suatu simbol sosial yang dapat memberikan identitas kultural terhadap seseorang. Lebih dari itu pakaian juga dapat sebagai sarana komunikasi simbolis dan makna-makna sosial. 

Pada dunia globalisasi belakangan ini pakaian sudah tidak hanya berfungsi sebagai pembungkus tubuh dalam artian yang “tradisional” namun telah melebihi dari batas-batas fungsionalnya yang semula. Gaya pakaian (busana) yang terbaru dengan desainnya, dicitrakan secara virtual diiklankan maupun dengan menggunakan modeling-modelingnya. 

Jenis produk disertai dengan kualitas kain yang “berserat tinggi” mendukung pakaian tersebut memiliki “value”. Di sinilah busana menjadi “komoditi”. Orang yang menggunakan pakaian dengan label-label tertentu, jelas menawarkan tidak hanya pakaiannya melainkan ia membeli simbol-simbol sosial yang dapat mengangkat dan membentuk personality, prestise, gaya, gaya hidup, dan cara difrensiasi status sosial yang berbeda-beda.

Salah satu jenis pakaian yang banyak menjadi konsumsi kaum perempuan Bali adalah jenis “baju kebaya”. Mode kebaya dapat dikategorikan sebagai sebuah produk yang memiliki ciri tersendiri dan saat ini telah diakui secara nasional. Kebaya sebagai jenis pakaian tentu telah diketahui memiliki citra historis kultural. 

Dalam kesempatan ini tidak akan banyak membicarakan “arkeologis kebaya” akan tetapi lebih pada melihat perkembangan kebaya sebagai produk gaya hidup. 

Pada perempuan Bali kebaya sebagai sebuah fashions sudah tidak asing lagi. Komoditi kebaya telah berkembang tidak kalah saing dengan jenis pakaian yang lainnya. Bagi perempuan Bali menggunakan atau mengenakan kebaya pada suatu upacara atau pesta telah menjadi kebutuhan yang secara tersamar merupakan suatu ajang kontestasi pertarungan simbol-simbol dan makna-makna sosial. 

Melihat realitas sosial tersebut, dapat diamati, seorang perempuan Bali memiliki kebaya merupakan suatu keharusan. Kebiasaan yang secara tradisional pada adat dan budaya Bali maupun keagamaan tidak bisa dipungkiri ini memaksa mereka harus memiliki pakaian sejenis kebaya. 

Pasar telah mengetahui kebutuhan perempuan Bali. Melihat realitas tersebut maka pasar telah menciptakan trends maupun gaya untuk dapat dikonsumsi oleh mereka kaum perempuan Bali. 

Awalnya kebaya untuk serimonial keagamaan dan adat semata namun belakangan ini tampak telah mengalami perkembangan yang tidak hanya demikian itu namun lebih dari itu telah menjadi fashions yang mampu memberikan, membentuk personalitas terhadap pemakainya. 

Pencitraan kebaya telah mampu mengangkat gaya, berpakaian kebaya memiliki “value”. Pasar dengan menggunakan media virtual di abad ini telah memungkinkan seseorang memproduksi jenis kebaya dengan ukuran dan mode atau desain yang terbaru. 

Komodifiasi yang dilakukan oleh agen-agen budaya menghasilkan produk yang bervariasi dan “bermutu tinggi”. Desainer-desainer kebaya pun telah bermunculan menawarkan jasa maupun menjual produk-produk kebayanya. Label-label kebaya pun bersaing dan berkompetisi memperebutkan pangsa pasar. 

Tidak hanya mode atau desain yang berkembang menjadi penentu akan tetapi kulitas kain juga menjadi ukuran dan apakah itu barang impor atau produk lokal, tentunya memiliki standar “nilai sosial” yang berbeda. Itu berarti juga pencitrakan komoditas tersebut bergengsi atau tidak.

Jenis kebaya dengan kain prokat prancis, bordiran misalnnya akan berbeda dengan kain brokat jenis lokal, di samping harga yang jauh berbeda namun juga “value” atau secara nilai tukar mata uang secara simbolis akan juga berbeda. 

Bagi seseorang yang mengetahui tentang kebaya tentu itu telah secara cepat dapat menafsirkan status seseorang dan kelas sosial dengan hanya mengidentifikasi jenis kebaya yang dipakainya. 

Apakah dia menggunakan brokat prancis dengan kain bermerek impor, harga yang kompetitif atau bagi mereka yang hanya menggunakan prokat tiruan atau produk domestik; atau dengan kata lain apakah seseorang perempuan Bali mengenakan kebaya dengan gaya, desain, dan trens-nya yang terbaru; semua itu dapat pula mengangkat citra dan identitasnya.

Pencitraan terhadap kebaya juga lebih diligitimasi oleh kontestasi-kontestasi dalam panggung-panggung atau arena serimonial. Fashion show dalam dunia glamor juga tampak mempengaruhi citra kebaya.

Promosi dan penyebaran produk terbaru telah di mulai dari arena itu. Kontes ajang pemilihan Putri Bali, Putri pariwisata dan sejenisnya merupakan salah satu contoh nyata bagaimana pakaian kebaya tidak pernah ketinggalan menghiasi panggung bergengsi tersebut. 

Kebaya dapat mencitrakan sebuah identitas kultur seperti “Putri Bali” atau yang lebih ekstrim bisa saja sebagai atau dengan menggunakan kebaya mencitrakan identitas kultur “Putri Ajeg Bali”. 

Seorang pemodal atau produsen dan desainer memiliki kepentingan terhadap semua itu. “Berkonspirasi” dengan modal memproduksi dan menawarkan produk terbaru selanjutnya pasarlah yang bermain dan menjadi wasit. 

Berbagai cara digunakan memperkenalkan komoditas tersebut. Iklan produk kebaya telah bermunculan di media cetak maupun elektronik. Citra yang digunakan pun bervariatif dan tidak tanggung-tanggung menggunakan elemen adat dan agama khususnya di Bali.

Dengan pencitranan yang dibangun oleh pasar baik melalui fashion show ataupun bentuk seperti iklan dan sejenisnya sebagai ajang promosi telah membawa efek yang sangat jelas mempengaruhi gaya hidup perempuan Bali. 

Bila kita kaitkan dengan perkembangan, di mana pariwisata tampaknya telah menyumbangkan kontribusinya, yakni telah menciptakan kelas menengah baru di Bali. Tidak bisa dielakan inilah yang menjadi calon-calon konsumerisme, “tumbal-tumbal” terhadap kapitalisme global. kesejahteraan mereka yang lebih baik cenderung membawa perubahan gaya hidup untuk mengangkat citra mereka.

Disini tentu idikator yang sangat jelas terlihat adalah ekonomi. Ekonomi seseorang semakin memantapkan dirinya menapaki ruang-ruang dan membentukan “disposisi” yang dapat mengangkat kelas sosialnya.

Orang dengan tingkat akumulasi kekayaan tertentu membutuhkan media untuk menunjukan kelas, status, prestise dan dengan demikian membutuhkan massa penonton gaya hidup mereka. Kelas-kelas menengah baru memerlukan bahasa komunikasi dan bahasa estetis baru untuk mengekspresikan gaya hidup mereka (Piliang, 2004: 304).

Para perempuan kelas menengah Bali, gaya dan penampilan merupakan hal yang sentral dan cenderung menjadi yang utama walaupun itu tidak menjadi substansi namun itu menjadi yang paling penting dan semu. 

Membeli produk-produk yang berlebihan dalam kehidupannya yang sebenarnya itu tidak perlu menjadi hal yang biasa dan menganggap bahwa nilai-nilai material yang dibeli tersebut merupakan simbol sosial yang dapat mengingkatkan citra mereka sebagai masyarakat yang berkelas.

Ini berarti seperti apa yang dikatakan Bordieu yakni meskipun aturan kelas itu adalah pada akhirnya bersifat ekonomi, bentuk yang diambil bersifat kultural; pembentukan, penandaan dan pemeliharaan perbedaan budaya adalah kunci untuk memahami hal itu .

Kebaya sebagai simbol identitas kultur dapat dilihat sebagai media, membuka arena yang memungkinakan terjadinya kontestasi, adanya pertarungan simbol-simbol dan makna-makna sosial. Berkontestasi dalam ruang komunikasi simbolis.

Seorang Perempuan Bali disadari atau tidak, dengan melihat efek permainan pasar yang didukung oleh industrialisasi citra dan teknologi, menstimulasi bawah sadar perempuan Bali terutama kelas menengah untuk mengkonsumsi produk kebaya yang sedang trends dan tidak mau ketinggalan, karena itu akan mengurangi citra dirinya.

Dalam realitas sosial seorang perempuan Bali tidak cukup memiliki tiga atau empat stelan kebaya melainkan bisa puluhan kebaya dengan berbagai variasi jenis kain, model dan lebelnya.

Itulah yang dapat dijadikan bahwa budaya konsumerisme telah mencekoki ideologi mereka. Setiap kesempatan trens, gaya yang terus berubah selalu diikuti dan cenderung untuk dapat memiliki.

Diskusi-diskusi yang sering terdengan di antara mereka adalah bagaimana penampilan dan gaya mereka dapat “sempurna” menghadiri sebuah perayaan upacara adat dan agama maupun serimonial. 

Dengan mengenakan kebaya produk terbaru dengan gaya atau desain yang lagi trends dipasaran. Itulah lah suatu tuntutan gaya hidup yang mau tidak mau mereka harus memiliki setiap produk komuditi kebaya agar tidak ketinggalan dalam arena-arena pesta adat, agama ataupun dalam konteks yang lainya.

Inilah yang membuat mereka dikalangan kelas menengah tidak cukup memiliki dua atau tiga stel kebaya melainkan mengkoleksi kebaya dari berbagai merek dan jenis kain yang mesti sesuai dengan trends masa kini.

Seorang perempuan Bali dalam Berbagai kasus salah satunya dapat disimak adalah ketika mereka bertandang dalam pesta upacara keagamaan di salah satu pura, para perempuan Bali kelas menengah, penggunaan kebaya dalam penampilan, dekorasinya merupakan hal yang utama paling dijaga. 

Berkunjung ke suatu pura bukan hanya untuk sembahyang melainkan memperlihatkan sebuah “drama” bagaimana penampilan kebaya-nya dapat memberikan suatu gaya terhadap pembentukan citra dirinya. Kontestasi kebaya tampil di tengah arena pura yang saling mengkomunikasikan makna simbolisnya. 

Seorang perempuan dengan menggunakan kebaya berokat prancis di tengah arena atau pura akan dapat memberikan percaya diri yang tinggi terhadap pemakainya.

Ini berarti apa yang dipakai olehnya tentu memperlihatkan bahwa kelas sosialnya tampak memiliki perbedaan terhadap mereka yang lainnnya.

Kontestasi kebaya dalam arena pura merupakan suatu fenomena yang telah menjadi trends baik dikalangan anak remaja putri ataupun mereka kaum perempuan kelas menengah di Bali. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun