Mohon tunggu...
Putu Mahatma Satria Wibawa
Putu Mahatma Satria Wibawa Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Siswa SMAN 1 Denpasar

Seorang pemuda yang tengah mencari jati diri; Mencintai Geografi dan Antropologi Kebudayaan Manusia; Penulis amatiran

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pelita - Juara 1 Lomba Menulis Cerpen FLS2N SMA 2024 Tingkat Kota Denpasar

11 Juli 2024   17:00 Diperbarui: 11 Juli 2024   17:02 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

*) Naskah cerita pendek ini telah diikutsertakan dalam bidang lomba menulis cerita pendek dalam ajang Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) Jenjang siswa SMA Tingkat Kota Denpasar 2024. Hak cipta karya dimiliki oleh penulis cerpen Putu Mahatma Satria Wibawa, SMA Negeri 1 Denpasar dan Dinas Pendidikan & Kebudayaan Kota Denpasar.

[1]

Ritual Senin pagi, seperti awal minggu biasanya, Ratna menarik napas panjang. Dengan kesadaraan yang tersisa separuh dan dering alarm berbunyi penuh membuat Ratna menggerutu kenapa waktu seakan cepat berlalu dan luluh. Ratna menarik nafas panjang. Ia terbangun dengan kesal, langkah kaki berlari kecil dan ranjang yang masih tak dirapikan. 

Ratna kesal. Ratna merasa kesal dengan rutinitasnya yang serba tergesa-gesa. Tidakkah ia dapat menghentikan waktu, barang sedetik saja agar ia dapat memaknai setiap tarikan nafas dan jejak kaki yang ia lakukan setiap harinya? Tidakkah waktu berbelas kasih pada orang yang senantiasa berkeluh kesah? Ratna menarik nafas panjang. Rutinitas yang tergesa dan tanpa makna, pikirnya. 

Ketika Ratna keluar dari kamar rusunnya, menuruni tangga ke teras dan keluar ke halte bus, sorot matanya terhenti sejenak. Bagaikan kilat halilintar di tengah malam, singkat dan mengagetkan. Dari deretan gedung-gedung tinggi di kompleks kotanya, dengan kemegahan arsitektur yang seakan berlomb siapa yang akan mencakar langit paling tinggi. 

Dalam gemerlap kota metropolitan, terdapat manusia yang menjalani hari baik mode menikmati atau mode bertahan hidup. Surga dan neraka, langit dan bumi, alam para dewa dan alam setan, tidak berjarak lebih jauh dari pintu masuk rumah susun tempat indekosnya berada di lantai atas. 

Terbiasa hidup di pedesaan, Ratna tidak pernah menyangka bahwa di Ibukota terdapat manusia lain yang hidup dengan mengikis makanan pada tempat sampah di belakang gedung rumah susun. Ratna tertegun dan tercengang melihat bagaimana orang-orang yang selama ini tinggal di bawah jembatan, berlomba mengais makanan di tempat sampah bersama dengan hewan liar di kota, hidup dalam satu kawasan dengan pusat perekonomian negara ini? Dengung di kepala Ratna dibuyarkan dengan suara bus kota yang tiba di depan halte. Langkah Ratna perlahan, lalu Ia duduk di bangku paling belakang dekat jendela. 

Baru sebulan Ratna merantau ke Ibukota, namun dunia nyata telah menghajarnya dengan beragam realita yang kasat mata. Tiba-tiba Ratna merasa rindu akan desa yang menyaksikan belasan tahun kelahiran dan pertumbuhannya. Kemacetan dan suara klakson serta asap hitam pabrik industri yang membumbung di udara membuat Ratna ingin kembali pulang. Ke suatu tempat yang dimana ia sebut rumah. 

                                                                                                                                  

[2]

“Ibu, aku lelah hidup seperti ini di sini! Desa ini begitu membosankan! Apa yang dapat kita banggakan dari desa ini? Jalan yang kumuh, infrastruktur yang mangkrak, atap rumah yang bocor dan pintu rumah yang kendor, aku lelah! Aku ingin sekali menjalani hari seperti remaja di telenovela. Berjalan-jalan di sekeliling kota dengan gaun terbaik, mobil sedan terbaru, jalanan yang dipenuhi gedung tinggi. Oh, Sungguh indah lamunanku.” Ni Luh Putu Ratna menggerutu sembari menggosok pakaiannya di belakang rumah. Keringat mengucur dari rambutnya. Lengannya telah gatal digigit nyamuk. Udara yang panas. Ratna menghibur dirinya sendiri dengan berbagai keluhan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun