[caption caption="Screenshot dari http://www.apgml.org/"][/caption]Menurut laporan APG Yearly Typologies Report 2015 yang dirilis bulan ini, Indonesia secara teratur melakukan penelitian atau studi tentang metode dan tren Money Laundering (“ML”)/Terrorism Finance (“TF”).
Jika terdapat masalah terkini atau masalah khusus mengenai metode dan tren ML/TF, penelitian non-rutin dilakukan. Penelitian, bagaimanapun, hanya diterbitkan secara internal dan hanya untuk distribusi eksternal terbatas.
Statistik terbaru Laporan Transaksi Mencurigakan menunjukkan bahwa tindak pidana asal yang sebagian besar terkait dengan ML adalah penipuan, korupsi, dan perjudian. Namun, korupsi adalah tindak pidana asal yang paling terkait dengan ML berdasarkan analisis yang lebih rinci.
Baru minggu lalu saya presentasi di depan rekan-rekan sekantor, membawakan materi tentang prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang. Sebagai presenter yang baik, saya berikan ilustrasi tentang tren pencucian uang terbaru di Indonesia.
Mereka terbengong dan kemudian tertawa ketika saya paparkan tentang cerita suap anggota DPR yang ketahuan ‘transaksi’ di toko buah. Ketahuan kok ya di toko buah? Enggak di hotel aja biar lebih seru diliput wartawan.
Tidak hanya itu saja, mereka juga terlihat kaget ketika saya ceritakan tentang pejabat daerah yang menyimpan uang Rp 4 milyar di balik lukisan. “Ternyata koruptor segitu niatnya, ya?”, begitulah yang terdengar samar-samar di telinga saya.
Ya, itulah kisah menggelitik yang benar-benar terjadi di negeri ini.
Sejak masih kuliah, saya pernah melihat langsung upaya pendidikan anti korupsi melalui media komik. Sebagai penggemar komik, dulunya saya menganggap bahwa pendekatan visualisasi bisa jadi salah satu cara untuk menanamkan nilai anti korupsi.
Belakangan ini saya makin sadar, koruptor sudah tidak punya hati nurani, tidak mempan dengan sindiran dan tidak malu pada rakyatnya. Kurang lebih seperti pemaparan Pepih Nugraha dalam artikel yang berjudul “Tikus Kota nggak Takut Manusia”.
Tanpa kita sadari, kekayaan yang dimiliki kadang lebih dihargai daripada cara memperoleh kekayaan tersebut. Pemahaman tentang korupsi dan pencucian uang belum sepenuhnya dipahami oleh publik.
Cukup sering saya mengamati kasus, dimana koruptor menggunakan pihak lemah yang selanjutnya dijadikan “boneka” untuk menyamarkan pencucian uang. Supir pribadi, office boy, staf dan sekertaris seringkali dijadikan bemper untuk melindungi kepentingan koruptor.
Mereka dihadapkan pada situasi dilematis karena sudah menyangkut pilihan soal nafkah. Jika menolak, hilanglah mata pencaharian mereka. Sebaliknya, terlibat pun tidak bisa menjamin imunitas hukum.
Saat semua kasus muncul ke permukaan, mereka bisa terkena pasal sebagai pihak yang ‘turut serta’ walaupun bukan menjadi dalang utama.
Akibatnya apa? Hampir pasti berujung pada penjara. Itu baru gambaran umum, belum termasuk penderitaan lain seperti harus menanggung malu (kalau masih punya urat malu).
Gratifikasi, mark up pagu anggaran, lelang fiktif dan realisasi proyek yang di-downgrade merupakan beberapa teknik yang digunakan koruptor. Seperti itulah asal muasal kenapa koruptor dengan mudahnya mengumpulkan emas batangan dan mobil mewah.
Saat sudah terjerat proses hukum, tidak sedikit juga yang berani membantah jika dirinya terlibat korupsi sehingga Jaksa perlu menghadirkan saksi ahli digital forensik guna mencocokkan sampel suara pada bukti rekaman. Barulah mereka mengaku.
Lebih dari itu, koruptor punya jurus oldschool nan efektif, salah satunya dengan berpura-pura sakit untuk menghindari persidangan. Dengan berbagai alasan, mereka bisa minta rujukan untuk berobat keluar negeri. Biaya dari mana? Entahlah.
Namun itulah contoh-contoh individu yang berani berbuat tapi tidak berani bertanggung jawab. Tidak mengherankan buat saya jika Kompasianer Hendra Budiman berpendapat seperti ini:
“Memang mempertahankan prinsip tidak mudah dalam dunia nyata. Saya beberapa kali dianggap tidak solider dengan teman sendiri. Ada beberapa teman yang divonis bersalah karena korupsi. Sejak dia ditangkap sampai sudah bebas dan sampai saat ini, saya enggan untuk ketemu. Atau sikap saya yang memecat teman baik di kantor karena terbukti makan uang organisasi. Tetapi, lambat laun teman-teman bisa memahami prinsip ini”. HENDRA BUDIMAN 25 Maret 2015 16:37:41
Sebagai makhluk yang berpikir dan punya hati nurani, masihkah mau menutup mata terhadap tindakan korupsi dan pencucian uang? Jelas sekali bahwa korupsi adalah faktor di balik keterpurukan negeri ini. Dan refleksi inilah yang dimuat dalam APG Yearly Typologies Report 2015.
Sudah saatnya kita mulai memahami untuk membasmi korupsi. Kalau belum sanggup berjuang atas nama sendiri, setidaknya doakanlah agar para penegak hukum bisa punya integritas yang baik, jujur dan berani menyatakan bahwa yang salah adalah salah, yang benar adalah benar.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H