Mereka dihadapkan pada situasi dilematis karena sudah menyangkut pilihan soal nafkah. Jika menolak, hilanglah mata pencaharian mereka. Sebaliknya, terlibat pun tidak bisa menjamin imunitas hukum.
Saat semua kasus muncul ke permukaan, mereka bisa terkena pasal sebagai pihak yang ‘turut serta’ walaupun bukan menjadi dalang utama.
Akibatnya apa? Hampir pasti berujung pada penjara. Itu baru gambaran umum, belum termasuk penderitaan lain seperti harus menanggung malu (kalau masih punya urat malu).
Gratifikasi, mark up pagu anggaran, lelang fiktif dan realisasi proyek yang di-downgrade merupakan beberapa teknik yang digunakan koruptor. Seperti itulah asal muasal kenapa koruptor dengan mudahnya mengumpulkan emas batangan dan mobil mewah.
Saat sudah terjerat proses hukum, tidak sedikit juga yang berani membantah jika dirinya terlibat korupsi sehingga Jaksa perlu menghadirkan saksi ahli digital forensik guna mencocokkan sampel suara pada bukti rekaman. Barulah mereka mengaku.
Lebih dari itu, koruptor punya jurus oldschool nan efektif, salah satunya dengan berpura-pura sakit untuk menghindari persidangan. Dengan berbagai alasan, mereka bisa minta rujukan untuk berobat keluar negeri. Biaya dari mana? Entahlah.
Namun itulah contoh-contoh individu yang berani berbuat tapi tidak berani bertanggung jawab. Tidak mengherankan buat saya jika Kompasianer Hendra Budiman berpendapat seperti ini:
“Memang mempertahankan prinsip tidak mudah dalam dunia nyata. Saya beberapa kali dianggap tidak solider dengan teman sendiri. Ada beberapa teman yang divonis bersalah karena korupsi. Sejak dia ditangkap sampai sudah bebas dan sampai saat ini, saya enggan untuk ketemu. Atau sikap saya yang memecat teman baik di kantor karena terbukti makan uang organisasi. Tetapi, lambat laun teman-teman bisa memahami prinsip ini”. HENDRA BUDIMAN 25 Maret 2015 16:37:41
Sebagai makhluk yang berpikir dan punya hati nurani, masihkah mau menutup mata terhadap tindakan korupsi dan pencucian uang? Jelas sekali bahwa korupsi adalah faktor di balik keterpurukan negeri ini. Dan refleksi inilah yang dimuat dalam APG Yearly Typologies Report 2015.
Sudah saatnya kita mulai memahami untuk membasmi korupsi. Kalau belum sanggup berjuang atas nama sendiri, setidaknya doakanlah agar para penegak hukum bisa punya integritas yang baik, jujur dan berani menyatakan bahwa yang salah adalah salah, yang benar adalah benar.
Salam Kompasiana.