Mohon tunggu...
Putu Pendit
Putu Pendit Mohon Tunggu... wiraswasta -

Sekali merdeka, tetap membaca!

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kualitas Perpustakaan dan Anggota DPR

31 Maret 2016   06:19 Diperbarui: 31 Maret 2016   09:56 1799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Perpustakaan DPR-RI. Sumber: dpr.go.id"][/caption]Dapatkah kita mengaitkan kualitas dan kinerja Dewan Perwakilan Rakyat dengan kondisi perpustakaannya? Tergantung, apakah anggota dewan memang lebih sering menggunakan mata untuk membaca di waktu senggang, atau lebih sering menutup mata di tengah sidang, alias tertidur.

Itu barangkali cuma lelucon sarkastis yang tak terlalu lucu, namun adalah benar bahwa dewan memerlukan perpustakaan untuk meningkatkan kinerja mereka. Lazimnya, perpustakaan untuk anggota dewan perwakilan, atau perpustakaan parlemen (Inggris: parliamentary library, Perancis: Bibliothèque du Parlement) adalah sejenis perpustakaan khusus (special library). Dikatakan "khusus" karena memang dibangun untuk keperluan spesifik, yakni melayani para anggota parlemen dalam kiprah mereka sebagai legislator dan wakil rakyat.

Sejarah mencatat bahwa perpustakaan khusus ini sudah hadir sejak sistem parlementer atau sistem perwakilan diperkenalkan dalam tata-negara, khususnya di Eropa. Saat ini boleh dikatakan tak ada parlemen yang tak punya perpustakaan, atau setidaknya sebuah urusan khusus yang melayani kebutuhan anggota parlemen akan bacaan dan informasi. Selain perpustakaan, setiap parlemen tentu dilengkapi pula dengan kantor arsip dan dokumentasi. Semuanya ini bukan saja membuktikan betapa kokoh landasan tulis-menulis dan catat-mencatat berakar dalam politik modern, tetapi sebenarnya juga menjelaskan mengapa kualitas atau kinerja anggota dewan dapat pula diukur dari kualitas asupan bacaan atau informasi mereka.

Namun jelaslah bahwa tak semua perpustakaan parlemen terurus dengan baik, sama halnya dengan tak semua anggota parlemen rajin membaca atau menerima asupan informasi. Bahkan negeri dengan tradisi parlemen yang amat kuat seperti Inggris pun, pernah dituduh menelantarkan perpustakaan parlemen dan baru melakukan pembenahan serius setelah Perang Dunia II berakhir. Tentu saja "menelantarkan" di sini adalah ketika dilakukan perbandingan dengan salah satu perpustakaan parlemen paling terurus di dunia, yaitu Library of Congress (sering disingkat LoC) di Amerika Serikat.

Perpustakaan DPR-RI Sekarang
Saat ini di salah satu gedung di Senayan itu, bercokollah perpustakaan. Keberadaannya sudah cukup lama, walau bukan merupakan perlengkapan orisinal DPR. Kondisinya saat ini juga sudah berbeda dari semula, dan secara substansial pernah dikembangkan dengan serius dan profesional ketika pada tahun 1990-an sebuah yayasan dari Amerika Serikat, yakni the Asia Foundation, memberi bantuan dana dalam rangka apa yang mereka namakan The National Legislative Strengthening Program (NLSP).

Tujuan bantuan dari Paman Sam itu adalah meningkatkan kapasitas anggota dewan untuk melakukan riset, analisis, penyusunan anggaran, dan perancangan undang-undang. Kapasitas-kapasitas ini dianggap penting demi menjamin kinerja Dewan. The Asia Foundation lalu meminta tolong kepada Universitas Indonesia agar membentuk tim yang akan membantu DPR-RI. Sebagai bagian dari NLSP, tujuan bantuan dari Tim UI waktu itu agak spesifik: menciptakan semacam alat-kelengkapan yang bertugas menopang anggota-anggota dewan dengan hasil-hasil kajian, sedemikian rupa sehingga anggota memiliki cukup bahan bagi pengambilan keputusan maupun tindakannya sebagai seorang legislator.

[caption caption="Sumber: uraikan.com"]

uraikan-dot-com-56fc91ca6323bd2305b3629d.jpg
uraikan-dot-com-56fc91ca6323bd2305b3629d.jpg
[/caption]Alat-kelengkapan seperti itu, di kalangan para pegiat perpustakaan dan informasi, lazim disebut sistem informasi bagi pendukung pengambilan keputusan (information and decision-making system). Lazim pula sistem yang demikian dilengkapi tiga perangkat informasi dengan fungsi penting, yaitu perpustakaan, dokumentasi, dan arsip. Semuanya berbantuan-komputer dan berjaringan sesuai perkembangan teknologi di zamannya. 

Perangkat-perangkat ini sebenarnya belum tentu dipakai langsung oleh anggota dewan. Perpustakaan parlemen pada umumnya memang bukan terutama dibangun untuk para anggota duduk-duduk membaca atau kongkow-kongkow sesama politisi. Melainkan, perpustakaan dan perangkat informasi ini adalah untuk information specialist yang bertugas di masing-masing komisi.

Istilah yang lebih keren buat mereka adalah: staf ahli, yakni seseorang yang siap siaga memasok data dan informasi bagi setiap anggota dewan. Istilah yang lebih teknis buat figur ini adalah subject specialist (orang dengan pengetahuan khusus tentang sumber informasi bidang tertentu). Mereka punya cukup pengetahuan dan keterampilan dalam mencari, menemukan, dan mengelola informasi spesifik yang diperlukan seorang anggota dewan.

Para spesialis subjek ini tentu saja menjadikan perpustakaan sebagai sumber utama, ke mana mereka menimba informasi jika diperlukan. Selain itu, seksi dokumentasi dan arsip juga ikut terbangun sebagai bagian dari kelengkapan, khususnya untuk salah satu fungsi penting lainnya yang berkaitan dengan akuntabilitas. Ini akan saya ulas di bagian berikut.

Akses Publik
Pada umumnya kita mengenal perpustakaan sebagai penghimpun berbagai sumber bacaan dan informasi dari luar (eksternal) lembaga induknya untuk keperluan dan penggunaan internal. Namun dalam banyak kasus, perpustakaan juga bertanggungjawab menghimpun produk informasi dari lembaga induknya sendiri. Ini terutama terjadi pada lembaga-lembaga riset dan akademik yang memang sehari-harinya bekerja sebagai konsumen sekaligus produsen informasi. Di banyak lembaga tersebut, perpustakaan bahkan berkolaborasi amat erat dengan unit riset dan unit publikasi. 

Dalam kasus perpustakaan dewan, tugas menghimpun produk informasi internal ini juga berkaitan dengan akuntabilitas lembaga publik. Sebagaimana dijelaskan di atas, perpustakaan dewan merupakan "markas" para staf ahli yang sehari-hari mendukung kerja para anggota dewan. Pada dasarnya, tugas utama staf ahli ini adalah melakukan riset dan penghimpunan data serta informasi dari berbagai sumber. Hasil pekerjaan mereka seringkali adalah laporan-laporan penelitian dan kertas-kerja yang akan menjadi dasar bagi berbagai keputusan anggota dewan. Inilah produk informasi yang perlu disimpan atau didokumentasi oleh perpustakaan dewan.

Sebagai unit dari lembaga publik, maka produk internal di perpustakaan Dewan ini juga wajib tersedia bagi akses publik. Dengan kata lain, perpustakaan dewan perlu dirancang sebagai pusat dokumentasi yang terbuka untuk umum. Bahkan bukan hanya dokumen pendukung maupun produk legislatif yang harus disediakan, melainkan juga rekam-jejak kinerja Dewan pada umumnya. Itu sebabnya, banyak perpustakaan parlemen di negara-negara lain berfungsi sekaligus sebagai pusat informasi (information centre) atau pusat layanan informasi bagi media (media centre). Demi menjamin integritas dan kualitas layanan informasi publik inilah seringkali perpustakaan Dewan bekerjasama atau bahkan bergabung dengan pusat arsip dan unit-unit lain yang berkaitan dengan dokumentasi dan publikasi.

[caption caption="Sumber: news.okezone.com"]

news-dot-okezone-dot-com-56fc9167e3afbd950d0334f4.jpg
news-dot-okezone-dot-com-56fc9167e3afbd950d0334f4.jpg
[/caption]Bahkan, sebagai bagian dari keseluruhan sistem legislatif di sebuah negara, seringkali perpustakaan dewan juga menjadi titik koordinasi layanan informasi hukum bekerjasama dengan lembaga-lembaga terkait di pihak eksekutif maupun yudikatif. Penyediaan layanan informasi tentang kebijakan nasional, undang-undang, dan berbagai produk hukum lainnya seringkali menjadi bagian dari kegiatan utama perpustakaan Dewan.

Itulah sebabnya, di banyak negara dengan sistem pemerintahan demokratis yang terbuka, perpustakaan dewan menjadi salah satu perpustakaan terpenting selain Perpustakaan Nasional (national library) dan Arsip Nasional (national archive). Di masa-masa pra-digital dan pra-internet, peran penting ini seringkali diejawantahkan pula dalam bentuk bangunan fisik yang besar dan megah. Negara-negara Eropa Barat, misalnya, menjadikan perpustakaan parlemen mereka sebagai ikon demokrasi, baik dalam bentuk layanan informasi yang cergas dan terbuka, maupun dalam bentuk gedung yang artistik dan megah.

Belakangan, setelah informasi dapat dikemas lebih ringkas melalui teknologi digital, dan layanan dapat lebih diperluas via Internet, ukuran fisik dan kemegahan ini tinggallah menjadi aspek simbolik dari perpustakaan. Kuantitas dan kualitas layanan informasi perpustakaan di zaman kini tak lagi langsung dikaitkan dengan besar-kecilnya gedung, melainkan dengan ekstensif-tidaknya layanan informasi lewat Internet.

Perlukah Perpustakaan Dewan menjadi Perpustakaan Umum?
Setidaknya ada dua perpustakaan parlemen yang fungsi dan kedudukannya menjadi begitu penting di tingkat nasional, sehingga menjadi perpustakaan nasional di negara tersebut, yaitu The National Diet Library (NDL) (国立国会図書館 Kokuritsu Kokkai Toshokan) di Jepang, dan Library of Congress di Amerika Serikat. Keduanya tentu saja mempunyai sejarah panjang dan kontekstual dengan perkembangan demokrasi di negaranya masing-masing. Baik ukuran fisik jumlah koleksi, maupun keluasan fungsi layanan di dua perpustakaan ini berkembang selama puluhan, bahkan ratusan tahun, sebelum akhirnya menjadi seperti sekarang.

[caption caption="Library of Congress di Amerika Serikat. Sumber gambar: britannica.com"]

library-of-congress-as-britannica-dom-56fc9101f692733505c597dd.jpg
library-of-congress-as-britannica-dom-56fc9101f692733505c597dd.jpg
[/caption]Perpustakaan-perpustakaan parlemen di negara lain, misalnya di Jerman, juga ada yang berevolusi menjadi perpustakaan nasional, namun akhirnya tetap memiliki perpustakaan parlemen yang terpisah. Perpustakaan parlemen di India dan Australia seringkali dianggap sejajar, atau bahkan lebih besar dari perpustakaan nasionalnya, terutama dalam layanan publik dan keleluasaan akses. Jumlah koleksi perpustakaan parlemen dan perpustakaan nasional di kedua negara nyaris sama dan sering nampak saling bersaing bersusul-susulan.

Di negara-negara tersebut, perpustakaan parlemen menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses pemerintahan yang terbuka bagi umum. Tak dapat pula dipungkiri, masyarakat di negara-negara tersebut juga telah memiliki kesadaran dan kebutuhan yang tinggi akan data, informasi, dan pengetahuan yang berhubungan langsung dengan hukum dan perundang-undangan. Akibatnya, perpustakaan-perpustakaan parlemen di negara tersebut berlomba dengan waktu dan teknologi untuk terus menyempurnakan layanan publik mereka.

Tidaklah mengherankan jika perpustakaan-perpustakaan parlemen di sana tampil secara amat representatif dan profesional. Dari segi bangunan, perpustakaan-perpustakaan itu memang megah dan memiliki ruang baca yang lapang sekaligus nyaman. Masyarakat luas bisa keluar-masuk dengan cukup leluasa dan para penyelenggara perpustakaan atau pustakawan bekerja secara amat profesional untuk menjamin ketersediaan informasi yang cukup.

Tidaklah pula mengherankan jika dana pengembangan dan pemeliharaan perpustakaan-perpustakaan ini menjadi cukup besar dan bahkan menyaingi dana untuk perpustakaan nasional atau perpustakaan ibukota (capital library). Ini yang mungkin dapat menjadi alasan bagi para anggota DPR-RI untuk mengusulkan anggaran sampai lebih dari setengah trilyun. Namun justru karena alasan ini pula sebaiknya anggota DPR-RI membuktikan bahwa kebutuhan akan informasi dan pengetahuan legislatif memang sudah mendesak untuk dipenuhi.

Daripada berdebat dan membuka kontroversi tentang dana yang mencengangkan itu, sebaiknya DPR-RI memeriksa baik-baik kondisi perpustakaan yang sekarang sudah ada, memahami kembali fungsi penting perpustakaan itu di keseluruhan sistem informasi Dewan, dan yang lebih utama lagi: melakukan introspeksi tentang pemanfaatan data, informasi, dan pengetahuan di kalangan anggota dewan yang terhormat. 

Masyarakat umum masih meragukan hal ini, sebab dewan kita memang belum sepenuhnya lepas dari citra anggota "tukang stempel" yang berpusat kegiatan 3-D, duduk-diam-dapat duit. Tentu belum perlu ada perpustakaan dan sistem informasi untuk anggota yang kerjanya seperti itu, bukan!? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun