Jika perpustakaan-perpustakaan jenis lain berkonsentrasi pada kuantitas dan kualitas koleksi buku atau bahan pustaka lain (baik yang digital maupun yang non-digital), perpustakaan umum biasanya juga giat menyelenggarakan aneka kegiatan (events) sosial-budaya. Tak hanya menyediakan bacaan, melainkan juga memutar film, mengadakan resital musik, atau membuka diskusi aneka topik yang hangat.
Untuk dapat menyelenggarakan semua inilah, sebuah Perpustakaan Umum yang terletak di sebuah kota metropolitan setingkat Jakarta memerlukan orang-orang yang profesional. Sudah ada pendidikan berdasarkan keilmuan yang memproduksi orang-orang profesional di bidang perpustakaan ini, yaitu di jurusan-jurusan ilmu perpustakaan (library science). Ada sedikitnya 13 universitas di seantero negeri ini yang memiliki jurusan itu, baik yang berada di bahwa fakultas budaya, komunikasi, sosiologi, maupun teknologi informasi. Jika melihat ragam "induk"-nya, jelaslah bahwa jurusan-jurusan tersebut bersandar pada ilmu yang lintas-disiplin (trans-disciplinary) maupun beragam-disiplin (multi-disciplinary).
Landasan ilmu yang beragam itu pulalah yang memungkinkan seorang Sarjana Perpustakaan bekerja dalam situasi multi-kultural dan multi-dimensional, walaupun ia secara spesifik memiliki keterampilan teknis yang berkaitan dengan pengelolaan buku, dokumen, dan informasi.
Arsip dan keterbukaan informasi untuk publik
Hal lain yang juga amat penting dan sering luput dari perhatian kita semua adalah kenyataan (dan harapan!) bahwa Perpustakaan Umum juga memiliki fungsi sebagai pusat informasi pemerintah dan penyelenggaraan pemerintahan. Itulah sebabnya ada kata "dan Arsip Daerah" pada nama BPAD. Di mana-mana di dunia ini, khususnya di negara-negara demokratis yang menyadari pentingnya keterbukaan informasi, Perpustakaan Umum sekaligus merupakan tempat ke mana rakyat datang untuk mencari informasi.
Secara lebih khusus, Perpustakaan Umum dan Arsip Daerah berkewajiban menyediakan segala informasi yang diperlukan publik untuk berperanserta dalam mengatur kehidupan mereka di masyarakatnya. Inilah esensi demokrasi yang mengajak-serta (involving democracy) sebagai rangkaian dari demokrasi yang bertumpu pada informasi (informing democracy). Ini pula esensi dari UU no 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (lihat di sini :Â http://bit.ly/YPdk84).
Semakin jelaslah bahwa Perpustakaan Umum dan Arsip Daerah adalah sebuah ruang publik yang terbuka dan mendorong (encouraging) penerapan hak rakyat khususnya dalam akses ke sumber informasi. Jelaslah bahwa institusi ini bukan institusi pasif yang menunggu kedatangan pengunjungnya, melainkan sebaliknya adalah sebuah institusi yang secara aktif mempromosikan kebebasan akses tersebut.
Dalam konteks Indonesia pada umumnya, dan Jakarta pada khususnya, maka Perpustakaan Umum dan Arsip Daerah benar-benar perlu menjadi insitusi yang memasyarakat, bukan institusi birokratif. Dari pengalaman dan pengamatan awam saja (tak perlu penelitian ilmiah, tetapi akan lebih baik jika ini dapat dilakukan!) jelas bahwa saat ini perpustakaan-perpustakaan yang dikelola pemerintah pada umumnya adalah lembaga-lembaga birokratis. Kita dapat membuat kesimpulan sederhana, bahwa rasa-rasa (the feel and the look) birokrasi inilah yang menyebabkan lembaga-lembaga perpustakaan dan arsip kurang popular di masyarakat.
Jika ingin mencari akar persoalan yang lebih mendasar lagi, barangkali kita juga harus memeriksa kesungguhan Pemerintah untuk memenuhi hasrat masyarakat tentang keterbukaan. Lalu dengan merujuk ke persoalan ini, kita juga dapat kembali berargumentasi bahwa diperlukan seorang yang benar-benar profesional, dan bukan birokrat, untuk menjalankan Perpustakaan Umum dan Arsip Daerah.
Jakarta perlu perpustakaan yang setara dan menjadi tauladan!
Dari semua uraian di atas, kiranya argumentasi Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi yang diajukan dalam bentuk protes kepada Gubernur Jokowi atas keputusannya memindahkan Wali Kota Jakarta Selatan menjadi Kepala BPAD, cukup jelas dan gamblang. Secara sederhana sekali, mereka hanya menginginkan agar Jakarta menjadi contoh bagi daerah-daerah lain dalam membangun dan mengembangkan jasa Perpustakaan Umum dan Arsip Daerah yang profesional dan pro-rakyat.
Jakarta perlu Perpustakaan Umum yang nyaman dalam layanannya, komprehensif dalam kandungan informasinya, dan terbuka dalam sikapnya. Melihat kondisi kotanya, Perpustakaan Umum tersebut juga seharusnya mencerminkan kelimpahruahan sumberdaya finansial DKI Jakarta, sekaligus keragaman kultural penduduknya. Ini bukan hanya perkara membangun gedung yang megah (yang pasti mudah dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta), tetapi juga perkara lokasi, sikap para pengelolanya, dan kemudahan-kemudahan yang disediakannya bagi penduduk Jakarta.
Yang dimaksud dengan penduduk Jakarta, tentu saja, bukanlah hanya anggota-anggota masyarakat kelas menengah atas melainkan terutama anggota-anggota masyarakat kelas lainnya. Terlebih-lebih, sudahlah saatnya bagi Pemerintah untuk memfokuskan layanan Perpustakaan Umum justru kepada kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini terpinggirkan, baik karena latar belakang ekonomi, pendidikan, maupun gaya-hidup mereka.