Mohon tunggu...
Putu Fahrudin
Putu Fahrudin Mohon Tunggu... Freelancer - Belajar dan bekerja dalam harmoni

Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Saatnya Budaya Indonesia Mendunia

3 November 2020   17:55 Diperbarui: 3 November 2020   18:29 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi via greatnesia.id

Globalisasi mendorong kemajuan di berbagai sektor-sektor dalam kehidupan bermasyarakat, baik itu sektor ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Kemajuan ini membawa dampak yang beragam, seperti terciptanya internet, sistem transaksi elektronik (cashless), perdagangan bebas (free trade), jaringan televisi nirkabel, dan banyak lagi. 

Dari berbagai kemajuan itu, tampaknya masyarakat saat ini telah menyadari bahwa globalisasi tidak hanya membawa dampak yang baik, namun juga dampak buruk yang akhir-akhir ini mulai terasa. Seperti yang kita tahu, globalisasi menyebabkan adanya ketergantungan negara berkembang kepada negara maju. 

Hal ini karena negara-negara inti (core) seperti Amerika, Russia, China memiliki daya tawar yang sulit untuk ditolak oleh negara berkembang (semi periferi), misalnya saja dalam hal pariwisata, Indonesia sangat bergantung kepada China  karena wisatawan China menyumbang 13 persen dari total wisatawan asing yang datang ke Indonesia setelah Malaysia. 

Pelemahan di China akan berdampak ke Indonesia. Satu persen pelemahan ekonomi China akan mendorong pelemahan di Indonesia 0,3 persen sampai 0,6 persen (republika.co.id). Di sisi lain, hal yang paling banyak dirasakan oleh masyarakat adalah soal kesenjangan sosial, dimana masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi lebih tinggi akan semakin makmur berkat akses teknologi dan pengetahuan yang mereka miliki. 

Sementara masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah akan semakin sulit untuk bertahan hidup karena keterbatasan akses dan tingkat pengetahuan yang rendah.. 

Seperti yang dikatakan Oberai dan Halsall (2018) dalam bukunya yang berjudul "Revisiting Globalization : From A Borderless to A Gate Global" bahwa 'globalisasi dijual sebagai tatanan dunia baru yang membuat 'jutaan orang dilupakan atau dibuat tidak terlihat.' Dunia saling berhubungan dengan komitmen untuk berbagi 'baik dan buruk', akan tetapi pada kenyataannya, yang baik dari globalisasi hanya dinikmati oleh segelintir minoritas, sementara mayoritas hanya merasakan dampak buruk.

Apa yang kita pelajari tentang globalisasi dibangku sekolah mungkin sangat berbanding terbalik dengan apa yang kita rasakan hari ini. Globalisasi yang dulu diagung-agungkan dengan jargon "global village" dimana semua orang dari berbagai penjuru dunia dapat hidup berdampingan dengan harmonis dan jaminan kesetaraan antar golongan, nampaknya masih jauh dari kata berhasil. 

Lahirnya media-media global seperti Times, CNN, CNBC, Al Jazeera, serta media lain berpotensi untuk menyebarluaskan agenda yang telah disusun oleh para elit global dengan agenda setting dan framing yang digunakan. Dapat juga dikatakan bahwa ini merupakan kolonialisme gaya baru, yaitu kolonialisme elektronik. 

Dalam hal ini, media mengembangkan peran dari hanya sebatas penyampai informasi menjadi penyampai "budaya bersama" yang dapat mempengaruhi persepsi dan nilai-nilai budaya lokal. Artinya, media secara nyata memiliki potensi untuk menggusur nilai- nilai budaya, bahasa, gaya hidup, pandangan politik seseorang, kelompok atau bahkan suatu negara.  

Kekuatan media itulah menurut McPhail (2014, 17:18) dalam "Global Communication Theories, Stakeholders and Trends" disebut sebagai Electronic Colonialism Theory (ECT), dimana media-media global, termasuk periklanan, mempengaruhi cara melihat, berpikir, dan bertindak konsumen global.

Lalu, pertanyaan yang muncul dalam benak kita adalah, mampukah Indonesia bersaing untuk dapat mempertahankan budaya lokalnya di tengah gempuran budaya global?

Pertanyaan itu sebenarnya dapat dijawab dengan mudah. Namun, ada beberapa poin yang harus diperhatikan, antara lain :

Pertama, dibutuhkan pemerataan akses terhadap teknologi informasi dan komunikasi (TIK), terutama di daerah-daerah Indonesia yang terluar dan tertinggal. Pembangunan infrastruktur TIK yang berbasis lingkungan perlu didukung guna tetap memperhatikan keberlangsungan antara budaya dan ekosistem sekitar.

Kedua, pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 175,4 juta dengan penetrasi mencapai 64 persen (tekno.kompas.com). Itu artinya, dari total 272,1 juta populasi di Indonesia, sebesar 64 persennya telah terkoneksi internet. Denga banyaknya pengguna internet, ini dapat dimanfaatkan sebagai agen "pembawa pesan budaya" Indonesia kepada masyarakat global melalui internet. Jika selama ini kita hanya terfokus pada kekaguman masyarakat terhadap budaya barat, kini saatnya untuk memperknalkan budaya Indonesia yang unik dan beragam.

Ketiga, agenda konkrit dari pemerintah sebagai penentu kebijakan untuk dapat mempertahankan budaya lokal dengan membuat grand desain yang bisa menangkal kolonialisme elektronik. 

Selain itu, membuat kebijakan yanga mampu mendorong masyarakat umum dalam memanfaatkan 175,4 juta pengguna internet untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat global tentang keberagaman dan keunikan budaya indonesia, dengan memperhatikan ECT sebagai landasan pemikirannya.

Dengan memperhatikan 3 poin tersebut, bukan tidak mungkin Indonesia akan terbebas dari kolonialisme elektronik, bahkan menjadi negara yang mampu memberikan warna kepada masyarakat global dengan berbagai keunikan budayanya. Ditambah lagi dengan perkembangan media sosial seperti Instagram, Twitter, Facebook, dan yang terbaru Tiktok yang semakin dinamis, membuat peluang Indonesia untuk dapat mempertahankan dan memperkenalkan budaya kepada masyarakat global menjadi semakin terbuka lebar.

Jadi, jika Ibu Megawati Soekarnoputri kembali mempertanyakan sumbangsih milenial dan menantang kita di hadapan media, kita bisa dengan lantang menjawab "sebagai pahlawan yang mempertahankan budaya lokal melalui internet, Bu".

Sumber Referensi :

McPhail, Thomas L. (2014). Global Communication Theories, Stakeholders and Trends Fourth Edition. UK : John Wiley & Sons, Inc.

Oberoi, Roopinder, & Halsall, P. (2018). Revisiting Globalization : From A Borderless to A Gate Global. Switzerland: Springer International Publishing AD

Replubika

Kompas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun