Mohon tunggu...
Putri Zhafira S.H.
Putri Zhafira S.H. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pembaharuan Hukum Terkait Batas Usia Perkawinan di Indonesia

4 Desember 2024   18:00 Diperbarui: 4 Desember 2024   18:03 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Di Indonesia, pernikahan adalah salah satu institusi penting yang melibatkan banyak aspek hukum, sosial, dan budaya. Salah satu isu yang belakangan ini mendapat perhatian besar adalah batas usia minimal perkawinan. Hukum yang mengatur batas usia perkawinan di Indonesia telah mengalami beberapa pembaharuan, baik melalui Undang-Undang (UU) maupun keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), dengan tujuan untuk melindungi hak-hak anak, perempuan, dan keluarga, serta mendukung pembangunan sosial yang lebih adil dan setara.

Batas usia minimal perkawinan merupakan salah satu topik yang sering diperdebatkan dalam hukum keluarga di Indonesia. Sebelumnya, berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas usia perkawinan untuk perempuan adalah 16 tahun, sementara untuk laki-laki adalah 19 tahun. Namun, angka ini mendapat sorotan dari berbagai pihak, baik dalam konteks kesehatan, pendidikan, dan hak asasi manusia, terutama karena tingginya angka pernikahan dini yang terjadi di berbagai daerah.

Pernikahan dini sering kali menjadi penyebab berbagai masalah sosial, seperti rendahnya tingkat pendidikan, meningkatnya angka kemiskinan, dan tingginya risiko kesehatan bagi ibu dan anak. Di sinilah pentingnya pembaharuan hukum untuk menanggulangi pernikahan dini dan memastikan bahwa setiap individu dapat menikah pada usia yang lebih matang secara fisik, emosional, dan mental.

Pada September 2019, pemerintah Indonesia melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mengesahkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 yang mengubah batas usia minimal perkawinan bagi perempuan. Dalam undang-undang ini, batas usia minimal perkawinan bagi perempuan dinaikkan menjadi 19 tahun, sama dengan batas usia untuk laki-laki.

Perubahan ini merupakan respons terhadap kebutuhan untuk menurunkan angka pernikahan dini yang masih tinggi di Indonesia, serta mendukung program pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan, terutama di kalangan perempuan dan anak-anak. Dengan adanya pembaharuan ini, diharapkan angka pernikahan pada usia dini dapat berkurang signifikan, sehingga perempuan memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengenyam pendidikan dan mengembangkan potensi diri sebelum memasuki jenjang pernikahan.

Alasan Alasan Pembaharuan Hukum Pidana Terkait Batas Usia Perkawinan 

1. Perlindungan terhadap Anak dan Perempuan

2. Peningkatan Akses Pendidikan

3. Pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga 

4. Kesehatan Ibu dan Anak 

Selain pembaharuan dalam batas usia minimal perkawinan, pembaharuan hukum pidana terkait perkawinan anak juga penting untuk diangkat. Dalam Pasal 2 UU Perkawinan, disebutkan bahwa pernikahan yang dilakukan sebelum batas usia minimal yang ditetapkan oleh undang-undang dianggap sah secara hukum. Namun, ketika pembaharuan ini diterapkan, pihak yang terlibat dalam pernikahan anak di bawah usia yang sah dapat dikenakan sanksi pidana. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mengatur bahwa setiap tindakan yang mengarah pada pemaksaan pernikahan anak dapat dikenakan hukuman pidana, termasuk ancaman pidana bagi orang tua atau pihak yang memberikan izin pada pernikahan anak. Bahkan, beberapa negara bagian di Indonesia telah memperkenalkan kebijakan hukum pidana yang lebih ketat untuk menanggulangi pernikahan anak, termasuk melalui program pendampingan hukum dan sosial.

Meskipun perubahan hukum ini diharapkan dapat mengurangi angka pernikahan dini, implementasinya di lapangan tetap menghadapi berbagai tantangan. Di beberapa daerah, terutama di pedesaan, pernikahan dini masih dianggap sebagai bagian dari tradisi dan budaya yang sulit diubah. Oleh karena itu, selain pembaharuan hukum, dibutuhkan upaya edukasi dan sosialisasi yang lebih intensif kepada masyarakat tentang bahaya dan dampak negatif pernikahan dini.

Perubahan ini diharapkan dapat mengurangi pernikahan dini, meningkatkan akses pendidikan, dan mengurangi risiko kesehatan bagi perempuan dan anak. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai lembaga terkait dalam mengedukasi dan mendorong perubahan sosial yang lebih progresif.Dengan komitmen yang kuat dan kesadaran yang berkembang di kalangan masyarakat, Indonesia dapat menuju masa depan yang lebih adil dan setara bagi seluruh  warganya, terutama bagi perempuan dan anak-anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun