Mohon tunggu...
PUTRIYANA ASMARANI
PUTRIYANA ASMARANI Mohon Tunggu... Editor - Bookstagrammer

Lahir di Mojokerto. Esai, resensi, puisi, dan cerpennya terbit di media lokal dan internasional; Jawa Pos, The Suryakanta, TelusuRI, The Jakarta Post, Cassandra Voices, Indian Periodical, dst.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bagaimana Jepang Melindungi Sinyo

22 Juni 2024   20:00 Diperbarui: 22 Juni 2024   20:26 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

       

    Belum genap satu minggu sejak Jeroen tak lagi mendengar kabar bapaknya Jan Boudewijn setelah keduanya terpisah di Buitenzorg, ia menggandrungi tontonan gratis bersama Tante Alice di sebuah serambi penginapan dua tingkat Batavia dirindangi kenari berlatar kicau nuri. Di bawah sana, di ruas jalan kota terbuka, dua hari setelah Belanda menyerah, satu peleton tentara Jepang berbaris khidmat. Dua tentara KNIL yang bertugas menjaga rumah Belanda tak jauh dari sana, menyusul lari terbirit-birit menyetorkan muka pada seorang kelasi Jepang. Keduanya melayangkan bungkuk homat dan sebelum mengucap salam, kepala mereka meleduk tepat mengiringi letus senapan.

            “Kau lihat sendiri kan,” Tante Alice menyeruput seduhan teh melati produksi lumbung perkebunan Priangan yang katanya bisa bikin tenang tapi ia memicingkan mata, siaga pada segala, “Asia for the Asians.”

            Beberapa hari ke depan, tontonan pagi hingga sore menjelang bersama Tante Alice akan menjadi kebiasaan. Tentara Jepang mulai mengisi jalan-jalan padat dan lenggang, berlipat ganda, menganak semang. Tetangga sesama Belanda mulai hengkang mencari pengungsian, sedangkan yang memilih tinggal menyerahkan seluruh kehidupan mereka pada sebuah kabar. Rumah-rumah kosong ditelanjangi perampok ketika bulan mengangkang, dan alih wahana kepentingan di siang bolong ketika matahari menusuk atap-atap kusam; ada yang dipakai untuk pemberkasan, menyusun strategi pengusiran, hingga ‘rumah jagal dan penyanderaan’.

            Jeroen masih bersandang Sinyo, baik sejak jagadnya memayu maupun perlahan merupa medan Kurukshetra. Ia masih seorang sinyo dan ia cukup sadar bahwa ia bukan lagi totok sembilan tahun yang baru diizinkan bertelanjang kaki ketika hujan membasahi Surabaya. Ia tak lagi bangun pagi karena sengatan aroma gula jawa yang masak di atas tungku atau pingsan setelah babunya mengorak sayap laron untuk camilan. Ia tak lagi bebas berkelana mengitari sudut-sudut pasar yang penuh dengan timbunan sisa tinja dari usus yang baru saja dibedah dan dibersihkan, sengak bulu-bulu ayam, dan kulit sapi yang dibentangkan.

            Ia tak lagi menemukan bocah-bocah ingusan yang khusyuk menontonnya bermain ditemani seorang jongos dari balik pagar. Ia tak bisa melupakan ocehan bocah-bocah tengik itu; “Matanya biru sekali, rambutnya bersinar kuning seperti jembut jagung muda, kalau kita yang bermata hitam dan berambut hitam mengeluarkan kotoran berwarna kuning, kira-kira ia kalau berak warnanya seperti apa?” Ini membikin Jeroen menggigil, tapi setidaknya sejak itu ia tahu bahwa baik ia maupun jongosnya mengeluarkan warna berak yang sama.

            “Tante, kenapa kita malah ongkang-ongkang saat orang lain sudah hengkang merasa terancam?” Jeroen lupa tehnya telah lama terhidang, matanya membidik latihan prajurit di bawah sana, dua orang Jepang bergulat, bertelanjang dada, dan berlumuran minyak, diiringi puluhan penyorak.

            Tante Alice sudah mengutus salah satu babu untuk menuangkan teh ke gelasnya. Sebelum ia menjawab pertanyaan Jeroen, ia menggeleng sambil berkomentar, “Manusia barbar itu!” tanpa mengalihkan pandang barang sejengkal pada laga dua manusia. “Kamu harus ingat, apapun situasinya, tidak akan ada yang berani menyentuh keluarga Jan Boudewijn.”

            Sore itu tontonan berlangsung lebih lama, Tante Alice enggan beranjak dan Jeroen menekuri bagian tubuh yang gampang diserang dan paling babak belur. Tante Alice mungkin betah karena ia tak sanggup melewatkan pemandangan dada yang diminyaki sampai ia ogah membaca surat yang diantar ke serambi dan menyuruh Jeroen saja yang membacakan surat itu untuknya.

            “Jepang menawarkan perlindungan, begitu katanya?” Tante Alice sontak menanggapi dan ia menyahut surat dari tangan Jeroen. “Perlindungan macam apa, kita sudah aman di serambi ini.” Tante Alice memanggil Tegar, orang suruhannya yang juga merangkap sebagai sopir. “Siapa saja yang dapat surat ini? Kamu tahu?”

            “Pengirim menyampaikan, surat ini membawa kabar baik untuk Nyonya, juga untuk seluruh keluarga Belanda lainnya yang tersisa di Batavia.”

            “Tapi apa maksudnya kita disuruh membawa barang-barang berharga dan meninggalkan yang tidak perlu, kita mau dibawa ke mana?” Wajah tante Alice memerah, lebih merah dari pewarna yang dituang ke atas adonan kelanting.

            “Ampun Nyonya,” Tegar tak juga paham dengan situasi, bukankah perlindungan berarti sesuatu yang bagus?

            “Ada sesuatu yang tidak beres, kamu lihat sendiri di sini,” Tante Alice menyodorkan surat pada Tegar yang gemetar dan berpeluh keringat dingin, “bahwa perlindungan ini menghendaki bebasnya buruh, jongos, babu, juga koki, dan seorang Nyonya hanya boleh membawa satu babu perempuan saja!” Surat dicampakkan ke atas ubin dan Tegar sigap memungutnya.

            Dalam hati Tegar bersuara, “Apakah ini yang disebut merdeka?”

            “Kau sendiri,” Tante Alice menuding Tegar, “apa yang bakal kau lakukan setelah ini, bisakah kau membuat dirimu berguna? Kau bakal menganggur dan anak-binimu bakal terlantar kalau kau tak ikut bersamaku. Kau tahu berapa jumlah prajurit Alexander Agung heh Tegar? Kalau jutaan pengabdi saja tidak cukup baginya dan ia harus impor prajurit dari negara jajahannya, bagaimana bisa aku hidup dengan satu babu?”

            “Tante, bukankah sudah berbulan-bulan kita menanti kabar ini?” Jeroen bangkit dari kursinya, tubuhnya tak lebih tinggi dari sandaran kursi dan meja lebih tinggi dari dagunya. Tante Alice ambruk di atas ubin yang menguap di bulan Maret, pandangannya terpancang pada Jeroen, bukankah ia terlalu belia untuk meresapi kecamuk ini?

            Tegar belum sempat menyerahkan lengannya untuk memapah sang nyonya karena sebentar kemudian pintu terbedol dari engselnya, satu regu pasukan campuran prajurit Jepang, beberapa PETA, dan mungkin juga segelintir Heiho, menerobos dan mengepung. Jeroen segera lari terbirit-birit menyembunyikan muka di ketiak Tante Alice. Tegar menghadap dengan dua lutut menyentuh tanah, menghamba.

            “Sore, Nyonya Alice,” seseorang berada paling depan, menenteng senapan menyambut dengan salam. Sungguh sopan kelakuannya, tapi kenapa ia bawa senjata segala.

            “Kami semua sanak Jan Boudewijn, dan bocah ini adalah anak laki-lakinya,” Tante Alice menyahut dengan tergesa, ia memastikan bahwa saudara Asia satu ini harus sadar siapa yang membuka jalan bagi mereka.

            “Oh tak perlu khawatir Nyonya, kami cuma mau menyusul Nyonya bersama Sinyo, kami membuat tempat perlidungan khusus untuk Nyonya di Little Laan Wych―”

            “Tapi aku sudah aman di sini, biarkan kami sendiri,” Tante Alice memotong.

            “Apakah Nyonya bisa memastikan situasi aman besok atau di kemudian hari? Nyonya tahu berapa banyak pribumi yang menginginkan Nyonya dan Sinyo mati?”

            Tante Alice menyisih, ia bangkit ditolong Tegar dan salah satu prajurit. Semua perabot diangkut tapi tidak untuk keperluan Tante Alice dan Tegar, keduanya hanya berbekal beberapa lembar pakaian. Segala yang berharga diserahkan pada mereka yang berkuasa atas perlindungan. Jeroen tak melakukan hal lain kecuali mencontoh Tante Alice yang membungkuk pasrah, sendika ratu pada kaum yang membuka jalan bagi mereka untuk menelanjangi Hindia Belanda.

***

            Mereka tak bohong soal Little Laan Wychert, di sudut jalan teronggok Kamp Kramat, puluhan perempuan Belanda beserta anak-anak mereka sudah bergerayangan di tempat itu entah sejak kapan. Berbeda dengan kamp lain yang memiliki pagar tinggi, berkawat duri, dan menara pengawasan, Kamp Keramat merupa hunian lenggang tak berpagar, bisakah tempat ini, sebagaimana mereka bilang, memberi perlindungan?

Di siang bolong pencuri pribumi mengendap-endap di halaman belakang, mencuri kutang, pakaian, dan gaun yang dibentangkan di jemuran. Ini membuat ibu-ibu gusar, mereka minta dibikinkan pagar tapi Komandan Isigawa berkata, “Kalau mau kalian bikin pagar sendiri.”

            “Jeroen,” Tante Alice mendongeng setelah menghadap Komandan Isigawa, ini bukan kali pertama, “aku sudah kehabisan legenda, tapi yang satu ini kau tak bakal menemukannya di seluruh mitologi Eropa; seorang pangeran putra pembesar Belanda dipenjara di tanah kelahirannya, di sana pangeran itu sendiri yang bikin dapur dan toilet bersama, menegakkan tiang jemuran, dan memagari dirinya sendiri sehingga tidak ada yang bisa menyelamatkannya.

            “Sang pangeran, ia seorang tawanan, seorang interniran, Jeroen. Tapi ia diizinkan keluar dari tahanan sebulan sekali untuk beli kebutuhan dapur. Ia boleh pergi ke mana pun asal harus mengalungkan kartu tanda tawanan di lehernya. Ia bahkan bisa berhenti sebentar di tukang foto untuk mengenang penampilannya yang masih belia. Ia bisa pergi ke mana saja, Jeroen, tapi di sore hari ia kembali ke penjaranya, seperti ayam ternak yang dibiarkan bebas tapi saat senja menjelang mereka berbondong-bondong kembali ke kandang.”

            Selama berbulan-bulan Jeroen mendengar dongeng yang sama, hingga tak terasa Kamp Kramat sudah penuh dan ia bersama Tante Alice dimuntahkan ke Kamp Cideng. Di Kamp Cideng Jeroen juga membantu menegakkan tiang jemuran dan membangun pagar, tidak ada yang berbeda, baik di Kramat maupun Cideng, hanya saja Tante Alice mulai sering diam dan Jeroen, sejak kecil, tak banyak bicara kecuali hanya untuk bertanya.

            “Tante, apakah papa tahu di mana aku berada? Mengapa aku tak pernah mendengar kabar darinya?”

            “Apa maksudmu, Pangeran?” Tante Alice tertawa-tawa, Jeroen tahu dengan siapa ia bicara, Tante Alice, tentu saja. Ia Tante Alice tapi bukan Tante Alice, Tante Alice selalu rapi dan meminyaki rambutnya, Tante Alice selalu wangi, selalu―, “Tentu saja baginda raja akan menyelamatkan putranya, tapi kau lihat itu?” Tante Alice menunjuk-nunjuk angkasa. Jeroen ingin kabur tapi Tante Alice mencengkeram lengannya. “Baginda raja tidak bisa berbuat apa-apa, dari dulu ia cuma memasang muka duka di antara awan yang berarakan di atas sana.”

Tentang Penulis

Putriyana Asmarani adalah penulis konten kreatif, risetnya identitas raja-raja Melayu mendapatkan beasiswa riset di National University of Singapore. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun