"Naluriah seorang pelaut mendorongnya untuk medongak. Di atasnya, di bawah kelam langit yang mematung setelah gemuruh tersisa, kabut hitam menukik rendah, membentuk garis memanjang, dalam acak bercak, dalam embusan angin berserabut dan berpilin-pilin. Di halaman dan rumah mengambang awan bundar, suram awan kelam tak enyah, yang membuntuti para pelaut resah---sebagaimana kusut rambut perempuan yang berduka." (Penulis: Terjemah bebas)
      Sebagai fiksi sejarah, An Outcast of The Island, secara eksklusif menuntaskan kejanggalan dan membeberkan intrik kotor imperialisme di Semenanjung Melayu. Ia membuka peluang besar untuk eksplorasi lebih lanjut ketimpangan dalam sejarah dan relasi kekuasaan antar koloni. Tidak hanya itu, novel ini begitu terbuka soal dekadensi, kemerosotan moral, dan kondisi depresi para tokohnya. Keterbukaan ini tentunya menjadi wawasan untuk mendalami narsisme para penguasa bandar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H