Sumber Foto: https://i0.wp.com/reaktor.co.id/wp-content/uploads/2019/09/ruu-kuhp.jpg?resize=648%2C344&ssl=1
RUU KUHP merupakan rancangan undang-undang yang dibuat untuk meng-update Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Diketahui pengesahan RUU KUHP di tahun 2019 ditunda presiden karena banyaknya penolakan dari masyarakat publik melalui aksi demo secara besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa pada September 2019 lalu.
Dan baru-baru ini dari kabar yang beredar pemerintah serta DPR dalam waktu dekat ini akan mengesahkan rancangan undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Tentu saja hal ini sontak membuat masyarakat publik terkejut. Pasalnya sampai hari ini draft RUU KUHP yang terbaru belum juga dipublikasikan.
Belum dipublikasikannya draft terbaru RUU KUHP membuat masyarakat publik resah dan bingung karena belum mengetahui pasal-pasal seperti apa yang akan disahkan. Tentu saja hal mengejutkan ini banyak ditentang masyarakat karena pemerintah dinilai tidak transparan dan tidak mengikut sertakan aspirasi masyarakat publik dalam membuat perundang-undangan ini.Â
Kewaspadaan dan keresahan masyarakat tentu saja merupakan hal yang lumrah. Dengan KUHP yang akan disahkan nantinya tentu saja semua orang bisa kena pasal pidana misalnya dari guru, tukang ojek, mahasiswa, kreator konten, pedagang, dan lain sebagainya kecuali orang-orang yang dilindungi pasal-pasal tersebut.
Masyarakat dipaksa masih berpegang pada draft RUU KUHP tahun 2019 sebagai gambaran rancangan undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang akan disahkan.Â
Penolakan ini bukan tanpa alasan, pada draft RUU KUHP 2019 terdapat pasal-pasal yang dinilai bermasalah. Contoh pasal tersebut misalnya pada Pasal 218 tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 353-354 tentang Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara, dan lain sebagainya.
Pada Pasal 218 ayat 1 berbunyi:
"Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV."Â
Pada Pasal 353 ayat 1 berbunyi:
"Setiap Orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II."
Pada Pasal 354 berbunyi:
"Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III."
Pasal-pasal tersebut dinilai berbenturan dengan hak kebebasan berpendapat/ menyampaikan aspirasi masyarakat publik yang ditujukan kepada presiden, wakil presiden, lembaga negara, dan lain sebagainya. Memang benar kebebasan berpendapat bisa dibatasi tetapi tentu saja hal ini harus memenuhi beberapa prinsip misalnya, diatur dalam undang-undang, tidak berlebihan, hal yang dibatasi ini beralasan, serta dibutuhkan. Sedangkan pembatasan kebebasan berpendapat yang dihabas kali ini dinilai malah akan merugikan lembaga negara dalam menjalankan fungsinya. Belum lagi Indonesia merupakan negara demokrasi dimana kebebasan berpendapat atau menyampaikan aspirasi adalah hal yang sangat penting untuk menjamin terciptanya pemerintahan yang bersih.
Pasal-pasal tersebut dinilai hanya melindungi pihak yang berkuasa, sedangkan masyarakat publik merasakan keresahan sebab kebebasan berekspresi mereka akan dibatasi. Belum lagi dalam pasal-pasal tersebut tidak memiliki penjelasan lebih detail dalam mendeskripsikan penghinaan yang dimaksud. Karena kita sendiri tahu bahwa tingkat tersinggung seseorang berbeda-beda yang artinya hal ini merupakan hal yang subjektif.
Masyarakat seperti dipaksa untuk membatasi setiap menyampaian pendapatnya pada pemerintah agar tidak menyinggung yang bersangkutan. Seharusnya hal ini tidak terjadi sebab asas hukum Indonesia yaitu semua sama dimata hukum, tidak ada perbedaan kedudukan dari masyarakat biasa sampai orang-orang pemerintah itu sendiri untuk menjalani hukum yang ada.
Hal ini bisa menjadi pernyataan besar dari publik untuk pemerintah, apakah perlakuan hukum ini akan adil? Jika masyarakat bisa dipidana saat menyinggung/ menghina orang-orang pemerintahan, apakah orang-orang pemerintahan juga bisa dipidana saat menyinggung/ menghina masyarakat?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI