Kau sibuk berdansa-dansi dari pangung ke panggung
sementara aku berlarian menampung kesepian
yang  kau tuang dari gayung  retak.
Tidak.
Bukan menampung.
Tepatnya terjarah kesepian.
Seberapa pantas kesepianku harus diperjuangkan?
Kau sibuk berdansa-dansi dan memintaku
riuh dari kejauhan. Dengarlah tepukankuÂ
yang paling kencang
plok...plok...plok
Kesepian mengajariku menikmati
sorot lampu panggungmu  yang kian lama
mengeringkan airmata.
Kau tahu aku dry eyes.
Level airmataku nyaris nol.
Nyaris.
Mungkin sudah tumpah dalam kucuran kesepian.
Kesepian apa lagi yang harus diperjuangkan
di tengah riuh ruang dansa-dansi?
Jakarta, 28 Mei 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H