Mohon tunggu...
Putri Ramadhani
Putri Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Raden Mas Said Surakarta

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menguatkan Peran Agama dan Dukungan Lingkungan Untuk Menekan Maraknya Pelecehan Seksual di Era Modern

2 Desember 2024   21:25 Diperbarui: 2 Desember 2024   21:53 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     Pelecehan seksual salah satu isu sosial yang semakin marak di era modern. Meski banyak masyarakat yang semakin terdidik dan teknologi semakin maju, pelecehan seksual tetap menjadi hal yang mengancam kehormatan dan keamanan individu, terutama perempuan dan anak-anak. Dalam konteks ini, peran agama dan dukungan
lingkungan menjadi aspek penting yang harus dimaksimalkan untuk mencegah dan menangani masalah ini.

     Pelecehan seksual adalah tindakan yang bersifat seksual tanpa persetujuan, baik secara fisik, verbal, maupun nonverbal, yang mengakibatkan korban merasa tidak nyaman, terintimidasi, atau dirugikan. Pelecehan ini dapat terjadi di mana saja di tempat kerja, institusi pendidikan, ruang publik, bahkan di lingkungan keluarga. Maraknya pelecehan seksual sering kali dipicu oleh ketidakseimbangan kekuasaan, norma sosial yang bias, serta kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya saling menghormati.

* Faktor Penyebab Maraknya Pelecehan Seksual di Era Modern:

1. Kerentanan Norma Sosial

     Di era modern, norma-norma sosial yang dulunya menjadi landasan moral masyarakat perlahan terkikis. Gaya hidup modern yang cenderung liberal dan sering kali mengutamakan kebebasan pribadi di atas tanggung jawab sosial. Hal ini membuat batasan moral menjadi kabur, sehingga perilaku yang sebelumnya dianggap tidak pantas kini lebih diterima atau diabaikan. Salah satu penyebab utama adalah budaya patriarki yang masih mengakar kuat. Budaya ini menempatkan laki-laki dalam posisi dominan, sedangkan perempuan sering dianggap sebagai objek atau pihak yang lebih rendah. Ketimpangan gender seperti ini membuat perempuan lebih rentan menjadi korban pelecehan seksual. Dalam banyak kasus, pelecehan bahkan dianggap "normal" atau sekadar "bercanda," sehingga tidak ditindak secara serius.

Contoh: Seorang pekerja perempuan di sebuah kantor sering kali menjadi objek komentar fisik dari rekan laki-lakinya. Mereka mengomentari penampilannya dengan nada seksual, namun ketika perempuan tersebut menyatakan ketidaknyamanannya, mereka hanya tertawa dan mengatakan bahwa ia "terlalu sensitif."

2. Pengaruh Teknologi dan Media

     Kemajuan teknologi, terutama internet, menciptakan ruang baru bagi pelaku pelecehan seksual. Media sosial, aplikasi pesan instan, dan platform berbagi video sering disalahgunakan untuk menyebarkan konten atau melakukan tindakan pelecehan.

Beberapa bentuk pelecehan melalui teknologi meliputi:

* Sexting tanpa persetujuan: Pelaku mengirim pesan atau gambar dengan muatan seksual kepada orang lain tanpa izin.
* Pelecehan di media sosial: Komentar bernuansa seksual pada foto atau postingan seseorang.
* Distribusi konten tanpa izin: Foto atau video pribadi yang diambil atau disebarkan tanpa persetujuan.

     Teknologi juga memperumit masalah ini karena sering kali pelaku menggunakan identitas palsu atau anonim, sehingga sulit ditindak. Selain itu, budaya daring yang permisif terhadap perilaku kasar sering kali memperburuk situasi, di mana korban tidak hanya dilecehkan oleh satu orang tetapi juga oleh banyak orang secara bersamaan melalui serangan daring (cyberbullying).

Contoh: Seorang wanita muda mendapati fotonya yang diambil dari akun media sosial telah diedit secara tidak senonoh dan dibagikan di grup anonim. Ia menerima pesan bernada seksual dari orang-orang tak dikenal yang mengakses gambar tersebut, namun sulit baginya melacak pelaku utama.

3. Kurangnya Pendidikan Seksual

     Di banyak masyarakat, pendidikan seksual masih menjadi topik yang tabu. Akibatnya, banyak individu tumbuh tanpa pemahaman yang benar tentang seksualitas, batasan pribadi, dan pentingnya persetujuan (consent).

     Pendidikan seksual yang sehat mencakup pengetahuan tentang tubuh manusia, hak
atas tubuh sendiri, serta cara menghormati tubuh orang lain. Ketika hal ini tidak diajarkan, individu mungkin tidak memahami bahwa tindakan seperti menyentuh tanpa izin atau mengirimkan pesan seksual adalah bentuk pelecehan. Ketidaktahuan
ini juga sering kali melanggengkan mitos atau stereotip, seperti anggapan bahwa korban pelecehan "memancing" pelaku melalui pakaian atau perilaku mereka. Hal ini tidak hanya memperburuk pelecehan, tetapi juga membuat korban enggan melapor karena merasa bersalah.

Contoh: Seorang siswa sekolah menengah meraba teman perempuannya saat bercanda di kelas. Ketika ditegur, ia mengatakan bahwa itu "bukan masalah besar" karena mereka teman dekat. Siswa tersebut tidak memahami bahwa tindakan itu melanggar batasan pribadi dan dapat dianggap sebagai pelecehan seksual.

4. Lingkungan yang Tidak Mendukung

     Lingkungan sekitar memiliki peran besar dalam mencegah atau memperparah pelecehan seksual. Ketika lingkungan cenderung permisif terhadap tindakan pelecehan atau tidak memberikan dukungan kepada korban, kasus pelecehan
cenderung meningkat. Banyak korban yang tidak melapor karena takut tidak dipercaya, dihakimi, atau justru disalahkan. Di sisi lain, pelaku sering kali merasa aman karena mengetahui bahwa tindakan mereka tidak akan ditindak serius. Hal ini menciptakan budaya diam atau pembiaran terhadap pelecehan seksual. Lingkungan yang tidak mendukung juga dapat mencakup institusi yang tidak memiliki mekanisme untuk menangani laporan pelecehan, seperti tempat kerja tanpa kebijakan anti-pelecehan atau sekolah yang
tidak memberikan edukasi terkait masalah ini.

Contoh: Seorang mahasiswi yang dilecehkan oleh dosennya melapor ke pihak universitas. Namun, laporan tersebut tidak ditindaklanjuti dengan serius, dan ia justru menerima tekanan dari pihak kampus untuk "menyelesaikan masalah secara damai" demi menjaga reputasi institusi.

5. Pemahaman Agama yang Lemah

     Agama mengajarkan nilai-nilai moral, seperti menghormati hak dan martabat manusia, menjauhi tindakan yang merugikan orang lain, dan menjaga kesucian hubungan antarindividu. Namun, nilai-nilai ini sering kali tidak dipahami secara mendalam atau bahkan diabaikan. Sebagian masyarakat hanya mempraktikkan agama secara simbolis, tanpa menerapkan nilai-nilai inti yang diajarkan agama. Selain itu, ada juga kasus di mana ajaran agama disalahpahami atau diselewengkan untuk membenarkan perilaku
tertentu, seperti menggunakan dalih agama untuk menyalahkan korban pelecehan atas cara berpakaian mereka. Pemahaman agama yang lemah juga membuat banyak orang tidak menyadari bahwa pelecehan seksual adalah bentuk dosa dan pelanggaran yang serius.

Contoh: Seorang pria yang dikenal sebagai tokoh agama di komunitasnya terus-menerus membuat komentar seksual kepada perempuan muda dengan dalih bercanda. Ketika ditegur, ia mengatakan bahwa tindakan tersebut adalah "haknya sebagai laki-laki" dan bukan hal yang bertentangan dengan nilai agama.

* Jenis-Jenis Pelecehan Seksual

1. Pelecehan Fisik: Kontak fisik yang tidak diinginkan, seperti sentuhan, ciuman, atau meraba tanpa izin.
2. Pelecehan Verbal: Komentar bernuansa seksual, lelucon kasar, atau godaan yang tidak pantas.
3. Pelecehan Nonverbal: Bahasa tubuh, gestur, atau gambar dengan muatan seksual yang mengintimidasi.
4. Pelecehan Online: Pelecehan melalui media digital, termasuk penyebaran konten intim tanpa izin atau ancaman berbasis seksual.

* Solusi: Menguatkan Peran Agama dan Dukungan Lingkungan

1. Pendidikan Nilai-Nilai Agama

     Agama adalah fondasi moral yang kuat dalam kehidupan manusia. Setiap agama mengajarkan pentingnya penghormatan terhadap martabat manusia, larangan untuk menyakiti orang lain, dan nilai-nilai kasih sayang serta kepedulian. Namun, pendidikan agama harus disampaikan dengan cara yang inklusif dan relevan dengan
konteks zaman. Pendidikan agama memberikan pemahaman tentang batasan moral yang jelas,
seperti larangan terhadap perilaku yang tidak menghormati hak orang lain. Selain itu, agama mendorong pengendalian diri, empati, dan tanggung jawab terhadap sesama. Ketika nilai-nilai ini ditanamkan sejak dini, individu akan memiliki prinsip kuat untuk menolak perilaku buruk, termasuk pelecehan seksual.

Upaya Implementasi:

* Di sekolah, pelajaran agama dapat memasukkan materi tentang pentingnya menghormati tubuh dan privasi orang lain.
* Dalam keluarga, orang tua dapat mengajarkan nilai-nilai agama melalui diskusi sehari-hari tentang menghormati batasan dan melawan kekerasan.

Contoh Implementsi: Seorang remaja yang aktif dalam kegiatan keagamaan sering diajarkan tentang pentingnya menghormati semua makhluk sebagai ciptaan Tuhan. Hal ini membuatnya peka terhadap isu pelecehan seksual dan aktif membantu teman-temannya yang menjadi korban untuk melapor.

2. Pemberdayaan Lingkungan Sosial

     Lingkungan sosial, termasuk keluarga, sekolah, dan masyarakat, memainkan peran penting dalam menciptakan ruang aman bagi individu. Ketika lingkungan mendukung, korban merasa lebih percaya diri untuk berbicara dan melaporkan pelecehan yang mereka alami. Lingkungan yang responsif terhadap kasus pelecehan seksual dapat
mengurangi budaya diam atau pembiaran. Hal ini juga membantu menciptakan kesadaran kolektif tentang pentingnya menghormati hak setiap individu.

Upaya pemberdayaan:

* Dalam keluarga: Orang tua perlu membuka komunikasi dengan anak-anak tentang pelecehan seksual, memberikan edukasi tentang cara melindungi diri, dan menjadi pendengar yang baik jika anak melaporkan sesuatu yang mencurigakan.
* Di masyarakat: Program penyuluhan, diskusi, atau pelatihan untuk meningkatkan pemahaman tentang pelecehan seksual dapat membantu
mengubah pola pikir masyarakat yang permisif terhadap pelecehan.

Contoh implementasi: Di sebuah desa, sebuah komunitas lokal menyelenggarakan diskusi terbuka yang melibatkan perempuan, laki-laki, dan remaja. Mereka membahas pentingnya melawan pelecehan seksual dan cara mendukung korban. Setelah diskusi ini, kasus pelecehan di desa tersebut menurun karena masyarakat menjadi lebih waspada.

3. Edukasi Seksual yang Komprehensif

     Edukasi seksual bukan hanya tentang biologi tubuh, tetapi juga mencakup pemahaman tentang persetujuan (consent), batasan pribadi, dan cara melindungi diri dari pelecehan. Kurangnya pemahaman tentang seksualitas yang sehat sering kali menjadi akar masalah pelecehan seksual. Dengan edukasi seksual yang tepat, individu
akan memahami apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam hubungan interpersonal.

Materi edukasi seksual yang perlu diajarkan:

* Konsep persetujuan: Semua tindakan harus didasari oleh persetujuan bersama tanpa paksaan.
* Hak atas tubuh: Setiap orang berhak menentukan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan terhadap tubuhnya.
* Cara melindungi diri: Mengenali tanda-tanda pelecehan dan cara melaporkannya.

Contoh implementasi: Di sebuah sekolah menengah, guru memberikan pelajaran tentang pentingnya menghormati batasan pribadi teman sekelas. Para siswa diajarkan bahwa "tidak" berarti "tidak," dan bahwa bercanda dengan menyentuh seseorang tanpa izin adalah salah. Lalu siswa yang mendapatkan edukasi seksual komprehensif mampu mengenali tanda-tanda pelecehan dari pesan yang ia terima di media sosial. Ia melaporkannya kepada orang tua dan pihak berwenang sebelum situasinya
memburuk.

4. Penegakan Hukum yang Tegas

     Hukum harus menjadi pelindung utama bagi korban pelecehan seksual. Penegakan hukum yang tegas memberikan efek jera kepada pelaku dan menunjukkan bahwa pelecehan seksual adalah pelanggaran serius yang tidak boleh diabaikan. Banyak kasus pelecehan seksual tidak dilaporkan karena korban merasa hukum tidak akan melindungi mereka. Dengan hukum yang jelas, tegas, dan diterapkan tanpa pandang bulu, masyarakat akan merasa lebih aman dan pelaku akan berpikir dua kali sebelum melakukan tindakan pelecehan.

Langkah-langkah yang diperlukan:

* Mempermudah akses korban untuk melapor, misalnya melalui hotline khusus atau pusat pengaduan.
* Memberikan hukuman berat kepada pelaku sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
* Menyediakan layanan konseling dan rehabilitasi bagi korban agar mereka dapat pulih dari trauma.

Contoh implementasi: Pemerintah kota mengadakan pelatihan bagi polisi untuk menangani kasus pelecehan seksual dengan lebih sensitif. Mereka juga mendirikan pusat layanan terpadu bagi korban, di mana mereka bisa melapor pelaku diadili dan dijatuhi hukuman sesuai undang-undang, memberikan keadilan bagi korban, mencegah pelecehan lebih lanjut dan mendapatkan dukungan psikologis.

5. Penggunaan Teknologi untuk Pencegahan

     Teknologi dapat digunakan sebagai alat untuk mencegah pelecehan seksual dan memberikan ruang aman bagi korban. Teknologi adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern. Ketika digunakan dengan benar, teknologi dapat menjadi solusi efektif untuk mendeteksi, melaporkan, dan mencegah pelecehan seksual.

Inovasi teknologi untuk pencegahan:

* Aplikasi pelaporan pelecehan: Memungkinkan korban melaporkan pelecehan secara langsung dan anonim.
* Kampanye digital: Menyebarkan informasi dan edukasi tentang pelecehan seksual melalui media sosial.
* Sistem keamanan pintar: Kamera atau alarm di ruang publik untuk mencegah tindak pelecehan.

Contoh implementasi: Sebuah perusahaan teknologi mengembangkan aplikasi di mana korban bisa melaporkan lokasi pelecehan secara real-time. Aplikasi ini terhubung dengan polisi lokal untuk memberikan respons cepat.

6. Pelibatan Tokoh Agama dan Komunitas

     Tokoh agama dan komunitas memiliki pengaruh besar dalam membentuk pola pikir masyarakat. Dengan menyebarkan nilai-nilai positif dan menentang pelecehan seksual, mereka dapat membantu menciptakan lingkungan yang aman dan bermoral. Tokoh agama sering kali menjadi panutan bagi masyarakat. Ketika mereka secara aktif menyuarakan pentingnya menghormati hak orang lain dan melawan pelecehan, pesan tersebut akan lebih mudah diterima oleh masyarakat.

Contoh implementasi: Seorang tokoh agama menggunakan ceramah mingguan untuk berbicara tentang penghormatan terhadap perempuan dan bahaya pelecehan seksual.
Ia juga bekerja sama dengan komunitas lokal untuk memberikan dukungan kepada korban.

     Menekan maraknya pelecehan seksual di era modern memerlukan upaya kolektif yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari individu, keluarga, masyarakat, hingga institusi negara. Menguatkan peran agama sebagai pedoman moral serta menciptakan lingkungan yang mendukung adalah langkah penting untuk menciptakan masyarakat yang aman, adil, dan bermartabat. Dengan sinergi antara nilai-nilai spiritual dan
kesadaran sosial, harapan akan berkurangnya pelecehan seksual bukanlah hal yang mustahil

Daftar Pustaka

1. Gunawan, Andri, and Siti Nur Riani. "Dampak Dan Pencegahan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Pendidikan Dalam Tinjauan Islam" 2, no. 2 (2024): 140--58.
2. Pasaribu, Munawir. "Peranan Pendidikan Agama Islam Dalam Pencegahan Pelecehan
Seksual Online Di Kalangan Mahasiswa." Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam 11, no. 03 (2022): 869. https://doi.org/10.30868/ei.v11i03.2558

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun