Contoh: Seorang wanita muda mendapati fotonya yang diambil dari akun media sosial telah diedit secara tidak senonoh dan dibagikan di grup anonim. Ia menerima pesan bernada seksual dari orang-orang tak dikenal yang mengakses gambar tersebut, namun sulit baginya melacak pelaku utama.
3. Kurangnya Pendidikan Seksual
   Di banyak masyarakat, pendidikan seksual masih menjadi topik yang tabu. Akibatnya, banyak individu tumbuh tanpa pemahaman yang benar tentang seksualitas, batasan pribadi, dan pentingnya persetujuan (consent).
   Pendidikan seksual yang sehat mencakup pengetahuan tentang tubuh manusia, hak
atas tubuh sendiri, serta cara menghormati tubuh orang lain. Ketika hal ini tidak diajarkan, individu mungkin tidak memahami bahwa tindakan seperti menyentuh tanpa izin atau mengirimkan pesan seksual adalah bentuk pelecehan. Ketidaktahuan
ini juga sering kali melanggengkan mitos atau stereotip, seperti anggapan bahwa korban pelecehan "memancing" pelaku melalui pakaian atau perilaku mereka. Hal ini tidak hanya memperburuk pelecehan, tetapi juga membuat korban enggan melapor karena merasa bersalah.
Contoh: Seorang siswa sekolah menengah meraba teman perempuannya saat bercanda di kelas. Ketika ditegur, ia mengatakan bahwa itu "bukan masalah besar" karena mereka teman dekat. Siswa tersebut tidak memahami bahwa tindakan itu melanggar batasan pribadi dan dapat dianggap sebagai pelecehan seksual.
4. Lingkungan yang Tidak Mendukung
   Lingkungan sekitar memiliki peran besar dalam mencegah atau memperparah pelecehan seksual. Ketika lingkungan cenderung permisif terhadap tindakan pelecehan atau tidak memberikan dukungan kepada korban, kasus pelecehan
cenderung meningkat. Banyak korban yang tidak melapor karena takut tidak dipercaya, dihakimi, atau justru disalahkan. Di sisi lain, pelaku sering kali merasa aman karena mengetahui bahwa tindakan mereka tidak akan ditindak serius. Hal ini menciptakan budaya diam atau pembiaran terhadap pelecehan seksual. Lingkungan yang tidak mendukung juga dapat mencakup institusi yang tidak memiliki mekanisme untuk menangani laporan pelecehan, seperti tempat kerja tanpa kebijakan anti-pelecehan atau sekolah yang
tidak memberikan edukasi terkait masalah ini.
Contoh: Seorang mahasiswi yang dilecehkan oleh dosennya melapor ke pihak universitas. Namun, laporan tersebut tidak ditindaklanjuti dengan serius, dan ia justru menerima tekanan dari pihak kampus untuk "menyelesaikan masalah secara damai" demi menjaga reputasi institusi.
5. Pemahaman Agama yang Lemah
   Agama mengajarkan nilai-nilai moral, seperti menghormati hak dan martabat manusia, menjauhi tindakan yang merugikan orang lain, dan menjaga kesucian hubungan antarindividu. Namun, nilai-nilai ini sering kali tidak dipahami secara mendalam atau bahkan diabaikan. Sebagian masyarakat hanya mempraktikkan agama secara simbolis, tanpa menerapkan nilai-nilai inti yang diajarkan agama. Selain itu, ada juga kasus di mana ajaran agama disalahpahami atau diselewengkan untuk membenarkan perilaku
tertentu, seperti menggunakan dalih agama untuk menyalahkan korban pelecehan atas cara berpakaian mereka. Pemahaman agama yang lemah juga membuat banyak orang tidak menyadari bahwa pelecehan seksual adalah bentuk dosa dan pelanggaran yang serius.
Contoh: Seorang pria yang dikenal sebagai tokoh agama di komunitasnya terus-menerus membuat komentar seksual kepada perempuan muda dengan dalih bercanda. Ketika ditegur, ia mengatakan bahwa tindakan tersebut adalah "haknya sebagai laki-laki" dan bukan hal yang bertentangan dengan nilai agama.