Mohon tunggu...
Putri Hayati Parna
Putri Hayati Parna Mohon Tunggu... Psikolog - Mahasiswa

Menulis ✨

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pengaruh Pola Asuh Orang tua Terhadap Pembentukan Efikasi Diri Pada Anak Usia 6-7 Tahun

14 Juni 2023   22:21 Diperbarui: 15 Juni 2023   08:20 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

    Anak adalah anugerah terindah sekaligus amanah yang di titipkan oleh Allah SWT kepada setiap orang tua,  dan setiap orang tua berharap supaya anaknya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Dalam mencapai tumbuh kembang yang baik anak tidak bisa mengujudkannya sendiri sehingga dibutuhkanlah bantuan dan dorongan dari orang tuanya. Sehingga orang tua memiliki tanggung jawab yang besar dalam setiap proses perkembangan anak-anaknya.

Pertumbuhan dan perkembangan pada setiap anak itu berbeda-beda tergantung bagaimana pola asuh yang di terapkan oleh orang tuanya, orang tua yang penyayang maka akan membentuk kepribadian anak yang penyayang sedangkan pada orang tua yang keras maka akan membentuk kepribadian anak yang keras pula contohnya saja pada anak yang selalu berbicara dengan nada yang tinggi. Pada kalangan anak-anak yang di asuh menggunakan nada bahasa yang lemah lembut ketika bertemu dengan seorang anak yang berbicara dengan nada tinggi, mereka akan merasa bahwa anak tersebut tidak sopan, memiliki intensitas emosional yang tinggi dan di cap sebagai anak yang kejam. Padahal jika di tanya ke pada anak yang di asuh secara keras tersebut, maka dia akan mengatakan bahwa hal tersebut tidak sama dengan apa yang di katakan oleh anak yang di asuh secara lemah lembut.  Si anak akan mengatakan bahwa itulah pola asuh yang aku terima dan aku terbiasa dengan itu.

 Setiap proses atau tahapan pada perkembangan anak dapat dilihat dari perubahan-perubahan pada diri anak. Salah satunya adalah: perubahan cara anak menghadapi suatu situasi atau kondisi yang biasa di sebut dengan efikasi diri. Istilah efikasi diri (self efficacy) diperkenalkan dalam teori kognitif sosial yang di pelopori  oleh Bandura. Menurutnya, efikasi diri adalah sejauh mana seseorang memiliki keyakinan atas kapasitas yang dimilikinya untuk bisa menjalankan tugas atau menangani persoalan dengan hasil yang bagus.

Alwisol (2014) berpendapat bahwa efikasi adalah penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik atau buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuai dengan yang dipersyaratkan.

Dari definisi di atas dapat di simpulkan bahwa efikasi diri merupakan keyakinan yang teguh pada diri anak mengenai kemampuan yang dimilikinya dalam melakukan aktivitas tertentu guna mencapai tujuan dan tentunya dapat menghasilkan sesuatu. Hal ini sudah mencangkup bagaimana seorang anak membangun tujuan ataupun target apa saja yang  dicapai selama hidupnya, kemampuan anak dalam menyelesaikan masalah dan bagaimana cara anak menghadapi kegagalan yang sewaktu-waktu akan menimpanya.

Efikasi terbagi menjadi dua bagian yaitu efikasi tinggi dan efikasi rendah . Pada anak yang memiliki efikasi yang tinggi anak tersebut dapat mengatasi setiap persoalan yang ia hadapi. Sedangkan pada anak yang efikasi ya rendah cenderung membutuhkan bantuan dari orang lain untuk menyelesaikan permasalahan yang di hadapinya.

 Anak yang memiliki efikasi yang tinggi tidak takut untuk mencoba hal-hal yang baru yang dapat menambah wawasan dan pengalaman, kemudian tetap mengerjakan tugas tertentu meskipun hal itu terbilang sulit karena anak-anak yang efikasinya tinggi tidak memandang tugas sebagai ancaman yang harus mereka hindari. Pada saat anak-anak yang efikasinya tinggi ini mengalami kegagalan ia tidak meratapi kegagalan itu melainkan langsung bangkit kembali dan menganggap bahwa kegagalan itu bisa terjadi karena kurangnya usaha keras, pengetahuan, dan keterampilan yang dimilikinya. 

Sedangkan pada anak-anak yang efikasinya rendah cenderung takut untuk mencoba hal-hal yang baru dikarenakan takut gagal atau bisa juga karena malu untuk memulainya, dan anak-anak memiliki efikasi yang rendah menganggap bahwa tugas sebagai ancaman yang harus mereka hadapi, dan ketika anak-anak yang efikasinya rendah ini mengalami suatu kegagalan dia cenderung meratapi kegagalan tersebut dan menganggap kegagalan sebagai takdir dan nasib hidupnya yang sudah tidak bisa lagi di rubah. Oleh karena itulah mereka mudah putus asa

Pola asuh orang tua

Yusuf (2017:48) mengemukakan bahwa pola asuh adalah sikap atau cara orang tua mendidik dan mempengaruhi anak dalam mencapai suatu tujuan yang ditujukan oleh sikap perubahan tingkah laku pada anak.

Maka dari itu orang tua harus bisa menjadi teladan bagi anak-anaknya untuk bersikap yang baik. Orang tua mempunyai tugas dan tanggung jawab yang besar. Dari pengertian tersebut dapat dideskripsikan bahwa pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama proses pengasuhan. Pengasuhan itu adalah di mana  orang tua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Stewart dan Koch (1983) menyatakan bahwa pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. 

Pola asuh orang tua dapat di ibaratkan sebagai pondasi rumah di dalam diri anak jika pondasi ini di bangun dengan penuh kesabaran, teliti dan tekun maka rumah  akan kokoh dan tidak gampang robah. Akan tetapi jika pondasi rumah ini di buat tidak dengan kesabaran, ketelitian dan ketekunan maka ia akan mudah hancur dan roboh. Begitu juga dengan anak. Anak yang berada di rentang usia 6-7 tahun adalah anak yang sedang aktif, memiliki rasa ingin tahu yang besar, dan fase dimana anak tidak hanya mendengarkan kata orang tua tetapi juga mulai mendengarkan kata guru dan teman, karena pada usia tersebut anak sudah memasuki usia sekolah dasar.  Jika orang tua mengasuh anak dengan kelembutan, tidak menuntut sesuatu yang kiranya tidak bisa di capai oleh anak, dan senantiasa mengapresiasi setiap pencapaian anak. Maka anaknya akan lebih percaya diri, berani mencoba hal-hal baru dan tidak takut gagal hal, sehingga ia memiliki kepribadian yang positif ini menandakan anak memiliki Efikasi diri yang tinggi. 

Sedangkan pada orang tua yang biasa membentak, menuntut sesuatu yang tidak dapat di capai anak, dan jarang mengapresiasi pencapaian anak atau bahkan tidak pernah mengapresiasi karena tidak sesuai dengan keinginan orang tua, maka si anak akan menjadi tidak percaya diri, takut mencoba hal-hal baru, dan takut gagal, sehingga anak memiliki kepribadian yang negatif. Ini merupakan pertanda bahwa anak memiliki Efikasi yang rendah. Maka dari itu dapat di simpulkan bahwa pola Asuh yang baik akan membentuk Efikasi yang tinggi sedangkan pola asuh yang buruk akan membentuk Efikasi diri yang rendah pada setiap anak.


Febryanti, Nur Dita. A. (2019). Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap  Efikasi Diri Anak Usia 6-7 Tahun. Jurnal. Universitas Negeri Jakarta.
Alwisol. (2009). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.
Stewart & Koch. (1983). Human Development: A Lifespan Perspective. New York:    John Wiley & Sons, Inc.
Yusuf, Syamsu. (2017). Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun