Mohon tunggu...
Putri NovaniKhairizka
Putri NovaniKhairizka Mohon Tunggu... Relawan - Mahasiswi Sosiologi FIS UNJ

Magically page.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pagelaran "Sidang Rakyat" oleh YLBHI dan LBH, Desak DPR RI Mewujudkan RUU PKS

7 Oktober 2020   17:02 Diperbarui: 7 Oktober 2020   17:12 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kasus kekerasan seksual yang menyasar kelompok rentan, perempuan, dan anak di Indonesia seperti memiliki sedikit harapannya dengan adanya sebuah Sidang Rakyat yang digelar baru-baru ini.

Dalam sidang yang dilaksanakan pada tanggal 2-5 Oktober 2020, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menaungi 17 kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) lainnya menggelar ‘Sidang Rakyat’ untuk mendesak DPR dan pemerintah dalam mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

Dalam sidang ini direncanakan untuk mendesak DPR memasukkan RUU PKS dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2021. Hal ini dikarenakan penilaian mereka yang menyatakan ketidakseriusan pemerintah dalam mengentaskan kasus kekerasan seksual di Indonesia.

Seperti yang dinyatakan oleh Wakil LBH Bandung Lasma Natalia dalam sebuah konferensi pers daring, ia menyatakan bahwa permasalahan kekerasan seksual di indoneia tak kunjung usai, bahkan jelas terlihat ketidakseriusan pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum pada korban-korban pelecehan seksual. Lasma menambahkan pula bahwa LBH mencatat dalam dua tahun terakhir sejak 2017, terdapat kenaikan angka kekerasan seksual. Diawali pada 2017 sebesar 57 kasus, 2018 sebanyak 58 kasus, 2019 sebanyak 130 kasus, dan per juni 2002 85 kasus. Dengan peningkatan jumlah kasus tertinggi pada tahun 2019. Data tersebut merupakan data pengaduan kasus pada kantor LBH dan 17 kantor LBH lainnya.

Adapun, persentase data terbanyak pada LBH terdapat pada LBH Bandung sebanyak persentase kasus 25%, disusul oleh LBH Jakarta 15%, dan LBH Pekanbaru 10%, sedangkan sejumlah kantor LBH lainnya berada di bawah 5% seperti pada LBH Padang, LBH Yogyakarta, dan LBH Samarinda.

Dari total kasus tersebut, sebanyak 21% kasus pelecehan seksual dialami oleh perempuan di bawah usia 17 tahun, sedangkan 79% sisanya dialami perempuan berusia di atas 17 tahun.

Lasma menyimpulkan situasi dan kondisi di Indonesia saat ini berada dalam kondisi Darurat Kekerasan Seksual dengan seiring bertambahnya korban kekerasan seksual yang berjatuhan.

Dalam sidang yang dilaksanakan pada hari Sabtu 3/10/2020, negara kurang memperdulikan kasus kekerasan seksual dan penanganannya dalam memulihkan korban. Di satu sisi, korban dapat terjebak dalam ‘lingkaran setan’ kekerasan seksual. Seperti masuk ke dalam dunia prostitusi yang gelap, perubahan orientasi seksual, dan mengalami depresi hingga bunuh diri. Hal ini dipaparkan pada sidang rakyat mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Region Sumatera.

Sidang rakyat ini menghadirkan 44 organisasi yang tergabung dalam jaringan masyarakat sipil sumatera. Dipimpin oleh Rahmi Meri Yenti dari WCC Nurani Perempuan Sumbar, Ratumas Dewi dari HWDI Jambi, dan Wilton Amos Panggabean dari LBH Pekanbaru, dengan peserta, penyintas, akademisi, pendamping, tokoh adat, perempuan akar rumput, seniman, dan lainnya.  

Juru Bicara Tini Rahayu mengatakan bahwa RUU PKS sendiri lahir karena kasus YY di Bengkulu, seorang siswi SMP yang diperkosa oleh 11 laki-laki. Para pelaku memang telah mengakui kesalahan dan menyesali perbuatan dalam persidangan, namun tetap YY tidak akan pernah kembali dan tidak akan pernah sebanding dengan sekedar kata maaf dan vonis mati. Dari kasus ini, negara menyadari bahwa perundang-undangan di Indonesia masih sangat terbatas dalam formulasi bentuk, definisi, dan ruang lingkup perlindungan serta pemulihan korban. Keterbatasan hukum atas kekerasan seksual ini menimbulkan bayang-bayang rasa tidak aman, takut, tidak adil, dan tidak pulih secara piskis dari peristiwa yang telah menimpanya.

RUU PKS merupakan sebuah usaha untuk mencegah kekerasan seksual terjadi lagi, sehingga kedauratan kekerasan seksual dapat ditangani seoptimal mungkin “Namun, apa dikata, sepertinya DPR RI dan pemerintah agak lupa adanya YY yang tersebar di bumi Indonesia” Ujar Tini.

Oleh karena itu, Asosiasi LBH Apik Indonesia di dalamnya pun ikut mendesak DPR RI untuk mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan memasukkannya dalam prioritas Prolegnas 2021. Pengurus LBH Apik Indonesia Asnifriyanti Damanik mengatakan banyak fakta terungkap bahwa kekerasan seksual kerap terjadi di mana saja dan kapan saja termasuk dalam lingkup terdekat seperti di keluarga, lingkungan pendidikan, tempat kerja, dan lainnya.

Keberanian penyintas atau korban dalam menyuarakan kasus kekerasan seksual yang menimpanya patut didukung kuat karena bukan suatu hal yang mudah dalam menyuarakan pengalaman mereka ketika mengalami kekerasan, setelah terjadi kekerasan, dan ketika mencoba menggapai keadilan melalui system hukum yang ada.

Hanya saja, baik korban maupun pendamping masih menemui berbagai hambatan dalam penanganan kasus, terutama system hukum yang dinilai masih belum berpihak pada korban. Payung hukum perlu jelas untuk dilaksanakan karena Kitab Undang-Undang Hukm Pidana (KUHP) dinilai belum mengakomodir bentuk-bentuk kekerasan seksual secara seluruhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun