Saat ini tingkat mobilitas penduduk di Tanah Air sangatlah tinggi, sehingga sudah tidak dapat dielakkan lagi bahwa kebutuhan akan infrastruktur penunjang mobilitas tersebut sangat dibutuhkan. Infrastruktur penunjang mobilitas yang dimaksud selain jalan umum adalah seperti Jalan Tol, Bandara, Terminal, dan lain-lain. Infrastruktur seperti yang disebutkan diatas dapat disebut sebagai Toll Goods, karena untuk menggunakannya masyarakat harus membayar terlebih dahulu (excludable) dan tidak ada persaingan untuk dapat menggunakannya (non rival). Disebut non rivalkarena seseorang yang menggunakan barang (infrastruktur) tersebut tidak dapat menghalangi orang lain untuk menggunakannya juga.
Dalam penyediaan infrastruktur tersebut dibutuhkan suatu skema pembiayaan. Dan pada dasarnya untuk pembangunan suatu infrastruktur yang dapat digunakan oleh seluruh masyarakat Indonesia, dalam penyediaannya merupakan tanggung jawab Pemerintah Pusat. Namun karena keterbatasan APBN maupun APBD, maka diperlukan kerjasama dengan mitra swasta dalam hal investasi pendanaannya. Kerjasama antara Pemerintah dengan Mitra Swasta biasa dikenal dengan sistem KPS.
Jadi alternatif sumber pembiayaannya yaitu melalui strategi pembiayaan non konvensional dalam bentuk Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) yang dilakukan berdasarkan kontrak kerja atau perjanjian kerjasama selama jangka waktu tertentu. Kerjasama antara Pemerintah dengan Swasta terdiri dari beberapa prinsip yaitu Prinsip Operation, Maintenance and Service Contract; Prinsip BOT; Prinsip Concesion; Prinsip Joint Venture dan Prinsip Community-Based Provision.
Contoh studi kasus yang saya ambil adalah Pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati di Kabupaten Majalengka. Strategi pembiayaan yang digunakan untuk pembangunan BIJB Kertajati ini adalah strategi pembiayaan non konvensional dengan prinsip Joint Venture. Jadi menurut SK Menteri Negara Penggerak Dana Investasi / Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 15 Tahun 1994 pasal 8 ayat 1 tentang Ketentuan Pelaksanaan Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing, bidang usaha yang wajib mendirikan perusahaan Joint Venture adalah salah satunya yaitu penerbangan. Joint Venture adalah kerjasama yang bertujuan untuk memadukan keunggulan serta perihal finansial dari pihak Pemerintah dan Swasta.
Pembangunan BIJB Kertajati merupakan salah satu proyek nasional yang sudah masuk dalam pelaksanaan program Master plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Rencana awal, proyek pembangunan bandara dan “Aerocity” akan dibangun di atas lahan seluas lima ribu hektare, dengan rincian 3.200 hektare untuk “Aerocity” sementara 1.800 untuk bandara. Pembangunan BIJB dititikberatkan pada pembangunan dan tata ruang “Aerocity” yang diharapkan di sekeliling bandara akan ada kota yang mendukung semua sarana dan prasarananya.
Dalam pembangunan BIJB Kertajati ini selalu menuai kendala, seperti persoalan pembebasan lahan, pengukuran lahan dan soal pendanaan. September 2016 yang lalu dikabarkan bahwa pembiayaan pembangunan BIJB ini tidak lagi menggunakan APBN, Pemerintah Pusat dikabarkan urung untuk mengambil alih pembangunan ini. Padahal awalnya ada keinginan dari Pemerintah Pusat untuk mengambil alih pembangunan ini melalui APBN, namun ternyata kabar itu tidak ada kelanjutannya. Selain itu, melihat kondisi keuangan negara yang sedang kurang stabil, maka keputusannya kembali ke skenario awal.
Skenario awal pembiayaan pembangunan bandara sesuai MoU antara Pemprov dan Kemenhub. Yakni sisi udara berupa runway, taxiway, dan sebagainya ditangani Kemenhub. Sedangkan sisi darat seperti pembangunan terminal dan sarana pendukung ditangani Pemprov Jabar. Pada tahap awal, pengerjaan landas pacu oleh Kemenhub menjadikan Bandara Kertajati mempunyai panjang 3.000 meter (m) dan lebar 60 m sehingga bisa menjadi landasan terlebar di dunia. Adapun, Kemenhub telah mengucurkan dana Rp 375 miliar untuk pembangunan sisi udara Kertajati pada kurun 2013-2015.
Komposisi pembiayaan equity adalah 70 persen oleh PT BIJB melalui penyertaan modal dari APBD provinsi serta mencari investor swasta lain, dan 30 persen dari pinjaman sindikasi perbankan. Empat perbankan yang sudah menjajaki pembicaraan adalah Bank Mandiri, Bank Mandiri Syariah, Bank bjb, dan bjb Syariah. Direktur PT BIJB, Yon Sugiono Kahfie, pihaknya memandang perlu menjajaki kerja sama dengan sejumlah investor yang ingin ambil bagian dalam proses pembangunan BIJB.
Di antaranya BPJS Ketenagakerjaan melalui Danareksa, serta Taspen yang berminat investasi di bandara yang diproyeksi menjadi yang terbesar di Jawa Barat itu. Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat H Pepep Saeful Hidayat mengatakan tahun ini dianggarkan sekitar Rp 200 miliar untuk penyertaan modal ke BUMD milik pemprov, termasuk di antaranya ke PT BIJB guna pelaksanaan pembangunan BIJB.
Kendala lain yang terjadi adalah penolakan pembebasan lahan oleh sebagian warga dengna alasan harga yang tidak sesuai. Dan beberapa akhir ini terjadi pula penolakan saat pengukuran lahan, khususnya di Desa Sukamulya. Sejauh ini sudah 318 titik lahan yang sudah dibebaskan.
Sistem pembiayaan pembangunan yang digunakan dalam Pembangunan BIJB ini sebenarnya sudah sangat benar, karena menggunakan sistem KPS dengan prinsip joint venture ini akan sangat membantu pemerintah dengan kondisi keuangan yang saat ini sedang tidak stabil. Namun sangat disayangkan bahwa pembangunan BIJB ini tidak melalui APBN. Padahal BIJB ini merupakan infrastruktur yang masuk ke dalam pelaksanaan program Master plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), sehingga seharusnya proyek ini diurus langsung oleh pemerintah pusat. Dengan tidak adanya asupan dana dari APBN, berarti seluruh pembiayaannya akan ditanggung oleh pemprov.
Hal ini jelas akan mempengaruhi kekuatan fiskal pemprov dalam membiayai program-program dan kegiatan pembangunan lain dalam rangka pencapaian target-target yang sudah tertuang dalam dokumen perencanaan. Dan sebenarnya walaupun tidak dibiayai oleh pemerintah pusat secara langsung melalui APBN, bukan berarti proyek pembangunan ini tidak benar-benar dilepas tangankan oleh pemerintah pusat. Karena menurut saya, jika BUMN BPJS jadi berinvestasi untuk pembangunan ini maka secara tidak langsung berarti pembangunan ini mendapat biaya dari pemerintah pusat. Karena BUMN notabenenya mendapat kucuran dari APBN.
Selain itu, PT BIJB juga bisa mulai mencari investor lainnya baik investor lokal maupun asing. Dan karena proyek ini dikerjakan langsung oleh BIJB selaku BUMD, maka komposisi pembiayaan 30% dari pinjaman sindikasi perbankan ini adalah langkah yang tepat. Karena jika semisal yang mengerjakan proyek ini Dishub (pemerintah langsung), maka dana yang keluar hanya akan sesuai dengan jumlah yang sudah dianggarkan, tidak bisa lebih. Namun karena yang mengerjakan BIJB (BUMD) langsung, maka bekerjasama dengan bank adalah langkah yang tepat. Sehingga dana yang keluar bisa menyesuaikan kebutuhan di lapangan. Dan mengenai masalah pembebasan lahan karena harga yang tidak sesuai, sebaiknya pemprov dan pemda harus lebih bisa bersosialisasi dengan mengedapankan komunikasi yang baik terhadap warga, sehingga negosiasi antara dua belah pihak bisa terlaksana dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H