Mohon tunggu...
PUTRI MEGA ROHMANIYATI
PUTRI MEGA ROHMANIYATI Mohon Tunggu... Operator - sebagai siswa

suka membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sayap Yang Rapuh

23 November 2024   15:00 Diperbarui: 23 November 2024   15:23 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

   Jika seekor burung memiliki sayap, maka aku juga memiliki sayapku sendiri untuk terbang, akankah seekor burung menginginkan sayapnya untuk remuk? Akankah aku pun begitu? Nyatanya tidak. Aku tidak ingin bercerita tentang seekor burung, namun ini merupakan sepenggal kisah yang ku tulis menggunakan jemari ku yang indah nan lentik

   Sejujurnya Aku bukanlah seorang anak yang patuh. Tetapi aku juga bukan anak yang pembangkang ataupun durhaka, Seperti aku memiliki kepribadian ganda bagai yin dan yang. Namun, Aku memiliki seseorang yang selalu mendampingiku untuk tumbuh dan terbang menggapai impian ku.

   Sejujurnya aku sangat takut, karena aku seringkali melukai sayapku tanpa ku sadari, membuatnya semakin rapuh, menyakiti relung hatinya, tetapi sayap itu tetap membantuku untuk terbang, setinggi apapun aku ingin terbang, sayap itu tidak pernah meninggalkanku.

   Sayap yang ku maksud adalah seseorang yang memiliki senyuman seindah bulan sabit, wajah seteduh suasana senja, tutur kata selembut kapas, perasaan setenang ombak tengah laut, namun ketika perasaannya kesal ia bagaikan pedang yang ditempa menggunakan kikir logam sebanyak ribuan kali, terlihat indah berkilau namun sangat mematikan.

   Sore itu, kala hujan saling berlomba untuk jatuh ke tanah. Aku pulang membawa perasaan gelisah, rambutku yang indah pun terurai panjang, baju ku basah kuyup diguyur hujan. Dengan rasa takut yang ku bawa, aku mencoba memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumah, "tok tok tok assalamu'alaikum". Namun tidak ada jawaban lalu ku tunggu sejenak hingga aku mengetuk pintu itu kembali, kedua kali ku coba tetap tidak ada jawaban. Aku pun hilang rasa sabar, hingga mata ku melihat ke arah pintu belakang. Aku melihat keberadaan seseorang di dekat mesin cuci, perlahan ku amati hingga aku mendapati nenekku sedang berbicara dengan seseorang dibalik telepon genggamnya. Aku mendekat hingga samar ku dengar suara wanita di seberang sambungan telepon itu, seperti tidak asing namun terdengar lebih lembut dari biasanya. "Sepertinya Malam ini dia dan aku tidak bisa pulang, Bu." Kata orang itu. "Masih banyak hal yang perlu diurus disana?." Tanya nenekku. "emangnya kamu tidak rindu kepada gadis cantik dirumah ini?" lanjutnya.

   Seketika itu aku bertanya-tanya dalam angan ku, siapa yang berada di seberang telpon itu? Siapa yang disebut gadis cantik di rumah ini? Apakah yang dimaksud itu, aku?, dan kenapa nenek sangat menantikan kepulangannya?. Aku tidak berani menanyakan hal itu dengan kondisi ku yang basah kuyup seperti ini. Hingga aku pun mengendap-endap untuk langsung masuk ke dalam kamar mandi. Selesai mandi aku meminta tolong kepada nenekku untuk mengambilkan ku sepasang pakaian karena aku selalu lupa membawa pakaianku ke kamar mandi. "Nenek, tolong ambilkan baju ku donggg." Ucapku. Hingga disahuti oleh nenekku "iyaa tunggu sebentar." Lalu diberikan padaku pakaian yang diambilkan untukku. Aku keluar dengan perasaan yang cemas lalu berkata "nek, maaf ya tadi aku kehujanan, soalnya aku buru-buru pulang, aku takut nenek khawatir jadinya aku terpaksa hujan-hujanan waktu pulang." Ucapku dengan sedikit berbohong. Nenekku hanya mengiyakan kata-kata ku saja, mungkin karena nenekku masih berbicara di telepon itu. Dalam hatiku berkata "kalau bunda tau aku hujan-hujanan, pasti aku gaboleh tidur dirumah, untung aja bunda gak tau." Batinku. Tiba-tiba saja perutku berteriak, tanpa pikir panjang aku pun berjalan menuju dapur dan makan lauk yang baru saja digoreng oleh nenekku. Nenekku pun menghampiri ku, sepertinya ia ingin menanyakan sesuatu padaku, namun aku tetap melanjutkan makan ku. Hingga nenekku membuka obrolan dengan satu pertanyaan. "Kamu gak kangen sama ayahmu, dek?." Tanyanya padaku. "kangen, emang ayah kapan pulang?." Balasku bertanya. "kata bunda mu, ayahmu gak bisa pulang Malan ini." Jawabnya. Sebenarnya cukup banyak pertanyaan di kepalaku, kenapa ayah tidak bisa pulang? Apa bunda juga tidak bisa pulang? Siapa yang akan mengantar ku sekolah kalau bunda belum pulang?. Karena aku sedang makan jadi aku menutup topik dengan menjawab "oalahh." Kataku.

   Kala itu aku memang masih berumur 11 tahun, tetapi bagi keluargaku yang terbilang cukup mendalami ilmu agama itu sudah mewajibkan ku untuk sholat 5 waktu. Padahal jika aku melihat teman-teman ku, mereka jarang ada yang sholat di usia yang sepadan atau tidak jauh berbeda denganku. Mungkin karena terhasut oleh teman-teman ku, aku jadi sering menunda sholat ketika mendengar adzan.

   Matahari mulai tenggelam, suara adzan saling bersahutan di tiap-tiap masjid. Menandakan waktu Maghrib tiba, nenekku mengajakku untuk sholat berjamaah di musholla dekat rumahku, namun aku memilih untuk sholat sendiri di rumah karena kaki ku merasa malas untuk dilangkahkan. Nenekku pun pergi ke musholla bersama tetangga ku yang lain, sedangkan aku malah menyalakan televisi. Tanpa sadar nenekku mengucapkan salam, lalu menemukanku yang sedang menonton televisi. "Loh dek, kamu belum sholat?." Dengan nada sedikit kesal ia bertanya padaku. "udah kok, barusan" Jawabku. "terus kamu kira nenek percaya? Kulitmu kelihatan masih kering, kaki nya kotor tuh, mana ada habis wudhu kaki nya masih kotor!!." Ucap nenekku. Aku tidak bisa berkutik dan hanya bisa terdiam. "udah berapa kali sih,dek? Nenek kan udah bilang, kamu itu udah dewasa, udah kewajibannya melaksanakan sholat." Lanjut nenekku. "apaan sih nek, temen-temen ku aja gak disuruh sholat tuh sama bunda nya, kok aku disuruh sholat Mulu." Bantahku. Nenekku hanya menghela nafas kasar dan sedikit panjang, lalu berbicara dengan ku "astaghfirullah, yaudah ayo nenek anterin sholat." Tuturnya. Aku pun menurutinya karena merasa bersalah.

   Tengah malam aku terbangun karena tenggorokan ku terasa kering, membuatku harus pergi ke dapur untuk mengambil segelas air. Samar ku dengar suara dua orang sedang berbincang. Setelah aku meneguk air di gelas itu, kemudian aku mendekati suara itu, dan mendapati ada bunda ku yang sedang mengobrol dengan nenekku. Aku pun menyapa bunda ku dengan suara yang sedikit serak. "ehh bunda, bunda kapan pulang? Bunda pulang sendirian? Mana ayah?," ku lontarkan pertanyaan itu berturut-turut kepada bunda ku. "baru 30 menit yang lalu bunda sampai, ayah baru bisa pulang lusa karena tinggal 1 pertemuan lagi. Kamu kok belum tidur dek?." Bunda ku malah balik tanya. "baru kebangun, soalnya haus" jawabku. Tidak heran jika ayahku jarang dirumah, karena ia seorang workaholic, atau orang menyebutnya dengan manusia demen kerja. Dengan tuturnya yang lembut, bunda menyuruhku untuk kembali tidur karena besok aku harus bersekolah.

   Keesokan paginya aku dibangunkan oleh alarm yang berbunyi di meja, menandakan waktu subuh tiba. Ketika itu aku langsung pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Karena kebiasaan subuh ku selalu diajak nenek dan bunda ke musholla, aku jadi terbiasa dan lebih bersemangat untuk melakukan kebiasaan itu. Pagi ini terasa lebih istimewa karena ada bunda ku dirumah. Kadang aku merasa kesepian dan sedih ketika kedua orang tua ku sibuk bekerja, aku jadi merasa dicampakkan dan membuat diriku merasa kurang kasih sayang. Terkadang aku juga merasa iri dengan temanku yang tiap hari memamerkan kebersamaan dengan keluarganya. Sebenarnya aku juga bisa, walaupun kemungkinan hanya seminggu sekali. Tapi pagi ini aku melupakan rasa iri itu karena ada bunda yang akan libur bekerja selama dua hari.

   Aku menjalani aktivitas ku seperti biasanya. Tapi kali ini terasa istimewa karena aku diantar jemput oleh bunda ku menggunakan motor matic kesayangannya, membuat aku lebih bersemangat menjalani aktivitas. Setelah pulang sekolah aku langsung berangkat bimbel, dikarenakan tempat les ku yang hanya berjarak beberapa meter dari sekolah, aku jadi terbiasa berjalan kaki untuk menuju tempat bimbel ku. Sepulang bimbel biasanya aku memesan ojek online untuk pulang ke rumah. Akan tetapi kali ini bukan ojol yang menjemputku, bukan juga bunda, tetapi nenekku yang sudah menungguku di depan gerbang dengan membawa kantong belanjaan. Sambil berjalan aku menghampiri nenekku, tanpa percakapan apapun kami langsung berjalan bersama. Terkadang aku heran, mengapa nenekku masih kuat berjalan sejauh ini. Sedangkan jarakku dari rumah hingga ke tempat bimbel mencapai 2,5km. Aku yang sudah kelelahan pun malas untuk berfikir dan bertanya, jadinya aku diam saja selama perjalanan.

   Setibanya aku dirumah, aku tidak mendapati bunda dirumah. "bunda mana, nek?." Tanyaku pada nenek. "bunda mu mau jemput ayahmu di stasiun." Jawab nenekku. "katanya ayah pulang lusa?" balasku. "keburu kangen kamu katanya." Jawab nenekku sambil tersenyum. Melihat senyuman nenekku yang indah, aku pun ikut tersenyum. Baru aku menyadari kalau kulit nenekku sudah banyak kerutan, yang menandakan usianya sudah cukup rentan. Walaupun begitu ia masih kuat untuk mengurusi ku. Emangnya selama ini aku kemana aja? Kenapa aku baru menyadari kalau ternyata nenek sudah se-tua ini? Pikirku. Hal itu membuatku terus kepikiran, hingga aku memutuskan untuk pergi mandi dan melaksanakan sholat ashar.

   Waktu menunjukkan pukul 4 sore, teman-teman ku mengajakku untuk bermain di lapangan. Ketika aku hendak berpamitan, terlihat nenekku sedang memindahkan galon dengan jalan yang sedikit bungkuk. Mengingat usia nenekku yang hampir menginjak 60 tahun, aku tidak tega jika meninggalkannya. Namun ajakan temanku untuk bermain bersama membubarkan niatku untuk membantu nenek. Aku mendekatinya lalu meminta izin untuk bermain, nenekku mengiyakan saja dan tidak lupa memberiku selembar uang kertas bernilai 5.000 rupiah. Walaupun sudah terhitung akhir bulan dan uang nenekku sudah menipis, hal itu tidak pernah membuat nenekku menjadi pelit kepadaku. Nenekku adalah orang paling kaya menurutku, karena walaupun di dompetnya hanya tersisa 20.000. nyatanya nenekku tidak pernah lupa untuk memberiku uang jajan.

   Malam setelah aku sholat isya, aku merasa lapar karena pada dasarnya aku sering malas untuk makan. "dek, ayo makan dulu, tadi kan kamu belum makan." Dengan rasa khawatir nenekku menyuruhku untuk makan. "gak mau", jawabku dengan keras kepala. Malam itu nenekku sudah menawarkan aku untuk dibuatkan makanan sesuai keinginku, tetapi tetap saja aku menolak. Mungkin aku sudah tidak berselera makan karena sudah cukup malam bagiku untuk menelan makanan. Tetapi hal itu tidak bisa meruntuhkan usaha nenekku untuk mengajakku makan malam, ia terus saja membujukku agar mau makan. Hal itu membuatku kesal hingga tanpa sengaja aku membentak nenekku dengan melontarkan kata-kata yang cukup menyakitkan. "GAK MAUU, JANGAN MAKSA BISA GAK SIH?", teriakku. Nenekku hanya tersenyum sedikit pilu, terlihat menyakitkan, dan ia meninggalkanku sendirian.

   Terhitung sudah 5 nenit, terasa sunyi. Samar terdengar suara sendok dan piring saling beradu, menandakan ada seseorang yang sedang makan di dapur. Aku dengan membawa perasaan yang sedih dan sedikit menyesal karena sudah membantah ucapan nenekku pun menghampiri suara itu, dengan pelan aku duduk disamping nenekku. Seperti tidak merasa bersalah, aku malah meminta nenekku untuk menyuapi ku. Aku mengunyah makanan sambil menangis. Dalam pikiranku berkata, mengapa aku sebodoh ini? Padahal seharusnya aku bersyukur karena memiliki nenek yang sangat baik dan tidak pernah pelit padaku, tapi nyatanya dengan parahnya aku mudah sekali menyayat hatinya. Walaupun terkadang nenekku sedikit menyebalkan, tapi ia tidak pernah sekalipun membenciku. Padahal bisa saja dia membenciku dan berhenti mengurusi ku, tetapi nyatanya ia tetap menyayangi ku.

   Nenekku yang menyadari aku menangis, ia langsung memelukku dan bertanya mengapa aku menangis. Aku tidak ingin menjawab karena terlanjur malu dengan apa yang sudah ku lakukan padanya. "mau tambah nasi?", tanya nenekku untuk meredakan tangisanku. Aku tidak menjawab, hanya mengangguk. Nenekku pergi mengambil nasi dari rice cooker sekaligus mengambil air minum untukku. Lirih suaraku kala itu, dengan penuh rasa bersalah aku meminta maaf pada nenekku. Ia hanya mengangguk dan memberiku segelas air putih untuk ku minum. Ia tidak mengatakan apapun, justru ia memelukku sebelum ia menyuapi ku kembali.

   Malam itu adalah malam yang tenang disertai rintik gerimis, melihat luar jendela dan menunggu bunda ku pulang bersama ayah dari stasiun. Awalnya aku mengajak nenekku untuk menonton televisi, tak berselang lama, terdengar ketukan pintu disertai suara orang mengucapkan salam. Menandakan ayah dan bunda pulang, segera aku membukakan pintu. Aku menyambut mereka dengan perasaan luar biasa senang, karena waktu berkumpul seperti inilah yang selama ini aku rindukan. Setiap pulang kerja, ayahku selalu membawakan oleh-oleh untuk orang di rumah, entah berupa makanan maupun barang. Kali ini ayahku mengambil cuti lebih lama dari biasanya, oleh karena itu kami memutuskan untuk mengisi waktu libur ini dengan jalan-jalan dan piknik.

   Seminggu setelah ayah mengambil cuti, ia kembali bekerja seperti biasa. Sama halnya dengan bunda, ketika pagi mereka berangkat dan memberiku uang saku. Dan ketika pulang mereka langsung tidur karena sudah lelah, sedangkan aku yang merasa kurang diperhatikan pun hanya mengandalkan perhatian dan kasih sayang dari nenekku. Dan mungkin seterusnya akan seperti itu.

    Aku yang sehari-hari bersama dengan nenekku, perlahan menyadari sesuatu, bahwasannya nenekku sudah semakin tua. Terlihat cara berjalannya pun sudah membungkuk, lebih sering batuk, kulit yang kering dan keriput di wajahnya yang teduh, pasang mata yang sudah sayu, berada di usia yang sudah rentang. Disela-sela aku menyadari itu membuat aku lebih khawatir, takut nenekku akan pergi dipanggil Tuhan. Oleh karena itu aku mulai belajar menghargai nenekku, sekecil apapun usahanya, aku akan mencoba untuk selalu menghargai perhatian-perhatian kecil darinya, dan mungkin aku juga akan lebih perhatian pada nenekku, agar nanti aku tidak menyesal ketika sudah tidak bersama dengan seseorang yang ku sebut sebagai sayapku yang rapuh. Walaupun benar ia sudah hampir rapuh, walaupun aku sudah menyayatnya berkali-kali, ia tetap menemaniku untuk terbang meninggi. Ia tidak pernah meninggalkanku untuk jatuh sendirian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun