Jika seekor burung memiliki sayap, maka aku juga memiliki sayapku sendiri untuk terbang, akankah seekor burung menginginkan sayapnya untuk remuk? Akankah aku pun begitu? Nyatanya tidak. Aku tidak ingin bercerita tentang seekor burung, namun ini merupakan sepenggal kisah yang ku tulis menggunakan jemari ku yang indah nan lentik
  Sejujurnya Aku bukanlah seorang anak yang patuh. Tetapi aku juga bukan anak yang pembangkang ataupun durhaka, Seperti aku memiliki kepribadian ganda bagai yin dan yang. Namun, Aku memiliki seseorang yang selalu mendampingiku untuk tumbuh dan terbang menggapai impian ku.
  Sejujurnya aku sangat takut, karena aku seringkali melukai sayapku tanpa ku sadari, membuatnya semakin rapuh, menyakiti relung hatinya, tetapi sayap itu tetap membantuku untuk terbang, setinggi apapun aku ingin terbang, sayap itu tidak pernah meninggalkanku.
  Sayap yang ku maksud adalah seseorang yang memiliki senyuman seindah bulan sabit, wajah seteduh suasana senja, tutur kata selembut kapas, perasaan setenang ombak tengah laut, namun ketika perasaannya kesal ia bagaikan pedang yang ditempa menggunakan kikir logam sebanyak ribuan kali, terlihat indah berkilau namun sangat mematikan.
  Sore itu, kala hujan saling berlomba untuk jatuh ke tanah. Aku pulang membawa perasaan gelisah, rambutku yang indah pun terurai panjang, baju ku basah kuyup diguyur hujan. Dengan rasa takut yang ku bawa, aku mencoba memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumah, "tok tok tok assalamu'alaikum". Namun tidak ada jawaban lalu ku tunggu sejenak hingga aku mengetuk pintu itu kembali, kedua kali ku coba tetap tidak ada jawaban. Aku pun hilang rasa sabar, hingga mata ku melihat ke arah pintu belakang. Aku melihat keberadaan seseorang di dekat mesin cuci, perlahan ku amati hingga aku mendapati nenekku sedang berbicara dengan seseorang dibalik telepon genggamnya. Aku mendekat hingga samar ku dengar suara wanita di seberang sambungan telepon itu, seperti tidak asing namun terdengar lebih lembut dari biasanya. "Sepertinya Malam ini dia dan aku tidak bisa pulang, Bu." Kata orang itu. "Masih banyak hal yang perlu diurus disana?." Tanya nenekku. "emangnya kamu tidak rindu kepada gadis cantik dirumah ini?" lanjutnya.
  Seketika itu aku bertanya-tanya dalam angan ku, siapa yang berada di seberang telpon itu? Siapa yang disebut gadis cantik di rumah ini? Apakah yang dimaksud itu, aku?, dan kenapa nenek sangat menantikan kepulangannya?. Aku tidak berani menanyakan hal itu dengan kondisi ku yang basah kuyup seperti ini. Hingga aku pun mengendap-endap untuk langsung masuk ke dalam kamar mandi. Selesai mandi aku meminta tolong kepada nenekku untuk mengambilkan ku sepasang pakaian karena aku selalu lupa membawa pakaianku ke kamar mandi. "Nenek, tolong ambilkan baju ku donggg." Ucapku. Hingga disahuti oleh nenekku "iyaa tunggu sebentar." Lalu diberikan padaku pakaian yang diambilkan untukku. Aku keluar dengan perasaan yang cemas lalu berkata "nek, maaf ya tadi aku kehujanan, soalnya aku buru-buru pulang, aku takut nenek khawatir jadinya aku terpaksa hujan-hujanan waktu pulang." Ucapku dengan sedikit berbohong. Nenekku hanya mengiyakan kata-kata ku saja, mungkin karena nenekku masih berbicara di telepon itu. Dalam hatiku berkata "kalau bunda tau aku hujan-hujanan, pasti aku gaboleh tidur dirumah, untung aja bunda gak tau." Batinku. Tiba-tiba saja perutku berteriak, tanpa pikir panjang aku pun berjalan menuju dapur dan makan lauk yang baru saja digoreng oleh nenekku. Nenekku pun menghampiri ku, sepertinya ia ingin menanyakan sesuatu padaku, namun aku tetap melanjutkan makan ku. Hingga nenekku membuka obrolan dengan satu pertanyaan. "Kamu gak kangen sama ayahmu, dek?." Tanyanya padaku. "kangen, emang ayah kapan pulang?." Balasku bertanya. "kata bunda mu, ayahmu gak bisa pulang Malan ini." Jawabnya. Sebenarnya cukup banyak pertanyaan di kepalaku, kenapa ayah tidak bisa pulang? Apa bunda juga tidak bisa pulang? Siapa yang akan mengantar ku sekolah kalau bunda belum pulang?. Karena aku sedang makan jadi aku menutup topik dengan menjawab "oalahh." Kataku.
  Kala itu aku memang masih berumur 11 tahun, tetapi bagi keluargaku yang terbilang cukup mendalami ilmu agama itu sudah mewajibkan ku untuk sholat 5 waktu. Padahal jika aku melihat teman-teman ku, mereka jarang ada yang sholat di usia yang sepadan atau tidak jauh berbeda denganku. Mungkin karena terhasut oleh teman-teman ku, aku jadi sering menunda sholat ketika mendengar adzan.
  Matahari mulai tenggelam, suara adzan saling bersahutan di tiap-tiap masjid. Menandakan waktu Maghrib tiba, nenekku mengajakku untuk sholat berjamaah di musholla dekat rumahku, namun aku memilih untuk sholat sendiri di rumah karena kaki ku merasa malas untuk dilangkahkan. Nenekku pun pergi ke musholla bersama tetangga ku yang lain, sedangkan aku malah menyalakan televisi. Tanpa sadar nenekku mengucapkan salam, lalu menemukanku yang sedang menonton televisi. "Loh dek, kamu belum sholat?." Dengan nada sedikit kesal ia bertanya padaku. "udah kok, barusan" Jawabku. "terus kamu kira nenek percaya? Kulitmu kelihatan masih kering, kaki nya kotor tuh, mana ada habis wudhu kaki nya masih kotor!!." Ucap nenekku. Aku tidak bisa berkutik dan hanya bisa terdiam. "udah berapa kali sih,dek? Nenek kan udah bilang, kamu itu udah dewasa, udah kewajibannya melaksanakan sholat." Lanjut nenekku. "apaan sih nek, temen-temen ku aja gak disuruh sholat tuh sama bunda nya, kok aku disuruh sholat Mulu." Bantahku. Nenekku hanya menghela nafas kasar dan sedikit panjang, lalu berbicara dengan ku "astaghfirullah, yaudah ayo nenek anterin sholat." Tuturnya. Aku pun menurutinya karena merasa bersalah.
  Tengah malam aku terbangun karena tenggorokan ku terasa kering, membuatku harus pergi ke dapur untuk mengambil segelas air. Samar ku dengar suara dua orang sedang berbincang. Setelah aku meneguk air di gelas itu, kemudian aku mendekati suara itu, dan mendapati ada bunda ku yang sedang mengobrol dengan nenekku. Aku pun menyapa bunda ku dengan suara yang sedikit serak. "ehh bunda, bunda kapan pulang? Bunda pulang sendirian? Mana ayah?," ku lontarkan pertanyaan itu berturut-turut kepada bunda ku. "baru 30 menit yang lalu bunda sampai, ayah baru bisa pulang lusa karena tinggal 1 pertemuan lagi. Kamu kok belum tidur dek?." Bunda ku malah balik tanya. "baru kebangun, soalnya haus" jawabku. Tidak heran jika ayahku jarang dirumah, karena ia seorang workaholic, atau orang menyebutnya dengan manusia demen kerja. Dengan tuturnya yang lembut, bunda menyuruhku untuk kembali tidur karena besok aku harus bersekolah.
  Keesokan paginya aku dibangunkan oleh alarm yang berbunyi di meja, menandakan waktu subuh tiba. Ketika itu aku langsung pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Karena kebiasaan subuh ku selalu diajak nenek dan bunda ke musholla, aku jadi terbiasa dan lebih bersemangat untuk melakukan kebiasaan itu. Pagi ini terasa lebih istimewa karena ada bunda ku dirumah. Kadang aku merasa kesepian dan sedih ketika kedua orang tua ku sibuk bekerja, aku jadi merasa dicampakkan dan membuat diriku merasa kurang kasih sayang. Terkadang aku juga merasa iri dengan temanku yang tiap hari memamerkan kebersamaan dengan keluarganya. Sebenarnya aku juga bisa, walaupun kemungkinan hanya seminggu sekali. Tapi pagi ini aku melupakan rasa iri itu karena ada bunda yang akan libur bekerja selama dua hari.
  Aku menjalani aktivitas ku seperti biasanya. Tapi kali ini terasa istimewa karena aku diantar jemput oleh bunda ku menggunakan motor matic kesayangannya, membuat aku lebih bersemangat menjalani aktivitas. Setelah pulang sekolah aku langsung berangkat bimbel, dikarenakan tempat les ku yang hanya berjarak beberapa meter dari sekolah, aku jadi terbiasa berjalan kaki untuk menuju tempat bimbel ku. Sepulang bimbel biasanya aku memesan ojek online untuk pulang ke rumah. Akan tetapi kali ini bukan ojol yang menjemputku, bukan juga bunda, tetapi nenekku yang sudah menungguku di depan gerbang dengan membawa kantong belanjaan. Sambil berjalan aku menghampiri nenekku, tanpa percakapan apapun kami langsung berjalan bersama. Terkadang aku heran, mengapa nenekku masih kuat berjalan sejauh ini. Sedangkan jarakku dari rumah hingga ke tempat bimbel mencapai 2,5km. Aku yang sudah kelelahan pun malas untuk berfikir dan bertanya, jadinya aku diam saja selama perjalanan.