Mohon tunggu...
Putri Khairunniswa
Putri Khairunniswa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Putri Khairunniswa adalah mahasiswa jurusan Tadris Bahasa Indonesia di Universitas Islam Negeri Sumatera Utara. Menulis adalah hobinya sejak SMP.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Kebaikan di Sudut Kota

11 Desember 2024   22:25 Diperbarui: 12 Desember 2024   16:18 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah kota, di mana langit selalu tampak gelap dan angin yang selalu berbisik ribut, hiduplah seorang gadis bernama Cempaka. Cempaka bukan siapa-siapa di kota ini, ia tinggal sebatang kara. 

Ia hanyalah satu dari seribu satu orang yang berjalan di kota yang penuh desakan dalam kesibukan hari yang tak pernah berakhir. Kota yang penuh dengan gedung-gedung tinggi yang berbaris rapat bak murid yang berbaris rapi kala Upacara di hari Senin.

Hari-hari, Cempaka berangkat selalu pergi pagi-pagi sekali. Bersatu bersama kerumunan orang-orang yang seolah bergerak tanpa arah. Walaupun begitu, sebenarnya mereka semua memiliki tujuan masing-masing, namun hanya saja tujuan mereka tampak kurang jelas. 

Begitu juga dengan Cempaka, setiap pagi pergi pagi-pagi sekali meninggalkan kamar yang sempit, menuju pekerjaan yang tak pernah ia pahami.

Pekerjaan nya ialah menjual koran di sudut jalan. Di antara kerumunan orang, di sebuah kota yang selalu terdengar klakson, dan berita macet yang selalu menyebar, bahkan koran seolah tak begitu berarti apa-apa. Namun, tetap saja ia menjualanya. Bagaimana tidak, karena baginya itulah salah satu cara agar, ia tetap dapat bertahan hidup.

Pagi itu, tiba-tiba hujan turun dengan deras. Hujan yang membuat jalanan menjadi licin dan mengaburkan pandangan orang-orang yang berlalu-lalang. Namun, orang-orang akan terus berjalan, tampak seperti sudah terbiasa dengan ketidaknyamanannya yang diberikan oleh kota ini.

Dalam derasnya hujan turun, Cempaka duduk di bawah tenda yang ia pasang. Ia menutupi koran-koran nya dengan plastik berharap hujan tidak menetes ke koran yang hendak ia jual. Tak ada yang membeli koran hari ini. 

Orang-orang sibuk dengan payung mereka, berjalan dengan cepat mencari tempat untuk berteduh. Beberapa orang mungkin melirik sekilas ke arah Cempaka, namun tidak juga berniat untuk membeli. Cempaka sudah terbiasa, tapi entah kenapa, pagi itu, hatinya terasa lebih berat dari biasanya.

Dalam lamunannya, ia melihat seorang anak kecil berjalan ke arahnya, hingga seolah membuyarkan lamunannya. Anak itu basah kuyup karena kehujanan. Badannya menggigil, dan tangannya terus memeluk tubuhnya sendiri. Ia berhenti tepat di dekat Cempaka. Matanya menatap kosong ke arah Cempaka. Ia merasa ada yang tidak beres dengan anak tersebut.

“Kamu mau beli koran dek?” tanya Cempaka, mencoba menyapa anak kecil itu.

Anak itu menggeleng. “Aku mau makan kak,” ucapnya dengan suara pelan.

Sejenak Cempaka terdiam dibuatnya. Ia menatapnya, mencari tau dari mana anak itu datang, tapi wajahnya tak memberikan petunjuk apa pun.

“Tapi, aku... Aku enggak punya makanan dek,” jawab Cempaka dengan nada seperti orang yang merasa bersalah. Padahal, ia sendiri belum makan sejak semalam.

Anak itu tak mengatakan apa-apa lagi setelahnya, ia hanya memeluk tubuhnya kemudian menjongkok di dekat Cempaka. Cempaka merasa hatinya tergerak untuk menolong anak itu. Tanpa pikir panjang, ia melepas jaketnya dan memberikannya kepada anak kecil itu.

“Ini, pakai jaket Kakak dulu,” katanya sambil memakai ke tubuh anak itu.

Anak itu mendongak, menatap Cempaka dengan tersenyum.

“Kamu tinggal di mana?” tanya Cempaka, mana kala ia bisa mengantar anak itu pulang ke rumahnya.

Anak itu menggeleng. “Nggak tahu,” jawabnya singkat.

Cempaka semakin bingung. “Orang tua mu di mana dek?”

Sekali lagi, anak itu menggeleng. Cempaka menahan napas, merasa ada sesuatu yang sangat salah dengan keadaan anak ini. Dia ingin melakukan sesuatu, tapi apa? Di kota ini, orang-orang hilang setiap hari, dan kebanyakan dari mereka tak pernah ditemukan lagi. Anak ini mungkin salah satunya, anak yang hilang dan tak pernah dicari.

Cempaka membereskan koran-korannya, lalu memasukkannya ke dalam tas yang ia miliki. Ia memutuskan untuk menutup dagangannya lebih awal hari ini.

“Ayo, ikut Kakak,” katanya kepada anak itu.

Mereka berjalan bersama dalam hujan yang sangat deras itu. Langkah meraka berhati-hati di tengah jalanan yang semakin licin. Sementara itu, angin semakin bertiup kencang, seolah mengguyurkan tubuh. Cempaka, memegang tangan anak itu sangat erat, mencoba melindunginya dari apa pun. Ia merasa anak itu sudah sangat menggigil, mungkin tubuhnya juga sudah menggigil, namun tubuhnya lebih tahan dibandingkan anak kecil itu.

Cempaka membawa anak itu ke rumahnya, sebuah kost kecil di dalam gang sempit. Dinding yang sudah lembab, dan atap yang sering bocor. Namun, hanya itu satu-satunya tempat yang bisa Cempaka tawarkan.

“Nah, ini rumahku,” katanya, sambil meregangkan tangan anak itu. “ Nggak besar sih, tapi kamu bisa berteduh di sini dulu.”

Anak itu memandang sekeliling kamar Cempaka dengan tatapan kosong. Kemudian dia duduk di atas kasur milik Cempaka, sementara itu Cempaka mencari makanan yang bisa dimakan oleh mereka.

Hanya sepotong roti tawar yang ia temukan. Cempaka memberikannya ke anak kecil itu. “Hanya ada ini dek, makan ya,” ucap cempaka.

Anak kecil itu pun langsung menerimanya, dan memakannya. Cempaka duduk di sebelah anak itu, mencoba mencari bahan untuk mengajaknya bicara. Tapi anak itu tetap diam, matanya terus memandang ke arah jendela yang buram oleh uap hujan.

“Kamu... mau tinggal di sini?” tanya Cempaka akhirnya, mencoba mencari tahu apa yang diinginkan anak itu.

Anak itu akhirnya menoleh, dan dia tersenyum sedikit lebar. “Mau Kak,” jawabnya pelan.

Dengan begitu, anak itu tinggal bersama Cempaka. Hari-hari berlalu dengan lambat, tapi Cempaka merasa ada sesuatu yang berubah dalam hidupnya. Anak itu, meski jarang bicara, membawa kehangatan yang tak pernah Cempaka rasakan sebelumnya. Mereka berbagi apa yang mereka punya, yang sering kali tidak banyak, tapi cukup untuk membuat mereka terus bertahan.

Suatu pagi, Setelah berbulan-bulan hujan yang tak pernah berhenti, matahari akhirnya muncul di langit kota. Sinarnya menembus jendela kecil di kamar Cempaka, menghangatkan dinding-dinding yang lembab dan mengusir dingin yang selama ini bersarang di sana.

Suatu hari, Cempaka, mendapatkan sebuah harapan untuk bertahan hidup lebih lama, ia mendapatkan pekerjaan yang layak dengan gaji yang cukup. Cempaka menerima tawaran pekerjaan itu. Sekarang Cempaka dan anak kecil itu sudah hidup lebih baik dari sebelumnya.

Di sisi lain, anak kecil itu mulai semangat dalam menjalani kehidupan. Cempaka berhasil menjadi kakak untuk anak kecil itu. Kini, Cempaka memberinya nama Raihan. Ia juga menyekolahkan Raihan di sebuah TK yang ada di kota. Raihan nyaman, dan bahagia berada di dekat Cempaka. Begitu juga Cempaka yang merasa bahagia, karena sekarang ia tidak hidup sendirian lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun