Mohon tunggu...
Putri Harfadhilah
Putri Harfadhilah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aparatur Sipil Negara

I am constantly seeking new opportunities for learning and personal development. My interests lie in the realms of taxation, economics, and finance. I am dedicated to expanding my knowledge and expertise in these areas.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pajak Daerah Sarang Burung Walet: Potensial tetapi Masih Minim Kontribusi

27 April 2024   22:16 Diperbarui: 27 April 2024   22:34 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sarang Burung Walet: Harta Karun Putih Indonesia

Sarang Burung Walet disebut sebagai harta karun tersembunyi dalam komoditas di Indonesia.  Hal ini disampaikan oleh Menteri Perdagangan, M. Lutfi, pada tahun 2021 lalu saat Peluncuran Platform Dagang Digital Indonesia Store (INDStore). Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, berat bersih Sarang Burung Walet yang berhasil diekspor sepanjang tahun 2022 sebanyak 1.415,9 ton dengan nilai ekspor mencapai 590 juta dolar AS. Nilai tersebut tercatat sebagai nilai ekspor tertinggi Sarang Burung Walet Indonesia. Selama lima tahun terakhir juga terjadi tren peningkatan nilai ekspor Sarang Burung Walet.

Kandungan Sarang Burung Walet sudah teruji memiliki khasiat tinggi untuk kesehatan sehingga memiliki banyak peminat dari mancanegara. Sarang Burung Walet tergolong komoditas yang eksklusif karena hanya bisa didapatkan dari beberapa negara tertentu. Menurut statistik yang dipublikasikan oleh Kementerian Pertanian, Indonesia menjadi salah satu produsen Sarang Burung Walet terkemuka di panggung global, bersanding dengan Thailand, Vietnam, Singapura, Myanmar, Malaysia, India, dan Sri Lanka. Indonesia juga menguasai sebagian besar pasar perdagangan Sarang Burung Walet. Kontribusi Indonesia dalam produksi Sarang Burung Walet dunia mencapai sekitar 80%, yang secara rata-rata mencapai lebih dari 1.200 ton setiap tahunnya (Kompas, 2019).

Sarang Burung Walet juga dijuluki sebagai ‘emas putih’ karena warnanya yang putih dan harganya yang setara emas putih (Unair News, 2021). Harga yang dibanderol untuk per kilogram Sarang Burung Walet cukup fantastis yakni bisa mencapai puluhan juta rupiah. Kondisi negara Indonesia yang berada di wilayah tropis menjadi hal yang menguntungkan untuk pengembangan komoditas ini. Apabila dikelola secara maksimal, komoditas Sarang Burung Walet dapat menjadi komoditas unggulan untuk kegiatan ekspor. Selain berpeluang untuk menyumbang devisa negara yang signifikan dari kegiatan ekspor tersebut, Sarang Burung Walet juga potensial bagi penerimaan pajak daerah.

Sekilas Pajak Sarang Burung Walet

Sarang Burung Walet ditetapkan menjadi salah satu objek pajak daerah yang dipungut atau dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Berdasarkan UU HKPD tersebut, Pajak Sarang Burung Walet didefinisikan sebagai pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet. Namun, tidak semua kegiatan dikenakan pajak. Berdasarkan Pasal 76 Ayat (2) UU HKPD, dua kegiatan yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet adalah kegiatan pengambilan Sarang Burung Walet yang telah dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet lainnya yang ditetapkan dengan Perda.

Besaran Pajak Sarang Burung Walet yang terutang diperoleh dengan mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Dalam UU HKPD, Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan paling tinggi 10% dengan Peraturan Daerah. Pemerintah Kabupaten/Kota diberikan kewenangan untuk menentukan sendiri besarnya tarif sehingga tarif Pajak Sarang Burung Walet dapat berbeda-beda di setiap daerah. Adapun dasar pengenaan pajak adalah nilai jual Sarang Burung Walet yang dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum Sarang Burung Walet yang berlaku di daerah yang bersangkutan dengan volume Sarang Burung Walet. Pajak Sarang Burung Walet ini harus disetorkan oleh pengusaha Sarang Burung Walet setiap melakukan panen.

Pengenaan Pajak Sarang Burung Walet diberlakukan baik kepada orang pribadi maupun badan yang melakukan kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet. Hal ini sebagaimana dibunyikan dalam Pasal 77 UU HKPD bahwa Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet. Dengan demikian, Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet. Pemungutan Pajak dilakukan berdasarkan sistem Self-Assessment sehingga Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan besarnya Pajak Sarang Burung Walet yang terutang.

Kontribusi Pajak Sarang Burung Walet terhadap Pendapatan Asli Daerah

Tidak semua daerah di Indonesia memiliki potensi untuk menghasilkan Sarang Burung Walet. Dari data Kementerian Pertanian, terdapat 18 Provinsi penghasil Sarang Burung Walet dengan potensi lebih dari 800 unit rumah walet per provinsinya dan sebanyak 520 rumah walet telah diregistrasi Kementerian Pertanian. Oleh karena itu, Pajak Sarang Burung Walet menjadi unik karena hanya dapat ditemui di beberapa daerah tertentu di Indonesia. Pajak Sarang Burung Walet merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) sehingga perolehan pajak yang tinggi diharapkan dapat berkontribusi pada peningkatan pendapatan daerah tersebut. PAD yang optimal akan mendorong pemerintah daerah mencapai kemandirian fiskal.

Realisasi Pajak Sarang Burung Walet masih tercatat belum optimal untuk beberapa daerah di Indonesia. Contohnya di Kabupaten Meranti, Riau yang memiliki potensi penerimaan pajak dari industri Sarang Burung Walet mencapai 13 miliar per tahunnya, tetapi hanya sebesar 20% dari potensi tersebut yang dapat terkumpul (DDTC, 2022). Kabupaten Bangka Belitung juga menghadapi nasib yang sama. Dari target Pajak Sarang Burung Walet tahun 2023 sebesar Rp798 juta yang berhasil terealisasi hanya sebesar 18% atau sekitar Rp147,2 juta (Tribunnews, 2024). Kondisi serupa juga terjadi di Kalimantan Selatan. Realisasi penerimaan Pajak Sarang Burung Walet dibandingkan dengan potensinya hanya mencapai 0,86% di tahun 2021 dan 1,44% sampai dengan November tahun 2022 (BPKP, 2022). Kondisi ini juga tidak jauh berbeda di Pulau Kalimantan lainnya yaitu Kalimantan Utara. Nilai produksi Sarang Burung Walet pada tahun 2021 di daerah tersebut adalah sebesar Rp314 miliar dengan potensi pajak yang diperkirakan sebesar Rp31 miliar. Namun, realisasi Pajak Sarang Burung Walet pada tahun tersebut hanya sebesar 3,6% atau Rp113 juta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun