Mohon tunggu...
tjahjooo
tjahjooo Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Psikologi Universitas Negeri Gorontalo

Saya merupakan mahasiswa Program Sarjana Psikologi di salah satu universitas di Gorontalo. Saya memiliki ketertarikan terhadap isi-isu sosial dalam masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Bagaimana Budaya Berhubungan dengan Kesehatan Mental?

16 Desember 2024   19:10 Diperbarui: 17 Desember 2024   20:23 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mental Illness Awareness Week (Sumber: www.statcan.gc.ca)

Key Takeaways

  • Tiap budaya memiliki definisi sehatnya masing-masing bergantung pada kepercayaan dan norma yang dianut;
  • Budaya dapat memengruhi cara pandang masyarakat terhadap suatu gangguan psikologis dan menghadirkan stigma;
  • Budaya dapat memengaruhi cara individu mendeskripsikan jenis gangguan yang dirasakan;
  • Budaya dapat memengaruhi metode pengobatan yang dipilih oleh individu dalam suatu maysarakat.

Budaya

Sebagai seorang manusia kita begitu lekat dengan budaya. Budaya membentuk keragaman kita dalam lingkup masyarakat dan ia juga berpengaruh dalam memengaruhi apa yang kita sampaikan, maupun cara kita bersikap dalam masyarakat. Budaya membentuk pola pikir kita tentang apa itu definisi “sehat” atau “sakit” tidak hanya secara fisik, tapi juga secara psikologis.


Budaya didefinisikan sebagai satu set kepercayaan, norma, dan nilai yang dianut bersama oleh suatu kelompok (U.S. Department of Health and Human Services, 2001). Kita bisa melihat bahwa kelompok sosial seperti agama, hobi, atau profesi memiliki budaya mereka sendiri. Nilai-nilai ini yang akan mengontrol kita sebagai masyarakat dalam satu wilayah.


Selain untuk mengontrol kita sebagai masyarakat, budaya juga berperan dalam meningkatkan kualitas hidup manusia bagik dalam hal kesehatan fisik maupun kesehatan mental. Budaya yang mengakar kuat berdampak pada bagaimana kita menentukan penyebab suatu penyakit, pemeliharaan, dan perawatan penyakit.

Illustration of indonesian traditional culture in flat design style (Sumber: Freepik)
Illustration of indonesian traditional culture in flat design style (Sumber: Freepik)

Apa yang Dimaksud “Sehat”?

Sekarang, kita bertanya-tanya apa itu definisi sehat menurut budaya? 

Jika menilik dari pendekatan psikologi tradisional, memandang penyebab dari perilaku abnormal berasal dari diri individu itu sendiri yang mungkin disebabkan oleh ketidakpuaan atau kepuasan yang berlebih dari alam bawah sadar kita (seperti yang diungkapkan teori psikoanalisa) atau bersumber dari respons yang dipelajari (seperti yang diusulkan oleh teori classical atau operant conditioning). Berakar pada model medis tradisional mendefiniskan sehat adalah kondisi ketiadaan penyakit. Model ini memandang bahwa individu yang bebas dari penyakit sebagai individu yang sehat.


Beberapa budaya memiliki pandangan mereka sendiri terkait definisi sehat itu sendiri. Seperti pada masyarakat Yunani dan Cina pada masa lampau memandang bahwa sehat bukan hanya ketiadaan kondisi negatif tetapi juga kehadiran kondisi positif. Keseimbangan ini juga diakui di banyak kultur. Budaya yang melekat pada kita juga memberikan pengaruh terhadap kesehatan mental individu.

Bagaimana Budaya Berperan Terhadap Kesehatan Mental?

Budaya memberikan kita cara pandang yang berbeda dalam memahami dan mengekspresikan apa yang sedang kita rasakan. Pemahaman ini mengacu pada sikap dan keyakinan suatu masyarakat. Jika kita sakit kita akan cenderung memandangnya dengan dua cara yakni apakah yang kita rasakan itu nyata bersumber dari tubuh kita atau hal tersebut merupakan khayalan. Apakah itu penyakit tubuh atau penyakit mental atau bahkan keduanya.

Budaya juga turut berpengaruh pada motivasi kita dalam masyarakat untuk mencari pengobatan atas perilku abnormal yang kita rasakan. Budaya berpengaruh layaknya hakim yang menentukan apakah suatu tindakan atau perilaku dapat dikatakan abnormal atau tidak. Secara tradisional abnormal digambarkan ketika gejala tersebut jarang, tidak berhubungan dengan lingkungan, bahkan berkaitan dengan inefisiensi, kerusakan, dan distress subjektif individu, hingga delusi. Namun, model ini memiliki kekurangan karena tidak semua perilaku jarang adalah gangguan (disorder) dan tidak semua perilaku terganggu (disordered) adalah jarang. Misalnya, Anda melihat ada orang lain yang sedang merapalkan doa di bawah pohon besar. Jika Anda terbiasa melihat praktik ini dalam budaya Anda maka, Anda tidak akan berpikir bahwa perilaku tersebut abnormal bukan?

Budaya memberikan pengaruh besar termasuk pada stigma dan motivasi individu dalam mencari penanganan. Jika budaya itu menganggap dan memberikan stigma bahwa penyakit mental merupakan suatu hal yang tidak normal, secara tidak langsung akan turut serta meminggirkan individu  itu. Hal ini juga memengaruhi motivasi dari individu itu dan hal ini dapat menjadi sumber stres individu.

Tahukah Kamu!


Tahukah Kamu bahwa praktik magis seperti jampi-jampi, rajah, atau bahkan langgu (Gorontalo) dapat berdampak pada kesehatan mental individu dalam budaya tersebut. Hal ini dapat terjadi karena budaya dapat membentuk stigma masyarakat yang umumnya akan mengaitkan berbagai indikasi gangguan kesehatan mental sebagai bentuk gangguan magis, sehingga kita pun cenderung mengambil langkah pengobatan yang sesuai dengan apa yang kita percaya (stigma). Stigma ini yang akan memperburuk penanganan terhadap gangguan psikologis yang dialami individu dalam masyarakat sekaligus mengabaikan stressor utama yang menjadi penyebab gangguan kesehatan mental.


Referensi

Corrigan, P. W., & Penn, D. L. Lessons from social psychology on discrediting psychiatricstigma., 54, American Psychologist (1999):765–776. [PubMed: 10510666]

Dayakisni, Tri, Yuniardi, Salis. (2004). Psikologi Lintas Budaya . Malang: UMM Press.
Sarwono, Sarlito W.. (2019). Psikologi Lintas Budaya (1). Depok: Rajawali Pers.

U.S. Department of Health and Human Services. (2001). Mental Health: Culture, Race, and Ethnicity—A Supplement to Mental Health: A Report of the Surgeon General. Rockville, MD: U.S. Department of Health and Human Services, Substance Abuse and Mental Health Services Administration, Center for Mental Health Services. 

Yusuf Olalekan Adebayo, Raphael Ekundayo Adesiyan, Chibuzor Stella Amadi, Oluwaseun Ipede, Lucy Oluebubechi Karakitie, & Kaosara Temitope Adebayo. (2024). Cross-cultural perspectives on mental health: Understanding variations and promoting cultural competence. World Journal of Advanced Research and Reviews, 23(1), 432–439. https://doi.org/10.30574/wjarr.2024.23.1.2040
 

Redaksi

Cahyo R. Suleman, Siti Rahmatia Hamzah, Saldin.

Program Studi Psikologi

Fakultas Ilmu Pendidikan

Universitas Negeri Gorontalo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun