Di hari Ibu ini, saya ingin mereview film bergenre keluarga ini yang sedang tayang di Bioskop yaitu Bila Esok Ibu Tiada. Entah mengapa, film ini seolah begitu pas untuk di tonton di hari ini.Â
Dari judulnya, terasa vibes Hari Ibu yang jatuh pada hari ini. Thriller film ini pun saya lihat cukup menarik, sehingga saya pun menonton bersama keluarga minggu lalu, dan baru sempat menulis reviewnya.Â
Film ini begitu menggambarkan kasih sayang Ibunda kepada anak-anaknya. Meskipun ia sendiri sedang dalam kondisi sedih, sepi, galau dan rindu. Sebuah keadaan aktual, yang banyak dirasakan banyak Ibu di Indonesia, bahkan di Dunia. Yang kesulitan untuk menceritakan perasaan yang dialaminya.
Film ini dibuat berdasarkan novel best seller berjudul sama karya Nuy Nagiga. Sedangkan untuk versi filmnya, naskah film Bila Esok Ibu Tiada ditulis oleh Oka Aurora. Dan mulai tayang di bioskop sejak 14 November 2024.
Film Bila Esok Ibu Tiada berkisah tentang seorang Ibu, Rahmi namanya (diperankan oleh Christine Hakim) dan keempat anaknya, Ranika (Adinia Wirasti), Rangga (Fedi Nuril), Rania (Amanda Manopo), dan Hening (Yasmin Napper).
Di awal film dikisahkan bahwa Ibu Rahmi membesarkan keempat anaknya dengan penuh kasih sayang bersama dengan suaminya, Haryo (diperankan oleh Slamet Rahardjo). Kemudian meninggalnya sang suami menyisakan duka mendalam bagi sang istri, karena kepergiannya yang mendadak.
Dari kepergian Bapak Haryo, alur cerita dan konflik film pun dimulai. Terlihat beragam masalah yang dihadapi Ibu Rahmi dan anak-anaknya. Maka dari film ini saya belajar banyak hal:
Kasih Ibu sepanjang masa, namun banyak anak tak menjamin hidup bahagia.
Terlihat dalam film, Ibu Rahmi memiliki 4 anak. Namun hampir semua anaknya yang dewasa memiliki kesibukan sendiri. Dan kadang tak ada waktu meski sekedar mengobrol dengannya untuk bercerita.
Bahkan pepatah bilang, satu Ibu bisa mengurus banyak anak. Namun banyak anak belum tentu dapat mengurus seorang Ibu.
Pun ketika Ibu Rahmi sakit vertigo, Ia pun memilih berobat sendiri tanpa diantar anak-anaknya yang sibuk. Karena tak ingin merepotkan, meskipun saran dokter ia harus ditemani karena penyakitnya yang bisa menyebabkan ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh.
Sosok Ibu Rahmi dalam film terlihat berusaha kuat, tegar dihadapan anak-anaknya, ia yang sedang sakit seolah tak ingin menampakkan rasa sakit, kesedihan dan kerinduannya kepada almarhum suami. Ia hanya menceritakan kepada adiknya saja.
Lalu memilih untuk memendamnya sendiri, bahkan ia pergi tanpa kabar untuk menengok makam suaminya di Purwokerto. Karena ia sadar, dengan menceritakan perasaannya, bisa jadi ia akan memberatkan pikiran anaknya.
Sepanjang film, beberapa orang di Bioskop tempat saya menonton pun terlihat tersentuh dengan film ini. Termasuk saya, yang terasa berkaca dengan diri sendiri. Saya yang kadang sibuk dengan pekerjaan, yang kadang mungkin lupa menanyakan keadaan orang tua di rumah.
Setiap anak memiliki kesibukan dan tingkat kesuksesan masing-masing.
Sebuah problema ketika setiap anak memiliki kesibukan yang kadang tak bisa ditinggalkan. Namun juga tak bisa menceritakan setiap masalah yang dimiliki secara mendetail kepada orang tua, karena khawatir akan menambah beban orang tua.
Terlihat dari Ranika, sang anak sulung. Selepas sang Ayah meninggal dunia, ia praktis menjadi tulang punggung keluarga. Ia pun rela tak menikah karena berusaha melindungi keluarga, memenuhi kebutuhan sang Ibu dan adik yang kuliah.
Beban dan tanggung jawab si anak sulung yang tidak bisa ia bagi, kadang membuat ia seolah terpaksa mengalah. Bahkan ketika ia melihat Rania, adiknya yang terlihat dekat dengan orang yang dia sukai.
Sifat Ranika yang cenderung tidak bisa berekspresi, bercerita secara detail. Dan kadang ketus atau salah ucap (terlihat penuh beban dan banyak pikiran). Yang ditangkap adik-adiknya seolah Ranika sebagai sang Kakak tertua yang bersikap otoriter dan suka mengatur.
Sehingga sepanjang film kita akan melihat konflik antara Ranika sang anak sulung dengan Rangga anak kedua. Rania sang anak ketiga yang berprofesi sebagai artis. Juga Hening sang anak bungsu.
Ketidak akuran keempatnya jelas terlihat ketika Ibu Rahmi ulang tahun. Anak-anaknya yang awalnya lupa ulang tahun sang Ibu. Malah bertengkar di meja makan, karena Ranika sang kakak yang memiliki pekerjaan bagus, salah berbicara kepada Rangga yang saat itu belum memiliki pekerjaan tetap. Dan Rania sang adik yang merasa tersinggung, karena hanya aktris pemeran hiburan.
Sehingga membuat Ibu Rahmi semakin sedih karena merasa kesulitan untuk menyatukan anak-anaknya yang tak akur. Apalagi Rangga yang merasa tersinggung malah memutuskan meninggalkan acara makan-makan saat ulang tahun sang Ibu.
Kepergian pasangan seperti kehilangan sebagian hidup.Â
Apalagi jika pasangan adalah sosok yang selalu mendukung. Terlihat dalam film, sepeninggal suaminya Ibu Rahmi terlihat sedih dan merindukannya.Â
Pasangan hidup (istri/suami) ibarat belahan jiwa. Ketika ditinggalkan sosok yang dicinta, hanya iman kepada Allah yang bisa menjadi pegangan ketika seseorang ada dalam fase sulit ini.
Hal ini yang juga dialami saudara, dan teman saya yang juga ditinggalkan pasangannya menghadap ilahi. Maka sayangilah pasangan selagi ada waktu dan kesempatan.Â
Karena pasangan adalah teman bercerita sepanjang pernikahan, hingga kita menutup usia. Berbeda dengan anak-anak, mereka ketika dewasa akan sibuk dengan urusannya sendiri.
Maka di film ini dikisahkan, Ibu Rahmi yang tak ingin menampakkan kesedihannya setelah kepergian sang suami. Serta memilih untuk memendamnya sendiri.Â
Karena ia sadar, dengan menceritakan perasaannya. Bisa jadi ia akan menambah beban pikiran bagi anak-anaknya yang sibuk dengan urusan masing-masing. Terutama karena keempat anaknya yang sudah dewasa, dimana masing-masing memiliki kesibukan dengan dunianya sendiri.
Sesama saudara harus rukun, jangan menjatuhkan.
Dalam salah satu adegan film, diceritakan Rania yang sebelumnya terlibat kasus narkoba. Menyalahkan sang kakak karena tak menunggunya keluar dari tahanan untuk memakamkan sang Ibu. Ia berprasangka dan menuding ini adalah ketidaksukaan sang kakak terhadapnya.
Padahal nyatanya tidak demikian, Ranika sang kakak lah yang paling sibuk berusaha mencari tahu keberadaan sang adik. Dan ingin menunggu agar sang Ibu bisa dimakamkan setelah ada kabar tentang Rania. Namun Rangga, adik kedua yang memutuskan sang Ibu dimakamkan bersama sang Ayah, mengingat ketika seseorang meninggal harus segera dimakamkan.
Dari hal ini, kita akan diingatkan bahwa, ketika kecil saudara bisa hidup bersama dan rukun. Namun saat dewasa, masing-masing memiliki kepentingan, persoalan dan keluarganya sendiri.
Sehingga tak jarang, ketika orang tua tak ada lagi malah saling bertengkar seolah orang asing, dan tak ada hubungan darah. Semoga hal ini tak terjadi di antara kita ya..
Untungnya, di bagian terakhir pada film diceritakan bahwa hubungan kakak-adik ini membaik. Sehingga penonton pun bisa mendapatkan pelajaran penting bahwa setiap masalah harus dicari jalan keluar dengan kepala dingin ya..Â
Penyesalan selalu datang terlambat.
Dari novel/film ini kita belajar bahwa jangan menyia-nyiakan waktu dan kesempatan yang ada. Sayangi orang tua terutama Ibu dengan segenap kasih. Berikan waktu dan perhatian yang cukup, agar mereka tak merasa kesepian di usia lanjut mereka.
Kadang, penyesalan bisa jadi datang terlambat. Namun lebih baik, daripada tidak memperbaiki kesalahan sama sekali.
Yang perlu diingat, dengan mendampingi orang tua. Maka kita dapat meraih ridho Allah dan meraih keberkahan dunia dengan lebih mudah.
Akhir kata, saya cukup puas dengan film ini sehingga memberi nilai 8 untuk film ini. Semoga di masa depan, akan lebih banyak Sineas Indonesia yang membuat film tak hanya sebagai hiburan semata. Namun juga sarat hikmah dan pelajaran yang dapat di ambil.Â
Terimakasih sudah membaca
Selamat hari Ibu, 22 Desember 2024
#PutriEkaSari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H