Tentu Abangku yang dari dulu hanya bekerja di bengkel kalah level. Jika dibandingkan calon suami Mba Dian Kala itu.
"Hehe hati-hati jangan kebanyakan melamun Bang. Lebih baik Kau nikahi saja itu Mba Dian." Ledekku lagi sambil terkekeh.
Yang diledek malah terdiam menunduk, tanpa jawaban. Hanya menampakkan raut muka lesu. Terlihat dari wajahnya yang dulu rupawan kini termakan usia, larut dalam sendu dan kesepian.
"Ceritalah bang.. Ada apa? Mungkin aku bisa meringankan sedikit bebanmu.." Kataku sambil mengambil posisi duduk di sebelahnya.
"Janganlah Kau tanggung sendiri terus Bang.. berbagilah denganku, mungkin saja kali ini Adikmu bisa membantu dan mencarikan solusi untukmu.." Bujukku lagi sambil memandanginya. Berharap Abangku mau membuka hatinya untuk bercerita.
"Uangku belum cukup untuk melamarnya Na.. Mau dibuat bayar SPP Rudi dulu, biar dia bisa Ujian.." Jawabnya perlahan. Mungkin sebenarnya Ia malu dan tak ingin menceritakan beban yang ada di pikirannya.
Jelas Ia tak ingin meresahkan hati sang adik, ia selama ini memendam sedih dan derita sendirian. Demi mencukupi kebutuhan adik-adiknya.
Hingga di usia kepala 4, Ia masih betah melajang, tanpa pendamping. Karena sibuk bekerja, mencari nafkah setiap hari di bengkel motor bersama rekannya Mas Kus, di depan gang rumah.
"Janganlah Kau pikirkan SPP si Rudi Bang, alhamdulillah.. kebetulan honor mengajarku hari ini keluar.. Nanti SPP Rudi biar kali ini aku yang bantu bayar ya.. " kataku ceria, teringat honor mengajar yang baru ku dapat tadi pagi.
"Tak usahlah Na, Itu kan untuk keperluanmu selama mengajar" Ucapnya buru-buru, berusaha menolak tawaranku.
"Lagipula honormu kadang terlambat datangnya Na, nanti kau tak ada pegangan uang" Katanya kemudian.