Maka kuurungkan niatku sambil ku tengok ke sebelah kananku, ku pikir Ibuku yang ada di sana. Tapi ternyata bukan, seorang yang sedang berzikir itu menoleh dengan senyuman dan aura mata yang ramah. Parasnya hitam namun giginya putih, begitu kontras dengan warna kulitnya, mungkin berasal dari benua Afrika.
Aku sekilas membayangkan Bilal bin Rabbah versi perempuan. Yang taat dalam ibadah dan memiliki akhlak mulia, yaitu tersenyum kepada sesama muslim lainnya. Sungguh, Allah tidak memandang fisik seseorang. Namun ketakwaannya. Masya Allah... Tabarakallah.
Di tempat suci ini, yang banyak diidamkan banyak orang muslim di muka Bumi. Aku bertemu dengan berbagai Ras dan golongan. Kami dapat solat Bersama di Masjidil Haram, Mekah Al Mukaromah. Dimana solat di Masjidil Haram pahalanya lebih banyak 100.000 kali lipat jika dibandingkan dengan solat di rumah/tempat ibadah lainnya.
Sehingga pantaslah banyak orang berlomba untuk datang, bertawaf dan Sa'I seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, junjungan kami.
Tempat di mana belum tentu Allah panggil hambaNya ke sini untuk beribadah, meski diri mampu secara finansial. Karena yang mampu secara materi, bisa jadi lebih memilih untuk menghabiskan uangnya ke tempat lain atau untuk keperluan lain. Ada juga yang fisiknya belum mampu datang karena kondisi tubuh kurang memungkinkan, meski mampu secara financial. Misalnya sakit ataupun penghalang lainnya.
Seperti contohnya yang ku alami sebelum aku berangkat, rombongan kami melaksanakan manasik haji di asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur. Sepulang dari manasik, salah satu Jemaah, mengalami kecelakaan motor dan menyebabkan kakinya patah tulang. Sehingga akhirnya jemaah tersebut tidak bisa ikut rombongan untuk berangkat umroh bersama. Sungguh betapa sedihnya perasaannya, hal yang diidamkan belum bisa terwujud.
Aku hanya dapat berdoa, semoga Allah mengganti ibadah umrohnya di lain waktu. Karena aku pun Allah panggil bersama rombongan Ibu-Ibu pengajian tempat Ibuku mengaji. Hal ini adalah sesuatu di luar prediksiku. 3 tahun lalu, Ibuku mengajakku untuk menabung Bersama dengan teman-temannya.
Saat itu aku hanya mengiyakan, karena ku pikir, daripada uang gaji hasil kerjaku hanya untuk jajan dan membeli keperluan sehari-hari saja. Aku pun menabung langsung setelah gajiku terima, baru sisanya ku belanjakan untuk keperluan rumah.
Dengan bermodal tekad kuat untuk tidak mengambil tabungan tersebut hingga cukup untuk umroh, seperti halnya Ibuku yang juga menabung setiap bulannya, menyisihkan dari uang pensiun yang diterimanya.
Kisah menabung yang ku lakukan ini, tentu juga dialami oleh Jemaah lainnya. Diantaranya dari salah satu Jemaah di rombonganku, yang saat di perjalanan beliau bercerita. Bunda Ana Namanya, Ia adalah seorang penjual nasi uduk yang setiap paginya berjualan di dekat rumahnya.
Ia bercerita dengan bersemangat, menggambarkan saat di perjalanan dalam pesawat, kebetulan Ia duduk bersebelahan denganku. Beliau sesekali menghapus air matanya, karena ia tak menyangka, seorang janda tua seperti dirinya, dapat membiayai umroh, perjalanan yang begitu jauh, beratus kilometer dari rumahnya.