Asingkah dengan Senioritas dalam kehidupan?
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia daring, kata senior didefinisikan sebagai sebuah keunggulan atau kelebihan dalam hal jabatan, pangkat, kematangan, kemampuan, dan usia (Kompas.id).
Saat ini begitu ramainya publik membicarakan tentang senioritas yang berkaitan dengan peristiwa Bunuh Diri nya seorang dokter yang diakibatkan depresi.Â
Beberapa sumber menyebutkan bahwa dokter tersebut depresi karena tidak kuat menanggung beban mental, setelah sebelumnya mengalami peristiwa pembullyan secara terus-menerus dari kakak 'senior' nya.
Pembullyan dari senior kepada junior seolah tidak aneh dan menjadi sebuah hal yang biasa dilakukan di lingkungan. Layaknya mengakar dalam kehidupan.
Meskipun beberapa orang beranggapan, proses pembullyan adalah sebagai penguatan mental bagi orang lain, dalam hal ini adik kelas agar lebih kuat menghadapi masa depan. Â
Padahal seharusnya budaya pembullyan yang bersifat senioritas ini tidak diturunkan secara turun temurun dan di wariskan. Terutama kerap dilakukan hampir setiap awal tahun ajaran baru (di Sekolah atau Kampus).
Pelaku pun akan berganti, dari yang semula junior mendapatkan perlakuan bullying, kemudian akan meneruskan perilaku berulang ketika sudah menjadi kakak tingkat. Dan cenderung mengulangi hal yang sama sebagai pembalasan dendam kepada junior berikutnya.
Fenomena ini seolah menjadi mata rantai yang tak pernah putus dalam siklus kehidupan. Ketika nikmatnya membully, karena kekuasaan menjadi sebuah pemuasan ego.
Hampir semua lini sepertinya menerapkan bullying dari senior kepada juniornya. Tak ayal selayaknya hukum rimba, yang kuat yang akan menang dan berkuasa.
Pengalaman pribadi saat dulu sekolah, beberapa teman pun mengalami pembullyan oleh senior (kakak tingkat). Contohnya makan bersama dengan keadaan di 'ludahi' terlebih dahulu oleh senior. Baru kemudian adik junior pun diperbolehkan makan bekasnya.Â
Cara-cara yang menjijikkan seperti ini sering terjadi di banyak tempat. Layaknya sebuah ritual untuk bisa masuk, menjadi satu bagian dan eksis dalam sebuah lingkungan.Â
Dengan berbagai alasan, cara seperti demikian dilakukan. Salah satunya, untuk kebersamaan. Senior pun berusaha menunjukkan otoritasnya.
Seperti tak lekang dari ingatan, kasus yang berhubungan dengan pembullyan yang dilakukan di instansi militer ataupun sekolah tinggi ilmu pemerintahan.
Di sana, bukan hanya makian dan pembullyan secara  verbal dengan kata-kata yang dilakukan, namun juga diperparah dengan penganiayaan secara fisik kepada seorang junior. Tak hanya pukulan, tendangan dan perusakan barang adik junior, seolah suatu hal yang wajar.
Bahkan menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.
Tentu menjadi sebuah ironi yang meyayat hati bukan?
Begitu tak peduli nya kah seorang Kakak Senior kepada Adik Juniornya?
Lalu dimana rasa kemanusiaan itu? Tertutup kah hati dan pikiran mereka atas nama kesenangan, kepuasan semu di atas kekuasaan?
Senior yang seharusnya mengayomi, membantu, menenangkan adik juniornya. Layaknya Kakak yang sayang terhadap adik. Â Malah menindas atau seolah bersaing dengan adik junior.
Bahkan semenjak jaman dahulu, saya selalu terngiang sebuah slogan, yang digaungkan oleh para senior pada juniornya. Layaknya sebuah pasal tak tertulis, yang bunyinya :Â
Pasal 1, Senior selalu benar
Pasal 2, Jika senior salah ingat pasal 1
Disini seolah dijelaskan bahwa senior selalu benar, dan junior sebaik dan sebenar apapun, akan selalu salah di mata senior nya.
Dan hal ini bagi seorang junior menjadi sebuah beban mental tersendiri. Karena ternyata untuk masuk sebuah kampus, instansi ataupun tempat favorite, menjadi pintar saja tidak cukup.
Karena perlunya melewati masa proses perploncoan, yang kadang tak usai di awal semester saja. Namun bisa jadi hingga lulus sekolah/kuliah. Bahkan bisa jadi seumur hidup (jika berada di suatu instansi).
Lalu kemana harus mengadu? Â Mau cerita sama siapa? Karena teman-teman pun mungkin mengalami keadaan yang hampir serupa. Bukankah menjadi malu jika dianggap tidak kuat menjalani hari, atau dianggap lemah dan cengeng akan hidup.
Kenapa tidak cerita ke Orang tua saja? Salah satu alasannya adalah ketika bercerita dengan orang tua, khawatir akan menambah beban pikiran mereka.Â
Jadi mau lapor kemana? Berbicara dan mengungkap ke media sosial pun tak bisa, karena tentu akan mencoreng nama baik instansi terkait.
Hal ini adalah sebuah potret kelam yang menyedihkan, dari keadaan di Indonesia tercinta. Namun mungkin juga ada di belahan Bumi yang lainnya.
Maka sebaiknya, kita mulai membangun kesadaran diri, agar pembullyan dari senior yang bersifat negatif ini tidak terulang kembali di masa depan.
Mari memerdekakan diri dari rasa superior, rasa senioritas dan rasa paling unggul akan suatu hal. Sadarilah bahwa semua hal yang ada di dunia ini adalah titipan, bisa jadi saat ini anda berada di atas secara keilmuan, namun suatu saat anda yang bertukar posisi, menjadi sebaliknya.
Maka tanamlah kebaikan dimanapun kita berada, terlepas dari siapa dan apalah kita.. Â
-Jakarta, 20 Agustus2024-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H