Mohon tunggu...
Putri diahayu
Putri diahayu Mohon Tunggu... Lainnya - Putri Diah Ayu Pitaloka

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tanpa Kepala

5 Agustus 2020   19:45 Diperbarui: 5 Agustus 2020   19:47 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Segera kuhamburkan lamunanku tentang dirinya, aku segera mengambil langkah laju menuju sekolah. Kakinya mengiringi langkah kakiku yang begitu cepat. Dia tau betul bagaimana cara menghadapi emosiku. Ya seperti itu, diam adalah cara terbaik untuk menghadapiku.

Sesampainya di depan kelas, tubuhku gemetar tak terhentikan, bibirku membisu, dan perutku serasa diaduk-aduk. Aku tidak tahan lagi, ku muntahkan, ku keluarkan semua isi perutku. Genangan berwarna merah itu tercecer didepan ruang-ruang kelas dan memberikan bau anyir. Terlihat jelas bahwa itu memang genangan darah.

“Astagfirulah, ape tuh” firman benar-benar terkejut.

Tidak lama, semua orang berkerumun memenuhi sekolahku. Kemudian, sekelompok aparat kepolisian keluar dari arah kamar mandi dan membawa kantong panjang seukuran tubuh manusia. Semua orang meliput dan mengabadikan momen yang teramat miris. Beberapa polisi menanyai kami, sebagai saksi mata pertama.

“Macam mane kami nak tau. Kami berdue baru jak datang am. Kami ni baru datang, langsung am nengok ka depan sekolah ni tibe-tibe sudah penuh darah am.”

Firman menjawab semua pertanyaan dari polisi dan wartawan yang ada. Sedangkan, aku hanya bisa duduk membisu disampingnya. Suara keramaian dan pertanyaan wartawan mulai sirna dan bertumpuk dengan suara lain yang cukup mengusik. Awalnya suara itu terdengar samar-samar. Tidak lama, suara itu semakin keras. Baru saja redam, tiba-tiba muncul lagi. Sampai akhirnya… plaaaakkkk…

“Aduh buk, sakit.”

“Sakit, sakit dari tadi tidur terus.”

“Kaget aku. Mimpinya lagi di puncak ketegangan kok dibangunin buk, buk.” Kembali meraih guling dihadapannya.

“Astagfirullah bangun Ri udah jam 9 ini, kok malah nyari posisi tidur lagi. Katanya ada kerja kelompok bareng Firman sama Sela. Temenmu udah nunggu di depan rumah itu lho. Sana mandi dulu.” Berjalan keluar kamar, dan menuju ruang tamu yang sudah penuh dengan barang-barang yang dibawa sales langganannya.

Bergegas melompat dari kasur dan segera mandi. Beberapa menit kemudian aku izin untuk mengerjakan tugas kelompok, akan tetapi, ibu tidak tahu, sebenarnya setelah kerja kelompok kami akan pergi ke blok-blok perkebunan kelapa sawit untuk mencari jamur janjangan. Jika aku izin, pasti ibu akan marah dan melarang, dengan alasan berbahaya, ada binatang buas, dan ada pemenggal kepala. Tapi, kami tetap saja tidak takut dan menganggap pemenggalan kepala anak-anak hanyalah sebuah isu yang beredar di daerah heterogen ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun