Selain batal menjadi tuan rumah, Indonesia juga harus menerima sanksi. FIFA telah mengkonfirmasi hal ini melalui surat keputusannya dimana akan ditentukan sesegera mungkin.
Beberapa kemungkinan sebagai dampak buruk pun telah diprediksi, antara lain kecaman dari dunia internasional karena Indonesia dianggap diskriminatif sekaligus tidak mampu melaksanakan amanat. Diskriminatif dalam hal ini dimaknai bahwa Indonesia dinilai terlalu mencampur adukkan kepentingan dan esensi olahraga dengan politik.
Jika dihitung dalam kalkulasi ekonomi, bisa dikatakan bahwa Indonesia telah mengalami kerugian dalam penyediaan modal penyelenggaran. Diketahui sejak Juli 2020, pemerintah Indonesia telah mengucurkan dana hingga Rp. 400 miliar khusus untuk persiapan penyelenggaran piala dunia. Lalu pada Juni 2022, pemerintah memberikan tambahan dana sebesar Rp. 3 Triliun khusus untuk pengembangan olahraga.Â
Dari total dana tersebut, Kementerian Pemuda dan Olahraga (MENPORA) menggunakan Rp. 500 miliar untuk kepentingan persiapan piala dunia. Tak sampai disitu, pada Februari 2023, pemerintah kembali menggenjot dana hingga Rp. 314 miliar khususnya untuk urusan renovasi lokasi dan venue. Jika ditotal, maka kurang lebih pemerintah Indonesia telah menggelontorkan dana hingga Rp. 1,4 Triliun untuk belanja modal pelaksanaan Piala Dunia 2023.
Pengamat sepak bola sekaligus mantan pelatih PERSIJA, Mustaqim berpendapat keputusan ini juga berimplikasis pada nilai ekonomi Indonesia, khususnya di bidang pariwisata. Sebagai salah satu liga dengan kasta tertinggi, nilai ekonomi yang dihasilkan dapat mencapai hingga Rp. 3 Trilliun. Fakta ini didukung oleh fakta bahwa sepak bola merupakan cabang olahraga yang paling banyak diminati oleh masyarakat Indonesia.
Maka dari itu, apabila kemungkinan liga Indonesia dihentikan sebagai sanksi yang diberikan FIFA, maka seluruh kompetisi regular Indonesia tidak dapat dilaksanakan. Lantas, hal ini akan berdampak pada mata pencaharian kelompok masyarakat tertentu seperti pengurus, wasit, bahkan pedagang kaos, sepatu dan sektor pariwisata lainnya.
PT Juara Raga Adidaya sebagai perusahaan pemegang lisensi merchandise Piala Dunia 2023 juga menyatakan kekecewaannya terhadap keputusan FIFA. Perusahaan tersebut bahkan telah memproduksi hingga 53 jenis merchandise. Angka ini merupakan yang paling terbanyak yang bisa dihasilkan dalam sejarah Piala Dunia U-20.
Mohammad Faisal selaku Direktur Eksekutif Center of reform on Economics (Core) menambahkan bahwa pelaksanaan Piala Dunia U-20 2023 di Indonesia sejatinya akan sangat menguntungkan berbagai sektor, terutama pariwisata baik bagi usaha kecil hingga besar. Sektor tersebut meliputi hotel, restoran, dan bahkan UMK.
Beliau mengambil contoh Korea Selatan yang pernah menjadi tuan rumah Piala Dunia 2014 dimana  berhasil meraup untung hingga Rp. 180 Trilliun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H