Wibu.
Julukan itu kerap melekat pada mereka yang kita ketahui menyukai hal-hal yang berbau budaya Jepang. Mulai dari animasi-animasinya yang beragam, lagu-lagunya, game, bahkan bahasa yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti halnya K-Popers, penyuka K-Pop atau musik pop Korea, Wibu adalah label yang kita berikan pada mereka yang menyukai budaya Jepang, terutama hiburan-hiburan yang ditawarkan Negeri Sakura itu.
Kita melihat seorang murid sekolahan menyaksikan animasi Jepang dan pikiran kita seolah otomatis melabelinya dengan sebutan wibu. Ini seperti melabeli seseorang yang sedang makan dengan pemikiran bahwa mereka tengah lapar. Seperti halnya sebuah label, Wibu punya stereotip yang mengikuti mereka. Sebuah anggapan yang menggeneralisir satu kelompok sepenuhnya. Stereotip yang jelas-jelas tidak bisa dipercayai begitu saja dan di saat yang bersamaan, begitu melekat di kepala kita.
Wibu acapkali dibarengi dengan stereotip bau bawang, karena mereka (maaf) jarang mandi demi menghabiskan satu season anime kesukaan mereka. Wibu juga sering dilabeli dengan sebutan (sekali lagi, maaf) autis. Wibu dianggap freak, tidak bisa bersosialisasi, dan sederet anggapan lain yang tidak akan saya tulis secara eksplisit di sini. Yang seharusnya jadi pertanyaan, apakah semua anggapan itu benar?
Saya akan dengan senang hati menyatakan; tidak semua Wibu seperti yang Anda bayangkan.
Tentu, saya tidak akan berbohong dengan mengatakan tidak ada Wibu yang bau bawang, tidak ada Wibu yang sulit bersosialisasi, atau tidak ada Wibu yang freak hingga membuat Anda ingin melarikan diri. Orang-orang seperti itu memang ada, dan bisa jadi, sifat-sifat tadi melekat dan didukung oleh hobi mereka memuja makhluk dua dimensi dan budaya Jepang lainnya.Â
Akan tetapi, stereotip tidak mencakup keseluruhan populasi. Nyatanya, wibu-wibu yang saya ajak bicara, mereka seperti stereotip yang saya sebutkan di paragraf sebelumnya. Mereka cantik dan wangi. Mereka juga harum dan murah senyum. Jauh dari kesan Wibu bau bawang, freak, dan ansos yang sering kita dengar. Nyatanya, ketika saya berbicara dengan mereka, mereka mengatakan bahwa hal-hal seperti itu (bau bawang, freak, dan anti-sosial) kembali pada pribadi masing-masing orang. Bukan tergantung dari apakah dia lebih suka makhluk dua dimensi atau makhluk nyata.Â
Umumnya, sesama Wibu memang merasa lebih nyaman berinteraksi dengan mereka yang menggeluti dunia yang sama. Namun, bukankah itu sifat dasar manusia? Bukankah kita merasa nyaman berada di tengah orang-orang yang paham dengan kesukaan dan pikiran kita? Wibu juga tidak jauh berbeda. Jadi, jika suatu saat Anda kebetulan melewati kerumunan Wibu yang tengah cosplay karakter kesayangan mereka, coba pahami itu dengan pandangan yang lebih tidak menghakimi.Â
Selama tidak merugikan kita atau melanggar aturan yang ada, ya apa salahnya? Kalau kita mau berdebat soal aneh sekali menyukai makhluk yang tidak nyata, bukannya kita juga harus berdebat mengenai mereka yang hobi menonton orang-orang berebut sebiji bola atau menari di atas panggung dengan karakter bikinan agensi? Saya sih tidak berniat menyerang, yang ingin saya katakan adalah; marilah kita sama menghargai kesukaan masing-masing.
Lagipula, Wibu tidak sejelek itu. Oke, saya tidak akan menampik fakta bahwa ada oknum-oknum yang menonton Anime hanya untuk melihat fanservice. Ada sisi-sisi seksis dan jorok yang sering dikaitkan orang-orang dengan mereka yang menggeluti dunia wibu ini, terutama mereka yang gemar menonton Anime. Ada banyak bagian-bagian gelap dari dunia wibu yang sekali lagi, tidak akan saya bicarakan secara eksplisit di sini. Namun, mereka yang saya wawancarai dan fakta yang saya lihat di lapangan juga membuktikan bahwa menjadi Wibu bukanlah dunia yang sesuram itu, tidak selalu dan tidak semuanya.
Kita ambil contoh mereka yang gemar menonton anime. Mereka yang saya wawancarai mengatakan bahwa mereka merasa dibantu dengan anime tertentu yang mereka tonton. Jangan mengelak, memang banyak kok anime bagus di luaran sana. Banyak yang bercerita soal kekuatan persahabatan, meraih mimpi, pantang menyerah dan keinginan kuat untuk menang. Banyak pelajaran hidup yang bisa kita dapatkan tergantung dari pilihan tontonan kita. Anime tidak selalu mengenai cewek berdada besar dengan suara imut. Hal yang demikian memang banyak, tapi tidak semuanya fokus ke sana. Jika kita bisa memilih dan menaruh perhatian pada alur dan pesan yang diberikan, ada banyak pelajaran hidup yang bisa kita dapatkan.  Ini hampir mirip dengan konsep menggunakan internet. Begitu banyak hal buruk yang gampang diakses, makanya Anda butuh kemampuan untuk bisa menyaring hal-hal buruk itu dan menerima hal-hal baiknya saja.
Lagipula, seperti halnya cerita menginspirasi seorang fans yang hidupnya diselamatkan sepotong kata atau lirik idolanya, Wibu juga bisa mengalami hal-hal seperti itu. Pecinta anime yang saya wawancarai mengatakan bahwa mereka merasa terbantu setelah menonton anime-anime tertentu. Mereka menjadi lebih percaya diri, lebih berani, lebih mencintai dan mau menerima diri sendiri. Karakter-karakter yang mereka kagumi menginspirasi dan membuat mereka ingin menjadi sosok yang lebih baik lagi.
Memang sih, anime cuma fiksi, tapi kata siapa itu tidak bisa menginspirasi? Yang penting adalah bagaimana kita bisa memilah dan memilih hal-hal yang kita dengar dan kita lihat dari hobi yang kita lakukan. Jika hobi Anda adalah menonton anime, maka baca baik-baik peringatan mengenai tontonan macam apa yang akan ada saksikan dan jangan diterima mentah-mentah begitu saja. Jika Anda mau memberikan kesempatan pada diri Anda untuk mulai menonton anime, Anda bisa menemukan bahwa banyak tontonan yang layak dan bagus di luar sana.
Butuh rekomendasi? Mulailah bertanya pada Wibu di sekitar Anda.
Setelah menyelam ke dunia wibu itu sendiri dan bertemu dengan berbagai macam orang, saya juga menyimpulkan bahwa wibu yang awalnya freak dan ansos pun bisa tumbuh dewasa sambil tetap tanpa melepaskan kesukaan mereka terhadap anime atau lagu Jepang. Ini seperti sebuah fase. Fase bocah atau fase remaja di mana seseorang bersikap sok cool seperti karakter anime kesukaannya, merasa paling beda sendiri, hobi menyelipkan bahasa Jepang dan potongan-potongan kalimat yang terkesan cringe, dan tergila-gila pada makhluk fiksi hingga melewati batas logika. Masa-masa pemujaan fanatik bisa terlewati menjadi kesukaan yang lebih tenang, hobi yang lebih sehat dan tidak membuat orang terganggu atau merusak diri. Memang sih, masih ada orang dewasa yang tidak sepenuhnya lepas dari sifat-sifat yang dianggap tidak wajar itu, tapi beberapa menjadi lebih seperti jalan keluar dari penatnya kehidupan. Lagi pula, seperti yang sudah saya sebutkan sebelumya, itu kembali lagi pada diri mereka masing-masing.
Memang susah melepaskan kacamata stereotip ini, terlebih stereotip-stereotip itu tidak muncul begitu saja, pasti ada data yang mendasarinya. Akan tetapi, hendaknya kita memberi kesempatan pada diri kita untuk melihat sisi lain dari sesuatu yang sebelumnya kita pandang dengan kegelapan semata.
Seperti halnya dunia Wibu ini. Mulailah membuka kedua mata dan memandang dengan lebih tidak menghakimi. Semua hal buatan manusia pasti memiliki sisi baik dan siri buruknya sendiri. Semuanya tergantung pada kemampuan kita untuk bisa membentengi diri. Terlebih di era teknologi yang super canggih ini, kita harus ekstra hati-hati terhadap apa saja bisa kita temui.
Akhir kata, terima kasih sudah membaca tulisan ini. Sampai jumpa lagi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H