DIAGONAL BIRU
Karya Komroden Haro ini merupakan salah satu karya yang terletak di Jl.Mangkubumi dipamerkan dalam event Jogja Street Sclupture Project, karya tersebut berjudul “Diagonal Biru” dibuat pada tahun dari bahan kayu Jati berukuran 220x14 cm. Karya “Diagonal Biru” tersebut berbentuk pensil berwarna biru yang ujungnya dibuat runcing dengan sempuna dan berdiri dengan kemiringan 45 derajat ke arah selatan. Ujung atas pensil tersebut dibentuk seperti salah satu simpul tunggal. Pada kayu jati berbentuk pensil tersebut terdapat tulisan yaitu nama dari pembuat karya dan tahun dibuatnnya karya, dan pada ujung kayu bagian atas terdapat tulisan HB. Karya tersebut diletakkan di trotoar sebelah sisi kanan jalan yang dimana di sekitarnya terdapat banyak pertokoan.
Karya patung berbentuk pensil ini berdiri dengan kemiringan 45 derajat ke arah selatan, yaitu ke arah Kraton Kasultanan Yogyakarta, dan seperti yang tertulis pada pensil, huruf “HB” bisa diartikan sebagai Hamengkubuwono yang merupakan pemimpin dan pemilik keputusan mutlak bagi wilayah Yogyakarta, dimana seluruh pemerintahan berada dibawah keputusan dari Hamengkubuwono X yang memerintah saat ini. 45 sendiri mewakili makna kemerdekaan dimana pada tahun 1945 Indonesia terbebas dari penjajah dan meraih kemerdekaannya.
Bahan yang digunakan adalah kayu jati, dimana kayu jati merupakan salah satu kayu dengan kualitas terbaik dan mahal harganya, kayu jati ini menjadi perwakilan tentang sosok Kraton Kasultanan Yogyakarta yang masih kokoh berdiri hingga sekarang disamping perkembangan Kota Yogyakarta yang semakin modern.
Kenyataannya, pensil HB merupakan pensil yang bila digunakan untuk menulis atau menggambar sangat tipis dan mudah dihapus, dengan kata lain untuk membentuk makna karya ini adalah bahwa kekuasaan Sri Sultan saat ini tak sekuat dulu, ini berkaitan dengan kemerdekaan atau kebebasan Sultan dalam mengatur tata kota Kota Yogyakarta dan semua itu sangat bepengaruh nantinya dengan kondisi wilayah yang berada dalam pimpinannya.
Namun bisa juga diartikan sebaliknya, yaitu bahwa kekuasaan dari Hamengkubuwono X ini sudah semakin memudar seiring berkembangnya Kota Yogyakarta, dimana Sultan tidak menjadi penguasa mutlak seperti pada jaman sebelum beliau berkuasa.
Simpul bisa mengacu pada batasan atau sesuatu yang rumit,keterikatan dan tekanan dari luar, batasan kali ini bisa mengacu kepada batasan tentang peraturan-peraturan yang seharusnya ditentukan oleh Sri Sultan sendiri selaku pemimpin dari Kota Yogyakarta itu sendiri.
Tekanan-tekanan dari luar muncul dari semakin pesatnya pembangunan hotel dan mall di Kota Yogyakarta ini yang disinyalir menyebabkan berkurangnya keinstimewaan Kota Yogyakarta sendiri, unsur budaya memang masih kuat bila kita menengok Kota Yogyakarta dibanding dengan kota-kota yang lainnya, namun untuk orang yang sudah lama tinggal di Yogyakarta merasakan betul drastisnya perubahan Kota Yogyakarta yang awalnya rindang dan teduh menjadi semakin panas semenjak banyaknya hotel dan mall yang memakan banyak ruang hijau.