Mimpi itu tak terbelenggu jeruji besi. Mungkin jalan panjang yang mereka tempuh pernah hitam, namun masa depan yang cerah juga berhak menjadi milik mereka.
Pagi belum lagi beranjak, jarum jam baru menunjukkan pukul 10.00 WIB. Hari itu, Jumat (8/4) ratusan pemuda tanggung tanpa baju dan bercelana pendek jongkok berbaris rapi di lapangan yang tak terlalu hijau. Seorang petugas memegang tongkat pemukul sementara di depannya dua orang pemuda sedang dihukum push up. Melewati jalan setapak di pinggir lapangan, berpuluh pasang mata menatap sinis namun penuh tanda tanya. Bau keringat dan makanan sisa bercampur menjadi satu. Suara mereka riuh rendah tidak karuan, beberapa sibuk menampung air dalam ember-ember putih bekas cat. Beginilah mereka, narapidana (napi) anak berusia di bawah 20 tahun yang berada di Lembaga Permasyarakatan (lapas) Anak Klas II, Tanjung Gusta. Setiap harinya, mereka mengadakan apel pagi sekaligus senam sebelum melakukan kegiatan masing-masing.
Adalah Irwanto yang akrab dipanggil Anto, pemuda bermata cipit yang baru saja mengikuti apel pagi tersebut. Anto baru duduk di kelas 2 SMP di dalam lapas. Ia memutuskan untuk sekolah walaupun usianya sudah menginjak 20 tahun. Disini, setiap orang boleh memilih untuk bersekolah atau tidak. Anto sendiri ingin bersekolah karena kebosanan kerap menghampirinya. Di lain sisi, ia juga ingin menyambung pendidikannya yang sempat terputus di bangku SMP. Anto yang suka membaca ini menceritakan proses belajar mereka. Sekitar pukul 9 pagi semua napi yang bersekolah masuk ke kelas. Tidak akan ada seragam putih biru yang kita temukan, karena para napi bersekolah dengan baju biasa. Bahkan beberapa dari mereka tidak berbaju. Anto bersekolah dengan 12 orang teman lainnya, biasanya mereka belajar di perpustakaan Lapas. Lalu, ketua kelas akan membagikan satu buah tas yang berisikan paket buku pelajaran dan alat tulis.
Cerita-cerita lucu kerap mewarnai proses belajar mereka. Seperti yang dikisahkan Anto, terkadang beberapa temannya suka tidak pakai baju dan ada juga yang tidak mandi. Sehingga pengajar sering tidak tahan. Belum lagi yang tidur dan bermain-main di kelas membuat para pengajar angkat tangan. Hal yang paling menyenangkan adalah ketika mereka dibagikan alat tulis seperti pulpen, pensil dan buku tulis. Biasanya mereka menyembunyikannya untuk dibawa ke kamar. "Kalau enggak ada kerjaan di kamar kami cuma bisa nulis-nulis aja. Curhat-curhat gitu kan, terus buat-buat cerpen juga," ujarnya.
Sekitar pukul 11 sekolah berakhir, sebab pukul 12 mereka harus masuk kembali dimasukkan ke dalam blok tahanan atau yang biasa mereka sebut dikereng. Anto yang seorang Kristiani juga mendapatkan pendidikan Rohani seperti sekolah al-kitab. Setiap hari Minggu, mereka pergi ke gereja yang berada di dalam lapas untuk mendengarkan khotbah dari pendeta. Sesekali mereka dibawa keluar lapas untuk mengikuti hari-hari besar keagamaan dengan para pelajar lainnya.
Anto yang dulunya bercita-cita menjadi tentara ini memiliki ketertarikan pada Bahasa Inggris dan komputer. Selain itu ia juga aktif bermain band sebagai penabuh drum. Namun ia belum memiliki impian ingin menjadi apa nantinya. "Yang penting ada kemampuan aja lah, biar bisa kerja kalau udah bebas nanti. Anto udah puas kok kayak gini," ujarnya sambil menatap ke arah langit-langit ruangan. Kini ia sedang menanti kebebasannya yang tinggal setahun lagi karena tersangkut kasus curanmor.
Lain lagi dengan Riduan Akiran atau Kiran. Pemuda keturunan India ini berusia 20 tahun ini pernah bercita-cita menjadi dokter. Menurutnya isi tubuh manusia itu misterius, sehingga ia ingin mengetahui anatomi tubuh manusia. Kiran yang kini duduk di kelas 3 SMP tengah mempersiapkan diri untuk mengikuti Ujian Nasional Paket B. Tidak seperti siswa tingkat akhir kebanyakan, Kiran sama sekali tidak menerima pelajaran tambahan ataupun bimbingan belajar. Mereka tetap masuk sekolah seperti biasa hanya saja staf pengajar banyak memberikan gambaran soal ujian. Ia sebenarnya tidak puas jika hanya mengikuti ujian paket B saja. "Sebenarnya sedih, aku pengen ikut ujian nasional biar resmi. Biar kayak orang-orang lain juga. Tapi gimanalah, guru bilang ikut ujian paket ya ikut aja lah," ujar pemuda yang divonis 12 tahun penjara karena kasus pembunuhan ini. Kiran yang beragama Islam juga memperoleh pendidikan keagamaan seperti membaca Al-Qur'an dan ceramah dari ustadz setiap Jumat paginya. Kegiatan kerohanian seperti inilah yang membuat Kiran merasa jauh lebih tenang dan menyesali perbuatannya. "Sekarang aku nyesal udah pernah buat salah itu, nggak mau lagi lah ngulanginnya."
Tetap Berkarya Meski Terpenjara
Hidup terkurung di dalam lapas tidak lantas membuat para napi anak ini pasif. Keterampilan yang mereka peroleh membuat mereka mampu berprestasi. Berbagai penghargaan dan juara telah mereka sabet. Diantaranya juara I film dokumenter terbaik pada Festival Film Anak pada tahun 2009. Film yang berjudul "Mencuri Dari Lapas" dan berdurasi 15 menit ini menceritakan bagaimana mereka mencuri ilmu dari lapas. Bersamaan dengan itu, mereka juga menyabet gelar sutradara terbaik dan kategori ide cerita terbaik. Prestasi lain yang pernah ditorehkan napi lapas ini adalah juara III duta remaja di Kota Medan.
Mas'ut S.Pd, M.Si selaku Kasubsibimkemaswat lapas anak mengaku bangga dengan prestasi yang ditorehkan oleh anak-anak didiknya tersebut. "Dengan berlabelkan sebagai narapidana tak mengurungkan niat mereka untuk berprestasi dengan fasilitas seadanya yang ada di lapas," ucap pria gagah bertubuh tinggi ini bangga.
Begitupun dengan Helman Batubara. Ia adalah kepala Sub Seksi Bimbingan kerja di lapas ini. Memasuki sebuah ruangan berbentuk segilima yang dipenuhi dengan berbagai peralatan bertukang dan alat-alat lukis. Ia lalu memandu kami untuk melihat-lihat beberapa hasil karya napi. Diantaranya, meja hias yang masih setengah jadi dan meja osin (meja ukir berbentuk bulat). "Memang ini hanya untuk pelatihan keterampilan anak-anak disini saja. Hasil-hasil furniture ini dapat digunakan untuk kebutuhan lapas, seperti meja kerja, kursi dan lemari," ucap Helman menjelaskan. Tak hanya itu, Helman menjelaskan di lapas juga ada di fasilitas pelatihan pangkas rambut, montir, menjahit, mengelas, pembuatan kaligrafi dan pelatihan kiat-kiat pertanian.
Helman mengeluhkan, meskipun difasilitasi berbagai pelatihan keterampilan seperti ini tidak semua napi yang berminat mengikutinya. "Kami hanya menjaring mereka yang berminat terhadap apa-apa yang kami fasilitasi disini, dan memang hanya beberapa yang mengikutinya. Maklum, kondisi psikologis masing-masing mereka itu berbeda-beda," tambah Helman. Terkadang Helman kelimpungan saat mengajari para napi. Sebab, daya nalar mereka yang rendah membuatnya harus mengulangi pelajaran hingga beberapa kali. "Harus diulang-ulangi sampai sepuluh kali mungkin baru paham. Tapi bagaimanalah, mereka ini sudah seperti anak-anak kita," ujar pria berkumis lebat ini.
Utamakan Pendidikan Anak
Terlepas dari status sebagai narapidana, mereka tetaplah anak-anak yang berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu pihak Lapas tidak menyampingkan masalah pendidikan. Mas'ut menimpali, pendidikan anak ini tertera di UU Pemasyarakatan No.12 tahun 1995 pasal 14 mengenai hak anak untuk memperoleh pendidikan. "Adalah amanat undang-undang mengenai pendidikan anak ini, namun kalau mereka yang ada disini tidak mau memanfaatkan, Kami pun tidak memaksakan," ujarnya.
Staf pengajar di lapas disediakan dengan bekerjasama dengan Dinas Pendidikan (Diknas) Kota Medan dan juga bekerjasama dengan Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM). Proses belajar mengajar dilakukan dari pada hari Senin-Kamis. Mas'ut mengakui ada beberapa mantan penghuni lapas yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan juga sekolah kedinasan. Namun dikatakan Mas'ut, tenaga pengajar yang ada di Lapas tidak hanya dari PKBM dan Diknas tetapi juga staf pengajar yang disediakan oleh Lapas sendiri.
Untuk formalitas pendidikan anak di lapas ini, Mas'ut mengatakan para napi mengejar ijazah paket A untuk SD, paket B untuk SMP, dan paket C untuk SMA. Materi yang didapat sama dengan sistem kejar paket yang ada di luar. Namun mereka yang mengejar paket hanya bagi mereka yang hukumannya lebih dari satu tahun. Ada juga napi yang masihg terdaftar disekolah mereka dan masih bisa mengikuti Ujian nasional (UN), tergantung kesepakatan pihak sekolah dengan lapas. "Salah satu contoh yang saya ingat waktu itu ada anak SMA, selama 2/3 masa tahanannya ia diberikan modul pembelajaran dari sekolahnya, setelah melewati 2/3 masa di lapas maka ia berhak kembali ke sekolah dengan catatan melapor tiap hari ke lapas," terang alumni Fakultas Ekonomi USU ini.
Pusat Layanan Informasi dan Pengaduan Anak (PUSPA) yang merupakan bagian dari Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan juga sangat memperhatikan pendidikan napi anak selama di dalam lapas. Walaupun untuk sekolah formal, PUSPA tidak ikut berpartisipasi secara langsung namun dalam pelaksanaan pendidikan non-formal seperti keterampilan bekerja, pembinaan, ceramah, maupun sarana olahraga PUSPA ikut terjun langsung ke lapas. Terutama saat hari-hari besar seperti hari anak nasional. Sebab, sekalipun anak dipidana ia tetap harus mendapatkan haknya sebagai seorang anak. Yaitu, berupa pendidikan dan pembelajaran. Hal ini diungkapkan oleh Azmiati Zuliah, SH atau yang akrab dipanggil Emi selaku Koordinator PUSPA-PKPA. "Setidaknya anak-anak ini mendapatkan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) karena dia harus tetap belajar. Bagaimana kalau dia sudah putus sekolah, lantas apa tidak menyambung pendidikan lagi? Intinya hak dia sebagai anak harus tetap terpenuhi," ujarnya.
Emi juga menjelaskan hendaknya masyarakat diberi pemahaman bahwa napi anak ini juga memiliki kemampuan. Termasuk ujian paket yang mereka ikuti. "Sebenarnya ujian paket A, B, maupun C itu sama. Yang mengeluarkan juga sama-sama Depdiknas, jadi setara dengan anak-anak yang bersekolah di sekolah formal. Karena ada peringatan juga buat instansi maupun perguruan tinggi yang tidak menerima anak-anak dengan sertifikat ujian paket ini."
Walaupun demikian, PUSPA tidak berharap anak-anak ini dipidana. Ada baiknya dilihat dulu dari tingkat kriminalitas yang ia perbuat. Kalau lebih banyak merugikan korban, lingkungan, negara maupun si anak sendiri bolehlah dipidana. Tapi jikalau kasus-kasus kecil seperti perkelahian ada baiknya dikembalikan ke orangtua saja untuk dibimbing. Setelah melalui proses musyawarah mufakat yang melibatkan tokoh agama, lingkungan maupun pelaku dan korban dahulu sebelumnya guna menuntaskan kasus yang terjadi. Sebab, kapasitas berlebihan di dalam lapas juga berpengaruh negatif terhadap perkembangan anak.
Harus Sesuai Konsep
Bertindak sebagai Lembaga Permasyarakatan, sudah seharusnya lapas memasyarakatkan warga binaannya tersebut. Napi anak ini sejatinya tetaplah anak-anak yang pikirannya belum sempurna. Bisa jadi mereka melakukan kesalahan oleh karena ketidaktahuan, salah asuhan, ataupun emosi semata. "Oleh karena itu janganlah anak-anak ini dihukum. Sebab ketika anak dihukum ia merasa dilabeli dengan anak kriminal. Ketika ia sudah menganggap bahwa dirinya adalah penjahat maka secara psikologis ini akan menganggu konsep diri yang tengah ia bangun. Kalau fungsi dan konsep lapas dijalankan dengan benar itu akan berefek baik. Anak tidak akan mengulangi perbuatannya lagi," ujar Tarmidi M.Psi, Dosen Fakultas Psikologi USU.
Tarmidi juga menjelaskan anak-anak ini boleh saja dipenjara untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Tapi jangan sebagai proses hukum melainkan sebagai proses pembinaan. Sudah cukuplah napi anak ini memperoleh pendidikan keterampilan saja, sehingga ketika keluar dari lapas nantinya ia bisa menjadi seorang wirausahawan atau bekerja. Kalau untuk pelaksanaan sekolah formal, sudah pasti tidak kondusif.
Anak yang pernah mendekam di dalam penjara memang cenderung sulit kembali ke masyarakat. Karena kekhawatiran masih menghinggapi pikiran sebagian besar masyarakat. Seperti Lizya, ia berpendapat narapidana anak ada baiknya juga dikurung dalam lapas. Karena didalam lapas, dengan kondisi serba terbatas atau terisolasi, ia meyakini sang anak akan menyadari bahwa apa yang dilakukannya salah. "Kalau hanya dilakukan pembimbingan tanpa hukuman, sering kali sang anak akan mengulangi kembali perbuatannya," ujarnya. Lizya juga mengatakan, bahwa sang anak masih pantas untuk kembali ketengah masyarakat. Namun, pastinya ia tetap mengkhawatirkan keberadaannya selaku mantan narapidana.
Hampir sama dengan Lizya. Senova mengaku ragu harus bagaimana menanggapi narapidana anak. Terkadang penahanan anak dalam lapas dapat menimbulkan gangguan psikologis anak. Namun, jika tidak diberi hukuman seperti penahanan dilapas, anak tidak akan benar-benar mengerti kesalahannya.
Ia merasa sang anak masih pantas untuk kembali ketengah masyarakat. "Tentunya saya sebagai masyarakat sedikit khawatir sih," katanya. Namun, yang ia ragukan sekarang adalah, siapkah sang anak tersebut kembali hadir ketengah masyarakat. Siapkah anak menanggapi tanggapan berbeda-beda dari masyarakat. Karena, terkadang masyarakat ada yang memberi tanggapan positif, ada juga negatif. Tergantung bagaimana anak menganggapinya. "Jika ia kuat, ia bertahan. Jika ia lemah, maka akan timbul rasa down," tutupnya. (Putri Rizki Ardhina)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H