Oktober 2005
Bagaimanakah kabar diriku, baik baik saja
Sedikit ku takjub namun nayata sudah kuduga
Kau yang ke sana kemari, kau anggap aku tak cukup
Semua kesempatan dan langkahku coba kau tutup
(Lirik Lagu Yura Yunita-Tutur Batin)
Lembaran-lembaran kertas koran sudah banyak yang kubaca dan tak terhitung sudah berapa koran yang kubeli hanya untuk mencari sebuah lowongan pekerjaan yang sesuai untukku. Beberapa kali juga aku masuk ke sebuah kantor yang berlokasi disebuah ruko dan saat di dalam semua orang yang mendaftar pekerjaan tersebut harus membayar formulir pekerjaan. Ya, semua formulir itu isinya sama dengan semua kantor yang aku datangi, kemudian pekerjaannya adalah menjadi seorang sales keliling yang entah bagaimana caranya harus bisa mendaptkan konsumen.
"Semangat Pagiii...Siap melanjutkan tujuan kita untuk sukses..." ujar seorang manager Marketing yang ditugaskan membimbing kami orang-orang yang sedang berusaha mencari pekerjaan.
"Semangaat..Semangat..."
Lalu, dilanjutkan dengan yel-yel serentak hingga akhirnya semua terjun ke lapangan untuk mempromosikan barangnya.
"Lelah, capek..." ujar seseorang kepadaku dan kubalas dengan anggukan manja sambil melihat ke arah kakiku yang sangat pegal.
Itulah yang setiap saat kurasakan. Keputusanku setelah lulus SMA untuk bekerja ternyata tak mudah. Ijazah SMA-ku seakan sia-sia. Aku yang tadinya sudah mendapat beasiswa masuk perguruan tinggi negeri harus menguburkan mimpiku karena tak diizinkan oleh kedua orangtuaku.
"Yogya itu jauh dari sini. Kalau ternyata ibu dan ayah telat kirim uang gimana? Nanti kamu malah jual diri. Tuh liat kasus aborsi di Tv. Ibu nggak izinin kamu. Udah di sini aja.." tegas ibu dangan suaranya yang nyaring dan membuatku kelah talak berdebat dengan beliau.
Melamar pekerjaan di kotaku ternyata tak semudah itu, apalagi tinggi badanku yang hanya sebotol Yakult. Melamar menjadi pegawai toko tak bisa karena kurang tinggi, kerja counter handphone itu harus cantik. Kerja di pabrik sepatu tak perlu cantik, tapi harus ada modal 2,5 juta. Kerja di toko the corn mall harus menitipkan ijazah asli kepada bos Chinese.
Kedua orangtuaku tak pernah memaksaku untuk bekerja, tapi tidak dengan tetanggaku yang setiap waktu bertanya, "Anaknya kerja di mana?"
Sungguh rasanya diri ini lelah menjalani takdir sebagai manusia pengangguran yang malamnya aku sebenarnya membantu orangtua berdagang. Kedua orangtuaku memiliki usaha tampat makan yang buka di sore sampai malam hari.
Setiap hari, aku menghabiskan waktu di perpustakaan daerah dekat dengan rumahku. Aku juga meminjam buku-buku bacaan yang sebenarnya sudah bosan kubaca karena saat itu belum lengkap bahan bacaan di perpustakaan tersebut. Terkadang aku ke warnet dan membuat blog juga membaca cerita. Blog-ku berisi review buku yang sudah aku baca.
Kehidupan materi keluargaku berkecukupan dan aku masih bisa membeli sepatu, baju, dan apapun yang aku inginkan. Namun, setiap kali ke mall dan melihat temanku bekerja perasaan iri dalam hati ada. Aku ingin punya gaji sendiri dan kerja seperti mereka karena kelihatannya seru.
Tiga tahun aku menjalani sebagai pengangguran tanpa memiliki tujuan hidup. Namun, aku tak begitu saja diam. Aku mencoba untuk ikut dalam banyak event menulis dan kelas-kelas free. Bahkan, ikut give away yang membuat aku sering mendapatkan hadiah-hadiah dan membawaku berselancar di dunia maya juga memiliki teman facebook.
Dari kegabutanku, aku akhirnya jago stalking dan tak mudah dibodohi di media sosial. Â Aku menemukan banyak benefit dari perkenalan dunia maya. Bahkan, membuatku mengepakkan sayap setelahnya.
Â
Tahun 2008
"Bu, Arum mau kuliah, ya.." pintaku.
Ibu menarik napas dan terdiam. Aku tahu beliau pasti melarangku karena pergaulan tetangga yang menyebalkan. Ibu terlalu percaya ucapan tetangga yang mengatakan kalau perempuan tidak usah kuliah, tidak ada guna dan hanya menghabiskan uang saja.
"Anak mah nggak usah dikuliahin. Tuh, kaya anak saya kuliah malah nggak kerja. Kan sayang uangnya .." tanggapan tetanggaku yang menurut aku tak logis menyamakan pemikiran anaknya denganku.
Aku mencoba merayu ayah dan akhirnya beliau mengizinkan walaupun harus berdebat dengan ibu. Ayah selalu berkata saat menonton Nazwa Sihab, "Ayah tuh pengen kamu kaya gitu tuh pinter, bisa ngomong di depan banyak orang.."
Karena support ayah, akhirnya aku bisa kuliah.Walau di perjalanannya banyak sekali ujian yang harus aku lewati. Banyak omongan orang yang menjatuhkanku, bahkan pilihan jurusanku juga disalahkan. Namun, aku percaya doa kedua orangtua dan semangatku bisa membuat aku menjadi perempuan hebat nantinya.
Tahun 2013
Aku sudah lulus kuliah dan menjadi sarjana. Namun, seperti dalam film Si Doel Anak Sekolahan. Hidupku tidak begitu mudah kujalani. Justru makin sulit. Pagi yang kujalani setelah lulus kuliah warnanya abu buatku. Ucapan tetangga semakin membuatku bak manusia tergila. Namun, ayah masih mendukungku dan percaya kalau suatu saat aku bisa membahagiakan kedua orang tua.
Aku sering berdebat dengan ibu yang terlalu percaya ramalan tetangga dan tak percaya takdir Tuhan. Setiap waktu kuhabiskan untuk beribadah saja. Aku rajin salat sunnah di malam hari dan mengaduh kepada Tuhan perihal nasibku. Melihat beberapa teman-temanku yang sudah bekerja, menikah, dan memiliki anak. Sementara hidupku hanya stuck begini saja.
Aku mencoba menghabiskan waktu di luar dengan temanku yang bisa kuajak. Aku akhinya bisa mendapatkan penghasilan dari menjadi guru les privat. Walau tak seberapa, setidaknya aku memiliki penghasilan sendiri.
Tahun demi tahun berlalu dan aku mencoba untuk bisa menerima kenyataan bahwa Tuhan pasti punya rencana Indah kedepannya entah sampai kapan.
Tahun 2018
"Bu, Arum mau ke Bandung, ya..Arum dapat undangan bertemu dengan penulis skenario karena novel Arum menang dalam lomba.." pamitku.
Seperti biasa, ibu tak mengizinkan.
"Bu....!!" Aku mencoba menjelaskan kepada ibu yang seakan tak peduli. Bahkan, beliau bilang bahwa ayah juga takkan memberiku izin.
'Terserah deh, Bu..!! Arum bukan anak kecil lagi. Mau ayah dan ibu nggak izinkan. Arum tetap mau pergi. Toh, Arum bukan mau jadi anak nakal. Arum mau ngejar mimpi Arum buat jadi penulis. Bukannya Ibu yang selalu tanya semenjak ayah belikan Arum laptop kalau kapan Arum mau jadi penuis sampai sekarang nggak jadi-jadi. Ini mau Arum buktiin.." ujarku dan segera berpamitan untuk ke terminal dan menuju bus Bandung.
Untuk pertama kali dalam hidupku berangkat sendiri ke Bandung. Berbekal keberaniaan yang sebelumnya tak pernah ada. Aku menghadiri kegiatan bersama penulis lainnya dari berbagai daerah di Indonesia.
Setelah kegiata di Bandung, aku mulai memberanikan diri untuk meng-upload tulisan-tulisan fiksiku di media sosial. Aku mengikuti lomba-lomba menulis dan berkenalan dengan banyak penulis lainnya. Sampai akhirnya aku berkenalan dengan seseorang yang kukagumi di televisi.
"Bang Wibi, mau baca karyaku tidak?"Â tanyaku memberanikan diri mengirimkan DM Instagram kepada seorang Anchor Tv yang kukagumi.
"Boleh, kirim ke Alamat kantor bisa?" balasnya . Dengan antusias aku membalas pesannya dan mengirimkan Novel itu kepadanya bersama dengan sepucuk surat.
Aku sangat kagum dengannya karena prestasi yang ia miliki dan komunikasi dia yang sangat bagus. Aku mencoba afirmasi agar suatu saat aku bisa seperti dia bisa berbicara di depan orang banyak, menjadi mentor dan motivator juga.
Rasa kagumku dengannya semakin menjadi.Keramahan dia membuatku makin terpesona. Kulihat prestasinya semakin melejit saat aku baru membangun karier-ku.
"Kak Arum, mau aku daftarin untuk kegiatan di Bogor bersama Direktorat? Kebetulan aku jadi Mc-nya.." ajaknya dalam pesan DM. Aku sangat terkejut dan tak menolak ajakannya.
Jadilah perdana aku bertemu dia. Wajahnya yang tampah dan keramahannya membuat aku semakin mengaguminya, tapi semakin insecure dengan prestasinya. Dari dia aku akhirnya banyak belajar segala hal dan mencoba afirmasi apapun yang aku inginkan.
Dari sinilah perjalanan baruku dimulai sebagai Arum Sekar Rengganis. Sesuai namaku, aku harus menjadi bunga yang mekar, harum, dan suaraku terdengar merdu di telinga banyak orang. Aku harus menjadi sosok yang menginspirasi perempuan di luar sana.
Mimpiku tidak lagi terkubur akhirnya. Sebuah jabatan aku dapatkan dan banyak orang yang akhinya mempercayakanku dalam beberapa kegiatan. Keberanianku dalam debat politik aku coba seperti mimpi ayah agar aku bisa seperti Nazwa Shihab. Aku menjadi seorang penulis, politikus, mentor, dan motivator saat ini.
Aku tahu mimpiku itu masih harus kuraih lebih lagi karena ini belum finish, tapi setidaknya aku tak menguburnya. Aku percaya semua hal bisa dilakukan asal dengan Ikhtiar (Melakukan hal yang seharusnya kulakukan untuk kebaikanku dan orang banyak), Doa (Ucapan baik yang tak henti, dan Tawakal (Percaya kekuatan dari usaha dan Doa akan menghasilkan hal baik di ke depannya).
 Satu hal, aku selalu menuliskan kata-kata Afirmasi pada setiap tulisanku agar menjadi doa dan keajaiban itu pasti ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H