Hentikan Tindakan Amoral Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Oleh Putri Amelia Sabilatul Izzah Program Studi PGPAUD UNISNU JEPARA
Dosen Pengampu Dr. Wahidullah
Â
PENDAHULUAN
Salah satu tindak kejahatan yang menjadi fenomena akhir-akhir ini adalah kekerasan seksual yang kita tahu korbannya tidak hanya orang dewasa saja, namun juga banyak anak-anak baik laki-laki maupun perempuan, semua berpotensi menjadi korban. Dan hal itu banyak terjadi di lingkungan pendidikan baik formal seperti SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi maupun nonformal seperti pondok pesantren. Anak adalah kelompok yang sangat rentan untuk menjadi korban kekerasan seksual karena dianggap sebagai sosok yang lemah dan tidak berdaya serta memiliki ketergantungan yang tinggi  dengan orang-orang dewasa di sekitarnya. Dapat dikatakan anak memiliki sifat yang polos dan hal itulah yang dimanfaatkan oleh pelaku untuk berbuat semaunya. Banyak anak yang tidak berani melapor melapor dan hanya diam karena mereka merasa malu dan takut seperti yang dituturkan oleh menurut Erlinda (Seketaris Jenderal KPAI) kasus kekerasan seksual terhadap anak ibarat fenomena gunung es atau dapat dikatakan bahwa satu orang korban yang melapor dibelakangnya ada enam anak bahkan lebih yang menjadi korban tetapi tidak melapor.
Hampir dari setiap kasus yang terungkap, pelakunya adalah orang yang dekat dengan korban. Kebanyakan pelakunya adalah orang yang memiliki dominasi atas korban, seperti orang tua dan guru. siapa pun dapat menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak atau pedofilia. Kemampuan pelaku menguasai korban, baik dengan tipu daya ataupun ancaman dan kekerasan, menyebabkan kejahatan ini sulit dihindari. Dari seluruh kasus kekerasan seksual pada anak baru terungkap setelah peristiwa itu terjadi, dan banyak yang berdampak fatal.
Pelaku kekerasan dan pelecehan seksual umumnya adalah laki-laki dengan korban mayoritas perempuan. Namun juga tidak menutup kemungkinan bahwa laki-laki menjadi korban kekerasan seksual. Hal itu diperkuat dengan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak pada tahun 2022 menunjukkan bahwa total korban kekerasan seksual pada tahun 2022 sebanyak 14.248 kasus dengan rincian sebanyak 13.155 atau 79.5% korban perempuan dan 2.202 atau 20.6% korban laki-laki. Dari data tersebut dapat terlihat bahwa perempuan lebih rentan menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual dibanding laki-laki, namun hal ini juga tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan juga bisa menjadi pelaku pelecehan dan kekerasan seksual. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak juga merilis data yang cukup mengejutkan bahwa dari seluruh total 14.248 kasus pelecehan dan kekerasan seksual di tahun 2022, sebanyak 10.3% dari pelaku adalah perempuan. Atas dasar ini, untuk itulah kita harus menghentikan tindakan amoral kekerasan seksual pada anak, karena anak adalah generasi bangsa.
PEMBAHASAN
Kekerasan seksual adalah tindakan kejahatan dan termasuk perbuatan kriminal yang menimbulkan kerugian dan bahaya pada anak dan membuat anak sakit secara fisik, psikis, maupun perkembangan emosional. Kekerasan seksual pada anak adalah  tindakan apabila pelaku menggunakan anak untuk mendapatkan kenikmatan atau kepuasan seksual. Tidak hanya pada hubungan seks saja, tetapi juga tindakan-tindakan yang mengarah kepada aktivitas seksual terhadap anak, seperti menyentuh dan mencium tubuh anak secara seksual baik si anak memakai pakaian atau tidak, segala bentuk penetrasi seks, termasuk penetrasi ke mulut anak menggunakan benda atau anggota tubuh membuat atau memaksa anak terlibat dalam aktivitas seksual, secara sengaja melakukan aktivitas seksual di depan anak, atau tidak melindungi dan mencegah anak menyaksikan aktivitas seksual yang dilakukan orang lain, membuat, mendistribusikan dan menampilkan gambar atau film yang mengandung adegan anak-anak dalam pose atau tindakan tidak senonoh, serta memperlihatkan kepada anak, gambar, foto atau film yang menampilkan aktivitas seksual seperti yang diungkapkan oleh End Child Prostitution in Asia Tourism (ECPAT) Internasional.
Kekerasan seksual pada anak akan memiliki dampak yang tidak baik untuk anak, diantaranya tidak adanya kepercayaan dari orang tua, trauma secara seksual. Anak yang mengalami kekerasan seksual cenderung menolak hubungan seksual dan sebagai konsekuensinya kelak bisa menjadi korban kekerasan seksual dalam rumah tangga, anak merasa tidak berdaya atau tidak memiliki kekuatan (Powerlessness). Anak merasa takut, mengalami mimpi buruk, fobia, dan kecemasan disertai dengan rasa sakit. Hal tersebut diperkuat oleh Finkelhor dan Browne, Briere dalam Jurnal Tower tahun 2002. Selain itu, kekerasan seksual memiliki dampak panjang untuk anak yaitu anak yang menjadi korban kekerasan seksual pada masa kanak-kanak memiliki potensi untuk menjadi pelaku kekerasan seksual di kemudian hari. Ketidakberdayaan korban saat menghadapi tindakan kekerasan seksual di masa kanak kanak, tanpa disadari digeneralisasi dalam persepsi mereka bahwa tindakan atau perilaku seksual bisa dilakukan kepada figur yang lemah dan tidak berdaya.
Korban atau pelaku kekerasan seksual anak adalah laki-laki dan perempuan. Menurut Ketua Bagian Andrologi dan Seksologi Fakultas KedokteranUniversitas Udayana, Denpasar Bali sebagaimana dimuat dalam Harian Kompas mengatakan manusia tidak peduli laki-laki dan perempuan, sejatinya adalah makhluk seksual. Mereka sama-sama memiliki dorongan seksual, membutuhkan hubungan seksual dan juga menginginkan kepuasan seksual. Nilai-nilai sosial yang berlaku membuat eksperesi seksual laki-laki dan perempuan berbeda. Perbedaan ekspresi seksual laki-laki dan perempuan tidaklah dipengaruhi oleh struktur otak manusia. Secara fisiologis, otak laki-laki dan perempuan memang berbeda. Namun tidak berkaitan dengan ekspresi seksualnya.
Kebanyakan anak yang mengalami kekerasan seksual merasakan psychological disorder yang disebut post-traumatic stress disorder (PTSD), dengan gejala-gejala berupa ketakutan yang intens terjadi, kecemasan yang tinggi, dan emosi yang kaku setelah peristiwa traumatis. Seperti yang dikatakan oleh Beitch-man et.al (Tower, 2002), anak yang mengalami kekerasan seksual membutuhkan waktu satu hingga tiga tahun untuk terbuka pada orang lain. Adapun factor penyebab kekerasan seksual pada anak yaitu faktor kejiwaan, faktor biologis, faktor moral, faktor balas dendam dan trauma masa lalu, faktor budaya, faktor ekonomi, faktor minimnya kesadaran kolektif terhadap perlindungan anak di lingkungan pendidikan, faktor peredaran pornografi anak dan pornografi dewasa yang mengorbankan anak, faktor lemahnya penegakan hukum dan ancaman hukuman yang relatif ringan, faktor disharmoni antar perundang-undangan terkait masalah anak, faktor anak dalam situasi bencana dan gawat darurat.
Dari kasus diatas, langkah yang paling sederhana untuk melindungi anak dari kekerasan seksual bisa dilakukan oleh individu itu sendiri dan keluarga. Orangtua memegang peranan yang penting dalam menjaga anak-anak dari ancaman kekerasan seksual. Oleh karena itu, yang pertama harus dilakukan oleh orang tua adalah memberikan rasa aman kepada anak untuk bercerita. Biasanya orang tua yang memiliki hubungan yang dekat dengan anak akan lebih mudah untuk melakukannya. Menurut beberapa penelitian yang dilansir oleh Protective Service for Children and Young People Department of Health and Community Service (1993) keberadaan dan peranan keluarga sangat penting dalam membantu anak untuk memulihkan diri pasca pengalaman kekerasan seksual mereka. Orang tua sangat membantu dalam proses penyesuaian dan pemulihan pada diri anak pasca peristiwa kekerasan seksual tersebut. Pasca peristiwa kekerasan seksual yang telah terjadi, orang tua membutuhkan kesempatan untuk mengatasi perasaannya tentang apa yang terjadi dan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi. Orang tua juga harus membangun komunikasi yang baik dengan anak dan memahami proses penanganan kekerasan seksual yang dialami anaknya baik itu penanganan secara hukum maupun penanganan pemulihan secara psikologi.
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
KESIMPULAN
Masih banyak sekali kasus kekerasan seksual anak yang terjadi di Indonesia dan meningkat setiap tahunnya. Hal itu berdampak tidak baik untuk anak baik secara fisik, psikis, maupun perkembangan emosional. Selain itu, kekerasan seksual juga memiliki dampak panjang untuk anak yaitu anak yang menjadi korban kekerasan seksual pada masa kanak-kanak memiliki potensi untuk menjadi pelaku kekerasan seksual di kemudian hari. Kebanyakan anak yang mengalami kekerasan seksual akan merasakan psychological disorder yang disebut post-traumatic stress disorder (PTSD), dengan gejala-gejala berupa ketakutan yang intens terjadi, kecemasan yang tinggi, dan emosi yang kaku setelah peristiwa traumatis.
Kekerasan seksual pada anak bisa terjadi dimana saja dan kapan saja, tidak memandang apakah itu laki-laki atau perempuan. Faktor penyebabnya banyak sekali diantaranya faktor kejiwaan, faktor biologis, faktor moral, faktor balas dendam dan trauma masa lalu, faktor budaya, faktor ekonomi, faktor minimnya kesadaran kolektif terhadap perlindungan anak di lingkungan pendidikan, faktor peredaran pornografi anak dan pornografi dewasa yang mengorbankan anak, faktor lemahnya penegakan hukum dan ancaman hukuman yang relatif ringan, faktor disharmoni antar perundang-undangan terkait masalah anak, dan lain-lain. Dan langkah yang tepat untuk melindungi  dan menjaga anak dari kekerasan seksual adalah dari keluarga terutama orang tua. Orang tua harus membangun komunikasi yang baik dengan anak dan memahami proses penanganan kekerasan seksual yang dialami anaknya baik itu penanganan secara hukum maupun penanganan pemulihan secara psikologi.
SARAN
Karena kebanyakan anak anak yang menjadi korban kekerasan seksual, diharapkan agar orang tua melindungi dan menjaga anak sebaik mungkin, orang tua harus membangun komunikasi dan memahami proses penanganan kekerasan seksual pada anak, dan juga pemerintah agar mampu menyisihkan anggarannya untuk membuat program-program terkait perlindungan anak karena anak adalah generasi bangsa dan aset bangsa yang berperan penting dalam proses pembangunan negara.
Â
DAFTAR PUSTAKA
Dania, I. A. (2020). Kekerasan Seksual Pada Anak. Ibnu Sina: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan-Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara, 19(1), 46-52. Dapat diakses melalui https://jurnal.fk.uisu.ac.id/index.php/ibnusina/article/view/15. Diakses pada tanggal 5 Januari 2023.
"Noviana, I. (2015). Kekerasan seksual terhadap anak: dampak dan penanganannya. Sosio Informa: Kajian Permasalahan Sosial Dan Usaha Kesejahteraan Sosial, 1(1)." Dapat diakses melalui  https://ejournal.kemensos.go.id/index.php/sosioinforma/article/view/87. Diakses pada tanggal 5 Januari 2023.
Zahirah, U., Nurwati, N., & Krisnani, H. (2019). Dampak dan penanganan kekerasan seksual anak di keluarga. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 6(1),10. Dapat diakses melalui https://scholar.google.com/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=dampak+dan+penanganan+kekerasan&oq=. Diakses pada tanggal 5 Januari 2023.
Andrikasmi, S., & Wahyuni, R. S. (2022). Penyuluhan Hukum Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Desa Pasar Inuman. Joong-Ki: Jurnal Pengabdian Masyarakat, 1(3), 518-522. Dapat diakses melalui https://scholar.google.com/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=penyuluhan+hukum+atas+undang-undang+nomor+12&btnG=. Diakses pada tanggal 5 Januari 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H