Mohon tunggu...
putri anggita
putri anggita Mohon Tunggu... Seniman - mahasiswa

baca dan menonton

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perempuan,Ketidak adilan Gender dan Akses Pendidikan

27 Juni 2022   22:30 Diperbarui: 29 Juni 2022   12:15 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ketika zaman semakin maju sebagaian orang banyak berfikir bahwa Pendidikan Perempuan tidak perlu tinggi,dan Sebagian berpendapat bahwa perempuan hanya tinggal dirumah dan laki lakilah yang harus mengejar Pendidikan yang tinggi.karena pememikiran inilah banyak perempuan yang seharusnya berpendidikan tinggi,malah dibatasi dengan ketidak adilan dalam berfikir.

Pada  Desember 2021, Badan Pusat Statistik merilis publikasi “Perempuan dan Laki – Laki diIndonesia 2021.”[1] Hasilnya menunjukkan ada trend positif bagi perempuan dalam dunia pendidikan dimulai dari angka partisipasi sekolah perempuan yang sedikit lebih tinggi dibandingkan laki – laki. 

Selain itu, persentase penduduk perempuan berusia 15 tahun ke atas yang ijazah tertingginya perguruan tinggi lebih tinggi dari pada penduduk laki – laki, baik di perkotaan maupun pedesaan.Meskipun demikian, terdapat catatan buruk bagi perempuan dalam dunia pendidikan.Tercatat bahwa hampir 2 dari 10 perempuan berusia 15 ke atas di Indonesia tidak memiliki ijazah. 

Selain itu, 5,35% perempuan masih berada dalam kondisi buta huruf, dibanding laki-laki yang hanya 2,57%.Tentu banyak faktor yang melatar belakangi fenomena di atas akan tetapi satu faktor yang paling kuat adalah karena ketidakadilan gender (gender inequalities). 

Unger & Crawford(1992),[2] mendefinisikan gender sebagai perbedaan antara laki dan perempuan yang dibangun secar sosial dan bukan berdasarkan perbedaan biologis semata. Sementara Moser (1993),[3] mengemukakan pendangan yang sama, bahwa gender merupakan peran sosial yang dibentuk masyarakat. 

Gender dikonstruksikan dari banyak faktor seperti ideologis, etnis, ekonomi, sejarah dan tentunya kebudayaan, dan bukan secara biologis. Karena gender adalah konstruk sosial maka peran tersebut dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan.

Sementara hal-hal yang bersifat biologis adalah kodrat, sesuatu yang “given”sehingga tak dapat dipertukarkan. Lelaki tidak bisa hamil dan menyusui anak, misalnya,karena hamil adalah kodrat perempuan.

Tapi lelaki bisa mencuci piring dan mengasuh anak. Persoalan muncul karena banyak orang masih menganggap bahwa gender adalah kodrat,sesuatu yang terberi, melekat dan tidak dapat dipertukarkan antara laki – laki dan perempuan. Padahal di era sekarang ini, di mana teknologi dan industrialisasi berkembang dengan pesat, banyak hal yang dilakukan laki – laki dulunya, dapat juga dilakukan oleh perempuan. 

Jadi, perempuan bukan hanya bercokol di sektor domestik, akan tetapi juga dapat mengambil peran di sektor publik. Hanya saja, sebagaimana fenomena yang diuraikan di atas, untuk memasuki sektor publik, terjun ke masyarakat, mengambil banyak pekerjaan,perempuan harus dimodali dengan modal sosial yang cukup. Salah satu modal sosial itu adalah pendidikan. 

Akan tetapi, sekali lagi, semua itu belum optimal karena factor ketidak adilan gender. Ketidak adilan gender berasal dari perbedaan gender (gender differences) hasil konstruk sosial-budaya yang membagi peran baik kepada laki – laki maupun perempuan dalam masyarakat. Perempuan perannya di sektor domestik, “dapur, sumur dan kasur,” sementara laki – laki perannya di sektor publik, mencari nafkah. 

Tidak ada yang salah dengan perbedaan gender itu selama struktur tersebut tidak mengakibatkan ketidakadilan gender.Menurut Mansour Fakih,[4] dalam bukunya “Analisis Gender dan Tranformasi Sosial,”

menunjukkan bentuk – bentuk perilaku menyimpang karena ketidak adilan  gender seperti marginalisasi, subordinasi, streotipe, kekerasan dan double burden. Perilaku tersebut terjadi  karena bias gender dan berada dalam berbagai lapisan masyarakat, tak terkecuali di dalam keluarga.

Di lingkungan keluarga perbedaan gender telah dimulai bahkan sejak anak – anak masih kecil. Anak perempuan diberikan mainan boneka untuk melatih sisi keibu nya sejak dini,lebih emosional, dan semuanya agar kelak dia dapat mengambil peran hanya pada sector domestik. 

Berbeda dengan anak laki – laki yang diberikan mainan mobil-mobilan atau senjata yang lebih merangsang adrenalin, mobilitas dan rasionalitas dalam pengambilan keputusan untuk melatih dirinya sebagai pemimpin di kemudian hari.

Terdapat hambatan kultural sebagai penyebab mengapa perempuan tidak dapat mengakses hak-haknya, salah satunya adalah hak memperoleh pendidikan. Hambatan kultural tersbeut adalah budaya yang kental ideologi patrarki.

[5] Budaya yang sarat ideologi patriarki tersebut diterima dengan baik, sebagaimana teori Weber yang mengasumsikan bahwa dominasi atas perempuan adalah fenomena “alamiah.”[6]Struktur ketidakadilan dimulai dari dalam rumah. 

Streotipe bahwa perempuan itu lemah dan karenaya lebih cocok mengambil peran domestik telah cukup banyak menjadi penyebab para orang tua berpikir, “untuk menyekolahkan anak perempuan tinggi – tinggi jika toh pada akhirnya mengurus rumah tangga dan patuh pada suami?”

Hal ini sejalan padnangan Suleeman sebagaimana dikutip Ihromi (1995),[7] bahwa salah satu faktor pokok adanya ketidakadilan gender dalam pendidikan adalah karena para orang tua memahami Pendidikan sebagai invetasi, yang di mana “investasi” kepad aanak perempuan tidak dapat dirasakan “return on investment” karena anak perempuan akan menjadi anggota keluarga suaminya setelah menikah. 

Dari sinilah perempuan diperlakukan dengan tidak adil. Pendidikan yang notabene merupakan adalah hak semua warga negara, tanpa memandang jenis kelaminnya, tidak dapat diakses oleh anak perempuan karena masih banyak orang tua tidak berperspektif gender.Perlu adanya pemerataan akses pendidikan dengan meminimalisir gap nilai budaya dan ekonomi antara anak laki – laki dan perempuan dalam keluarga. 

Banyak hasil riset dari pengamat pendidikan menemukan bahwa semakin jauh dari perkotaan, perempuan semakin minim memperoleh akses pendidikan. Padahal dengan keikutsertaan perempuan dalam pendidikan akan memberikan modal sosial kepada mereka. 

Sehingga pada gilirannya mereka dapat memperoleh pekerjaan dan mengambil peran di sektor publik. Jika semua perempuan memperoleh akses pendidikan dan kemudian pekerjaan maka akan terjadi bukan saja transformasi sosial, melainkan juga transformasi ekonomi karena masyarakat Indonesia, baik laki maupun perempuan, adalah manusia – manusia produktif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun