Ketika zaman semakin maju sebagaian orang banyak berfikir bahwa Pendidikan Perempuan tidak perlu tinggi,dan Sebagian berpendapat bahwa perempuan hanya tinggal dirumah dan laki lakilah yang harus mengejar Pendidikan yang tinggi.karena pememikiran inilah banyak perempuan yang seharusnya berpendidikan tinggi,malah dibatasi dengan ketidak adilan dalam berfikir.
Pada Desember 2021, Badan Pusat Statistik merilis publikasi “Perempuan dan Laki – Laki diIndonesia 2021.”[1] Hasilnya menunjukkan ada trend positif bagi perempuan dalam dunia pendidikan dimulai dari angka partisipasi sekolah perempuan yang sedikit lebih tinggi dibandingkan laki – laki.
Selain itu, persentase penduduk perempuan berusia 15 tahun ke atas yang ijazah tertingginya perguruan tinggi lebih tinggi dari pada penduduk laki – laki, baik di perkotaan maupun pedesaan.Meskipun demikian, terdapat catatan buruk bagi perempuan dalam dunia pendidikan.Tercatat bahwa hampir 2 dari 10 perempuan berusia 15 ke atas di Indonesia tidak memiliki ijazah.
Selain itu, 5,35% perempuan masih berada dalam kondisi buta huruf, dibanding laki-laki yang hanya 2,57%.Tentu banyak faktor yang melatar belakangi fenomena di atas akan tetapi satu faktor yang paling kuat adalah karena ketidakadilan gender (gender inequalities).
Unger & Crawford(1992),[2] mendefinisikan gender sebagai perbedaan antara laki dan perempuan yang dibangun secar sosial dan bukan berdasarkan perbedaan biologis semata. Sementara Moser (1993),[3] mengemukakan pendangan yang sama, bahwa gender merupakan peran sosial yang dibentuk masyarakat.
Gender dikonstruksikan dari banyak faktor seperti ideologis, etnis, ekonomi, sejarah dan tentunya kebudayaan, dan bukan secara biologis. Karena gender adalah konstruk sosial maka peran tersebut dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan.
Sementara hal-hal yang bersifat biologis adalah kodrat, sesuatu yang “given”sehingga tak dapat dipertukarkan. Lelaki tidak bisa hamil dan menyusui anak, misalnya,karena hamil adalah kodrat perempuan.
Tapi lelaki bisa mencuci piring dan mengasuh anak. Persoalan muncul karena banyak orang masih menganggap bahwa gender adalah kodrat,sesuatu yang terberi, melekat dan tidak dapat dipertukarkan antara laki – laki dan perempuan. Padahal di era sekarang ini, di mana teknologi dan industrialisasi berkembang dengan pesat, banyak hal yang dilakukan laki – laki dulunya, dapat juga dilakukan oleh perempuan.
Jadi, perempuan bukan hanya bercokol di sektor domestik, akan tetapi juga dapat mengambil peran di sektor publik. Hanya saja, sebagaimana fenomena yang diuraikan di atas, untuk memasuki sektor publik, terjun ke masyarakat, mengambil banyak pekerjaan,perempuan harus dimodali dengan modal sosial yang cukup. Salah satu modal sosial itu adalah pendidikan.
Akan tetapi, sekali lagi, semua itu belum optimal karena factor ketidak adilan gender. Ketidak adilan gender berasal dari perbedaan gender (gender differences) hasil konstruk sosial-budaya yang membagi peran baik kepada laki – laki maupun perempuan dalam masyarakat. Perempuan perannya di sektor domestik, “dapur, sumur dan kasur,” sementara laki – laki perannya di sektor publik, mencari nafkah.
Tidak ada yang salah dengan perbedaan gender itu selama struktur tersebut tidak mengakibatkan ketidakadilan gender.Menurut Mansour Fakih,[4] dalam bukunya “Analisis Gender dan Tranformasi Sosial,”