menunjukkan bentuk – bentuk perilaku menyimpang karena ketidak adilan gender seperti marginalisasi, subordinasi, streotipe, kekerasan dan double burden. Perilaku tersebut terjadi karena bias gender dan berada dalam berbagai lapisan masyarakat, tak terkecuali di dalam keluarga.
Di lingkungan keluarga perbedaan gender telah dimulai bahkan sejak anak – anak masih kecil. Anak perempuan diberikan mainan boneka untuk melatih sisi keibu nya sejak dini,lebih emosional, dan semuanya agar kelak dia dapat mengambil peran hanya pada sector domestik.
Berbeda dengan anak laki – laki yang diberikan mainan mobil-mobilan atau senjata yang lebih merangsang adrenalin, mobilitas dan rasionalitas dalam pengambilan keputusan untuk melatih dirinya sebagai pemimpin di kemudian hari.
Terdapat hambatan kultural sebagai penyebab mengapa perempuan tidak dapat mengakses hak-haknya, salah satunya adalah hak memperoleh pendidikan. Hambatan kultural tersbeut adalah budaya yang kental ideologi patrarki.
[5] Budaya yang sarat ideologi patriarki tersebut diterima dengan baik, sebagaimana teori Weber yang mengasumsikan bahwa dominasi atas perempuan adalah fenomena “alamiah.”[6]Struktur ketidakadilan dimulai dari dalam rumah.
Streotipe bahwa perempuan itu lemah dan karenaya lebih cocok mengambil peran domestik telah cukup banyak menjadi penyebab para orang tua berpikir, “untuk menyekolahkan anak perempuan tinggi – tinggi jika toh pada akhirnya mengurus rumah tangga dan patuh pada suami?”
Hal ini sejalan padnangan Suleeman sebagaimana dikutip Ihromi (1995),[7] bahwa salah satu faktor pokok adanya ketidakadilan gender dalam pendidikan adalah karena para orang tua memahami Pendidikan sebagai invetasi, yang di mana “investasi” kepad aanak perempuan tidak dapat dirasakan “return on investment” karena anak perempuan akan menjadi anggota keluarga suaminya setelah menikah.
Dari sinilah perempuan diperlakukan dengan tidak adil. Pendidikan yang notabene merupakan adalah hak semua warga negara, tanpa memandang jenis kelaminnya, tidak dapat diakses oleh anak perempuan karena masih banyak orang tua tidak berperspektif gender.Perlu adanya pemerataan akses pendidikan dengan meminimalisir gap nilai budaya dan ekonomi antara anak laki – laki dan perempuan dalam keluarga.
Banyak hasil riset dari pengamat pendidikan menemukan bahwa semakin jauh dari perkotaan, perempuan semakin minim memperoleh akses pendidikan. Padahal dengan keikutsertaan perempuan dalam pendidikan akan memberikan modal sosial kepada mereka.
Sehingga pada gilirannya mereka dapat memperoleh pekerjaan dan mengambil peran di sektor publik. Jika semua perempuan memperoleh akses pendidikan dan kemudian pekerjaan maka akan terjadi bukan saja transformasi sosial, melainkan juga transformasi ekonomi karena masyarakat Indonesia, baik laki maupun perempuan, adalah manusia – manusia produktif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H