Sebuah lukisan abstrak dengan warna-warna cerah dan garis-garis dinamis terpampang di hadapannya. Seorang gadis dengan rambut panjang berkibar seolah sedang terbang bebas, matanya memancarkan semangat juang.Â
Ibu tertegun. Kamar Alya yang biasanya rapi kini sedikit berantakan, bekas-bekas cat berserakan di meja belajar. Alya muncul dari kamar mandi, rambutnya masih basah. Melihat ekspresi ibunya, ia tahu rahasianya telah terbongkar. "Ma..." panggilnya lirih.Â
Ibu menatap lukisan itu lagi, lalu ke arah Alya. "Aku tidak menyangka kamu bisa melukis sebagus ini," ujarnya, suaranya lembut. Alya tersenyum menatap tajam. "Aku selalu suka melukis, Ma. Ini seperti cara saya untuk..."
"Untuk buang-buang waktu dan uang ayah ibu saja gitu, maksud mu"
"Aku bisa jelaskan-" dengan berat hati ia melihat ibu menghancurkan karya yang sudah ia buat saat di sekolah.
"Ibu tega" Alya tidak bisa berkata-kata melihat perilaku Ibu nya dengan seenaknya menghancurkan karyanya.
Ketika lulus SMA, Alya diterima di Universitas Oxford dengan jurusan seni rupa. Keputusannya itu membuat orang tuanya sangat marah dan kecewa. Mereka tidak menyangka Alya akan memilih jalan yang sangat berbeda dari ekspektasi mereka.
Alya pergi ke Inggris dengan hati yang berat. Ia merindukan keluarganya, tetapi ia juga merasa lega karena akhirnya bisa mengejar mimpinya. Di sana, Alya terus mengembangkan bakatnya dan karya-karyanya mulai mendapatkan pengakuan. Beberapa lukisannya bahkan dipamerkan di galeri seni terkenal.
Beberapa tahun kemudian, Alya kembali ke Indonesia ia menghela napas panjang, matanya menatap kosong pada kanvas kosong di depannya. Studio kecilnya yang biasanya menjadi surga baginya kini terasa begitu hampa. Ingatan tentang ibunya yang menghancurkan lukisannya masih terngiang di telinganya. Namun, Alya tidak ingin menyerah.Â
Dengan kuas di tangan, ia mulai menggoreskan garis-garis abstrak di atas kanvas. Setiap goresan adalah bentuk perlawanan terhadap batasan yang telah ditetapkan untuknya.
FlashbackÂ