Pandanganya tertuju pada taman kecil di belakang rumahnya. Bunga warna-warni mulai merekah, seolah ingin menghiburnya. Alya tersenyum tipis. Ia ingat kata-kata neneknya, "awali harimu dengan penuh senyuman." Kalimat yang di ucapkan oleh almarhumah nenek nya membuat ia semangat untuk memulai hari.Â
Dengan kekuatan penuh ia bertekad untuk menghadapi hari ini  dengan sebaik-baiknya.Â
Setelah itu, ia bergegas merapikan kamarnya. Buku-buku pelajaran yang berserakan ia masukkan ke dalam tas. Dengan penuh semangat, Alya melangkah pasti menuju kamar mandi untuk memulai hari yang baru dan bersiap-siap berangkat sekolah.
Setiap pagi, alya memulai harinya dalam kesunyian rumah megah yang terasa hampa. Aroma susu yang sudah tergantikan aroma kopi pahit menyeruak dari daput, menemani sarapan sendiriannya. Jam dinding berdetak nyaring, seakan menghitung mundur waktu yang terus berlalu.Â
Jadwal sepulang sekolahnya kini dipenuh oleh puzzle yang telah disusun rapi, seperti Adanya pertemuan OSIS membahas program yang belum terlaksana, les privat Matematika, Fisika, dan Kimia yang menjemukan, dan lima proyek besar sudah menanti untuk segara diselesaikan dengan tenggat waktu yang singkat.Â
Semuanya ia lakukan satu demi satu bertujuan untuk memenuhi seleksi masuk Universitas Oxford, impian yang telah digantungkan tinggi oleh orang tuanya.
"Kenapa harus secepat ini" gumamnya pelan, menatap secangkir kopi yang menguap di hadapannya. Dulu, sarapan adalah waktu yang ia nanti-nantikan. Ia akan bercerita pada ibunya tentang mimpi-mimpi indahnya, tentang keinginannya menjadi seorang penulis. Namun, sekarang, waktu untuk bermimpi terasa begitu mewah.
Setiap hari adalah perlombaan tanpa akhir. Alya berlari mengejar kesempurnaan yang telah ditetapkan orang tuanya. Ia harus menjadi yang terbaik dalam segala hal. Prestasi akademik yang gemilang, bakat kepemimpinan yang mumpuni, dan keterampilan sosial yang prima---semuanya harus ia miliki. Tekanan itu terasa begitu berat, menindih dadanya hingga sesak.
"Aku lelah," batinnya suatu malam, sambil menatap langit malam dari jendela kamarnya. Ia teringat masa kecilnya, saat ia bebas bermain di taman belakang rumah bersama teman-teman masa kecilnya. Mereka membangun istana pasir, bermain petak umpet, dan tertawa lepas. Namun, seiring bertambahnya usia, kesenangan-kesenangan sederhana itu perlahan sirna digantikan oleh tumpukan buku dan jadwal yang padat.
Malam itu, dengan keberanian yang besar, Alya sekali lagi mencoba berbagi beban hatinya pada orangtua. Ia ingin mengejar minatnya melukis, namun harapannya selalu pupus. Ayah, sibuk dengan telepon bisnisnya, hanya menggeleng dan mengulang, 'Demi masa depanmu.' Ibunya, sibuk dengan laptop, memberikan tatapan dingin. Merasa tidak didengar, Alya dipenuhi kemarahan, kesedihan, dan kecewa. Ia merasa kesepian dan terisolasi. Kekecewaan mendalam mendorongnya memberontak. Ketika Alya mengungkapkan kekecewaannya, ibunya hanya berkata, 'Kamu sudah mulai berani ya sama ibu sama ayah.' Mendengar itu, Alya semakin kecewa. Dengan air mata berlinang, ia berteriak, 'Aku bisa hidup tanpa kalian semua!' lalu berlari ke kamarnya.
Sebagai ketua OSIS, Alya selalu tampil percaya diri dan tegas. Namun, di balik sosok pemimpin yang disegani itu, ia menyimpan kerentanan yang jarang diketahui orang lain.Â