Semenjak ditetapkannya Covid 19 sebagai pandemi dunia, seluruh aktivitas umum perlahan berhenti, Â termasuk bidang pendidikan. Siswa-siswa dilarang untuk datang ke sekolah agar bisa mencegah virus Covid19 menyebar. Siswa belajar dari rumah, guru mengajar dari rumah.Â
Pembelajaran dilakukan melalui online atau e-learning. Situasi ini tentu tidak lazim bagi kalangan masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih pandangan bahwa pendidikan = sekolah.Â
Namun jika kita memahami pemikiran Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hajar Denpasar yang mengeluarkan teori Tri Pusat Pendidikan. Tri Pusat Pendidikan yang dimaksud yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.
Bahkan dalam pandangan beliau keluarga adalah pusat pendidikan yang pertama dan utama. Sekolah dan masyarakat adalah pendukung untuk mengembangkan aspek-aspek kognitif dan psikomotor.
Pendidikan di keluarga ini disebut pendidikan informal yang memberikan pendidikan afektif yakni berupa dasar ahlak dan karakter manusia pertama kali. Pendidikan nilai dan tauladan di lingkungan keluarga adalah pondasi utama bagaimana peserta didik itu bisa berkembang di pusat pendidikan selanjutnya yaitu sekolah dan masyarakat.Â
Sekolah adalah pendidikan formal yang sangat diatur oleh berbagai peraturan. Peraturan itu tentu mengikat sekolah dan seluruh komponen pendidikan termasuk guru dan peserta didiknya. Tetapi ada juga yang berpandangan bahwa guru terlalu membebani siswa dengan tugas dan materi.Â
Ketahuilah bahwa guru sebenarnya juga terbebani dengan itu semua, mereka harus menilai, memberikan koreksi, menginput nilai, melaporkan keatasannya. Semua harus dilaksanakan karena itu sesuai dengan pedoman pendidikan. Kedua pusat pendidikan yakni keluarga dan sekolah tentu tidak akan berjalan dengan baik jika tidak di dukung oleh masyarakat.Â
Kontrol sosial dan budaya dari masyarakat memperkuat dan mempercepat pencapaian tujuan pendidikan. Masyarakat adalah pusat pendidikan yang bersifat nonformal. Pendidikan di masyarakat bisa berupa lembaga non formal misalnya kursus, namun yang lebih penting adalah proses pembudayaan.Â
Pembudayaan di sini maksudnya bagaimana masyarakat menjadi arena implementasi praktek nilai pendidikan. Masyarakat menjadi role moedel pekasanaan pendidikan, dengan peninggalan peradabannya. Masyakat mendukung bahwa orang berpendidikan adalah manusia yang seutuhnya sesuai dengan karakter budayanya.
Kenyataannya tidak semua di antara kita memahami hal tersebut. Selama ini banyak kalangan yang berpandangan  bahwa baik-buruk pendidikan ini ditentukan oleh sekolah. Tetapi terkadang kita lupa masih ada pusat pendidikan keluarga dan masyarakat.Â
Banyak orangtua yang terlalu sibuk memikirkan masa depan yang nanjauh  di sana, tetapi lupa menjaga anaknya yang ada disisinya. Mereka terlalu memikirkan nanti nanti anak-anaknya akan menjadi dokter, arsitek, atau guru.Â
Namun mereka lupa menjaga dokter buat kesehatan anaknya di rumah. Lupa menjadi arsitek dengan merancang karakternya. Lupa menjadi guru agar bisa memberikan tauladan yang baik untuk hidup kelak. Pandemi covid19 telah mengembalikan marwah pendidikan pada pendidikan pertama dan utama yaitu di keluarga.Â
Orangtua yang umumnya sibuk dengan aktivitas kerja mereka sekarang dipaksa untuk ikut mendampingi anak-anaknya belajar. Mereka mulai menyadari bahwa anak-anaknya memiliki beban berat dalam studynya .Â
Orang tua mulai tahu bahwa mendampingi anak-anak belajar tidak semudah ketika  menyalahkan guru. Pandemi covid19 membuka tabir itu, tanpa guru banyak anak-anak yang tidak mau belajar. Membuat siswa belajar tidak semudah memukul pantat kuda biar mau berjalan.Â
Tidak seperti mencetak batako tinggal campur dan cetak jadilah yang diinginkan. Peserta didik yang dulu menjadikan belajar sebagai alasan untuk tidak membantu orangtua pun akhirnya terbuka karena harus ada di rumah saja. Meraka bisa banyak belajar tentang hidup bersama keluarganya di rumah.
Situasi pandemi ini juga menjadikan hubungan sosial yang dulu tidak terlalu dekat sekarang bisa tumbuh kembali. Banyak anak-anak yang awalnya dititipkan di TPA, di tinggal bekerja bersama baby sister atau bersama nenek dan kakeknya, pandemi ini telah mengembalikan orangtua yang mereka tangisi dulu. Namun tentu kita tidak berharap bahwa situasi ini terus akan berlanjut.Â
Dari sisi psikologi dan kenyamanan bersama dengan orangtua mereka setiap hari adalah proses pendidikan tentu tidak dipungkiri banyak terjadi dalam situasi pandemi ini. Dalam aspek ini pandemi covid19 telah menumbuhkan proses pengkarakteran di rumah yang dulu terkikis oleh kesibukan mencari nafkah. Selama pandemi ini orangtua mendapatkan tugas mendampingi anak-anaknya untuk belajar.Â
Peserta didik harus bisa membagi waktu antara membantu orangtuanya dan mengerjakan tugas sekolah atau kampusnya. Peserta didik yang dulunya banyak membaca buku dan terbang ke berbagai belahan dunia melalui berbagai kisah dari buku dan gurunya di sekolah. Hari ini mereka bisa belajar banyak pengalaman dari guru utamanya yaitu orang tua.Â
Banyak siswa belajar tentang menjalani hidup di dapur bersama ibunya memasak, berkebun bersama ayahnya, bermain bersama adik dan kakaknya. Situasi yang langka ketika kehidupan normal karena mereka semua beraktivitas di tempat yang berbeda.
Suasana kebatihan dalam kehidupan bersama di dalam suasana pandemi covid19 ini tentu harus dipandang sebagai hal yang harus disyukuri. Bahwa alam telah mengajarkan kita semua bahwa sejatinya tujuan hidup kita tidak sejauh yang dibayangkan.Â
Kebahagiaan itu tidak selalu identik dengan kemewahan, keindahan itu tidak selalu identik dengan pemandangan alam di tempat yang ramai. Semuanya itu ada di rumah ada di keluarga yang rukun penuh dengan suasana kebersamaan.Â
Begitu juga dengan pendidikan tidak semua masalah anak kita adalah masalah sekolah dan gurunya. Tetapi sebagian besar masalah itu berasal dari keluarga, baik buruk anak kita tidak jauh dari pola asuh dan pendidikan yang diterapkan di keluarga. Sekolah dan masyarakat tidak akan bisa mengubah apapun jika keluarga telah membentengi anak-anak kita dengan baik.Â
Seperti pepatah mengatakan buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Baik buruk anak-anaknya tidak akan lepas dari bagaimana orangtua memperlakukan anaknya. Â Ingatlah ahlak yang baik karakter yang kuat adalah benteng yang utama dalam menjalani hidup nanti.Â
Seperti hasil riset Thomas J. Stenley penulis Amerika menyatakan penentu kesuksesan pertama itu adalah kejujuran, baru diikuti dengan displin, mudah bergaul, dukungan pendamping hidup, kerja keras, kecintaan terhadap pekerjaan, kepemimpinan, kepridian kompetitif, hidup teratur, dan kemampuan menjual ide.Â
Jika dipandang 10 aspek ini adalah soft skill yang banyak didapatkan dari pendidikan keluarga, ekstra kurikuler dan kegiatan non akademik lainnya. Artinya bahwa keluarga tidak bisa dikesampingkan dalam menentukan kesuksesan nanti.
Keluarga sangat berperan penting dalam pendidikan kita. Mari nikmati kebersamaan bersama keluarga ini sembari berdoa, Â membiasakan pola hidup sehat dan mengikuti himbaun pemerintah agar pandemi ini segera berlalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H