Mohon tunggu...
Putra Wibowo
Putra Wibowo Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

mahasiswa uin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perubahan Konsepsi Keyakinan Manusia

13 April 2020   13:40 Diperbarui: 13 April 2020   13:45 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Definisi agama secara umum adalah sebuah ajaran atau keyakinan yang di dalamnya terdapat nilai, norma dan aturan yang ditujukkan kepada manusia untuk menjalani kehidupannya. Tuhan memberikan agama kepada manusia agar ia berbeda dengan makhluk lain, dengannya manusia bisa mengontrol hawa nafsunya supaya tidak salah jalan. 

Agama yang ada di dunia memiliki catatan historis yang panjang, Auguste Comte merangkum ekspresi beragama manusia menjadi tiga tahap; teologis, metafisik dan positivisme. Ketiga tahap tersebut sudah terjamah oleh manusia dan untuk saat ini keyakinan masyarakat global berada di tahap yang ketiga, tahap positivisme.


Meskipun teori yang dicetuskan oleh Comte sering disebut tahapan berpikir manusia, namun pada kenyataannya perkembangan pemikiran itu menghasilkan kepercayaan baru yang pada akhirnya menjadi riwayat lahirnya agama-agama di dunia. Berkat adanya akal yang diberikan oleh Tuhan maka kemampuan berpikir manusia terus berkembang dan mengalami perubahan. 

Manusia menyadari bahwa di luar dirinya ada kekuatan yang mempengaruhi alam semseta ini, ketika hal semacam ini tidak dapat dijangkau pikiran dan tidak bisa dijelaskan ilmu pengetahuan maka hal tersebut sudah menjadi objek keyakinan, konsep keyakinan dalam hati yang mampu mendeskripsikannya.


Sejak era primitif manusia sudah mengenal agama, meskipun mereka tidak menyebut itu sebagai agama tapi dalam hati mereka ada keyakinan terhadap kekuatan adikodrat yang menaunginya. Ajaran atau keyakinan yang dianut manusia di setiap zamannya memberikan utopia bagi penganutnya, masing-masing agama memiliki versi utopianya tersendiri sebagai daya tarik agar manusia mau ikut dan taat terhadap aturan yang di suguhkan oleh sistem kepercayaan yang di yakininya.

Seperti halnya pikiran manusia, kepercayaan terhadap Tuhan dan kekuatan adikodrat juga memiliki klasifikasinya sendiri, yaitu fetisisme, politheisme, dan monotheisme.


Fetisisme ialah suatu bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi  kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri (roh-roh), dan manusia pada tahap ini mempercayai kekuatan jimat atau benda. Polithesime ialah suatu bentuk pikiran yang muncul karena ada kekuatan-kekuatan yang mengatur kehidupan atau gejala alam (dewa-dewa atau makhluk ghaib). Monotheisme ialah kepercayaan pada dewa yang  mulai digantikan dengan zat tunggal atau hanya Tuhan yang berdaulat dan berkuasa untuk mengendalikan alam ini (Chabibi, 2019).


Kepercayaan masyarakat terhadap sesuatu yang memiliki pengaruh luar biasa  terhadap kehidupannya terus berubah. Pada awalnya manusia mempercayai bahwa sebagian benda yang ada di bumi ini memiliki roh yang bisa mempengaruhi hidupnya, oleh karena itu ia sembah dan dijadikannya tempat meminta dan berkeluh kesah, fase ini terjadi ketika manusia masih berada dalam kerangkeng primtif.


Lahirnya abstraski sebagai dampak dari manusia yang terus berpikir maka persepsi mereka tentang keyakinan pun ikut burubah dan menghasilkan konsepsi keyakinan baru bahwa hidup ini di atur oleh dewa-dewa dan kekuatan adikodrat yakni Tuhan. Agama terus berkembang dan masyarakat semakin agamis ditambah penyebarluasan agama-agama abrahamik yang mendominasi semua sendi kehidupan. 

Namun sebaliknya, keberhasilan agama-agama tadi justru di anggap sebagai wabah bagi para ilmuwan eropa karena mereka harus tunduk dan patuh dengan semua doktrin-doktrin agama yang kurang disepakatinya, jika para ilmuwan memiliki argumen yang bertentangan dengan doktrin agama, maka mereka harus bersiap untuk di adili, keadaan seperti ini disebut era kegelapan bagi bangsa Eropa, karena doktrin agama yang memaksa ini para ilmuwan tidak bisa mengembangkan kegiatan ilmiahnya sehingga ilmu pengetahuan mengalami kemerosotan.


Masa kegelapan berakhir pada abad 16 sekaligus menjadi masa transisi tahap berpikir dari metafisik ke positivisme ditandai adanya revolusi Perancis sebagai saksi atas berkembangnya nalar manusia.  Dalam fase ketiga ini manusia lebih percaya serta mengandalkan hal-hal yang ilmiah dan empiris serta bisa di rasakan oleh indera manusia. 

Meskipun tidak semua manusia modern demikian, akan tetapi kebanyakan orang khususnya di Barat berpaham materialisme, mereka hanya percaya pada sesuatu  yang bisa dilihat dan dirasakan saja dan di legitimasi melalui penelitian ilmiah. Akibatnya banyak dari mereka yang Atheis karena zat Tuhan tidak bisa dibuktikan keberadaannya dan itu telah melanggar prinsip materialsime yang dipegangnya.


 Sifat masyarakat yang dinamis menjadi filter tersendiri bagi agama yang ada di muka bumi, manusia membutuhkan agama yang memiliki nilai dan norma yang akan terus relevan sejalan dengan masa kehidupannya, apabila manusia bertemu dengan agama yang tidak bisa memenuhi ekspektasinya maka dengan sendirinya agama itu akan di tinggalkan dan terdegradasi.


Dalam pandangan Marx, agama diposisikan sama seperti produk-produk dari kegiatan kreatif manusia lainnya. Artinya adalah agama dengan segala nilai dan moralitas yang dimilikinya sesungguhnya hasil dari memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Namun bukan keberlangsungan dan kebutuhan hidup yang diberikan agama kepada manusia sebagai pembentuknya tetapi justru keterasingan dan pembatasan-pembatasan manusia mengembangkan kreatifitasnya (Mutaqqin, 2013).


Pandangan Marx  terhadap agama memang lebih condong kepada fungsi yang ada pada agama itu sendiri, ia berargumen bahwa fungsi agama adalah tempat pelarian ketika manusia sedang memiliki masalah serta keluh kesah dalam kehidupannya, maka dengan hadirnya agama bisa meringankan sedikit beban mereka dan mengurangi resiko stres yang berlebihan. 

Semasa ia hidup jiwa kritisnya selalu tajam dalam mencium permasalahan yang ada dalam masyarakat , persoalan agama pun tak luput dikritiknya, menurutnya ayat-ayat suci yang ada pada ajaran agama hanya dijadikan legitimasi oleh kaum borjuis kapitalis untuk terus mengeksploitasi rakyat kecil, dengan dalil agama yang dijadikan sandaran maka tidak mungkin orang-orang akan menginetrupsi dan memberontak.


Sebab kalau mereka sampai melakukan hal semacam itu maka otomatis mereka juga memberontak kepada Tuhan karena ayatnya tidak diindahkan, inilah strategi kaum borjuis kapitalis. Oleh sebab itu maka, Mark menentang ayat suci dijadikan legitimasi untuk mendiskriminasi dan mengeksploitasi manusia lainnya, karena bahwasannya konsepsi semacam ini akan memicu permasalah yang rumit di masyarakat serta kelas sosial semakin curam kemudian disparitas borjuis dan proletar semakin terlihat.


Marx juga menyebut agama sebagai opium (candu). Meskipun agak susah memaknai kata “opium” yang digunakan Marxk pada waktu itu, paling tidak ada pemaknaan umum bahwa opium adalah sejenis narkotika yang bisa menimbulkan fantasi. Fantasi agama adalah sebuah bentuk perlarian dari kehidupan riil. Manusia telah memproyeksikan kebahagiaannya sebagai sesuatu yang dapat dirasakan setelah kehidupan ini. Marx sangat tidak sepakat dengan kenyataan seperti itu. Kenapa manusia hanya dapat merasakan kebahagiaan hanya di akhirat nanti? Sementara di dunia ini ada segolongan prang yang selalu dapat merasakan kebahagiaan tersebut (Misbah, 2015).


Oleh karena itu bagi mereka yang berpaham materialisme konsepsi agama sukar untuk di percaya, karena mereka harus meyakini sesuatu yang tidak bisa ia tangkap dengan panca indera manapun. Kompetisi antara ilmu pengetahuan dan agama memang akan terus berlangsung, kaum intelektual yang lebih percaya hanya kepada hal-hal yang realistis dan terbukti secara ilmiah akan memilih untuk tidak percaya kepada Tuhan karena ia mengandalkan kemampuan nalarnya untuk menjawab semua persoalan yang ada dalam kehidupan manusia. 

Seorang fisikawan asal Inggris yakni Stephen Hawking berpendapat bahwa ketika semua persoalan sudah bisa dijelaskan lewat ilmu pengetahuan, maka posisi Tuhan tidak diperlukan lagi. Realitasnya kini masyarakat modern terlebih di belahan dunia Barat memang banyak yang atheis akibat dari terlalu mengandalkan ilmu pengetahuan, padahal kemampuan berpikir manusia terbatas.


Fenomena sosial yang telah dipaparkan di atas mungkin bisa menjadi indikator bahwa konsepsi keyakinan manusia mengalami perubahan di setiap zamannya. Sejalan dengan ucapannya Marx bahwa di era masyarakat modern lambat laun agama akan di tinggalkan oleh penganutnya dan beralih kepada ilmu pengetahuan.

Daftar Pustaka

Chabibi, M. (2019). Hukum Tiga Tahap Auguste Comte dan Kontribusinya Terhadap Kajian Sosiologi Dakwah. Nalar: Jurnal Peradaban dan Pemikiran Islam, 3, 19.
Misbah, M. (2015). Agama dan Alienasi Manusia ) Refleksi Atas Kritik Karl Marx Terhadap Agama). Komunika : Jurnal Dakwah dan Komunikasi, 9.
Mutaqqin, A. (2013). Karl Marx dan Friederich Nietzsche Tentang Agama. Komunika: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, 7.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun