Mohon tunggu...
Putra Tente
Putra Tente Mohon Tunggu... Dosen - Aktivis sosial

Mengamati dunia politik Indonesia terkait desentralisasi/otonomi daerah.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Jargon Politik Primordial Tak Relevan di Era Politik Temporer.

10 Januari 2024   12:13 Diperbarui: 10 Januari 2024   12:27 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

JARGON POLITIK PRIMORDIAL SUDAH TAK RELEVAN DIERA POLITIK TEMPORER.

(Tulisan ini menggunakan theory kuda.)

Dalam lansekap dan profil sosial culture masyarakat Indonesia, terdiri-dari beragam budaya, ribuan suku dan bahasa dari sekian banyak suku yang paling besar suku Jawa-(40%) dan Sunda (30% sisahnya suku-suku lainya seperti suku batak-betawi-minang-bugis-makasar dll, menggambarkan Indonesia adalah negeri plura. meski berbeda-beda suku dan budaya, masyarakat indonesia berjiwa nasionalis bisa melebur jadi satu (S.Pemuda 1928), lewat pendekatan bahasa persatuan kemudian tumbuh sebagai satu bangsa yang matang secara politik.

Dalam aspek sosial-ekonomi-politik masyarakat indonesia masih dihadapkan oleh beragam permasalahan internal yang belum terselesaikan butuh proses terutama terkait persoalan budaya politik,sistem politik serta infrastruktur belum terlembagakan dengan baik, termasuk mindzet, perilaku politik para aktor politik,politisi nir ideologi dan sikap kenegarawan.

Pasca diberlakukan sistem desentralisasi menggantikan sistem sentralistik bagian dari bergaining politik untuk stabilitas nasional melalui pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah propinsi daerah kabupaten maupun kota.

Pada sisi yang lain sistem desentralisasi telah mendorong bangkit politik primordialisme dapat kita amati dari pemilu ke pemilu baik pilpres maupun pilkada mulai pemilu 2004-2009-2014-2019, grafisnya menunjukan kenaikan signifikan, terlihat pada kebangkitan politik "civiel sociaty"  agamawan dan budayawan pada pemilu presiden tahun 20219 preferensi politik mereka sangat sentral sangat memengaruhi bahkan parpol-aktor politik dan politisi sangat bergantung guna mendapatkan legitimasi politik.

Pola hubungan simbiosis mutual antara politisi dan agamawan-budayawan mencuat kembali pada pemilu presiden-legislatif tahun 2024. Meski pun para pemain dari golongan agamawan berganti, ketokohan Habib Riziq pada pilpres 2019, mendukung PS-Sandi sangat sentral mampu menggerakkan kelompok islam fundamentalis.

Dalam menghadapi pilpres 2024 peran Habib Riziq sebagai representasi dan preferensi politik islam terlihat meredup dan posisi central disematkan pada kiyai abah aos dan ustad somad tapi kurang greget.

Kehadiran cak imin sebagai representasi islam moderat sebagai cawapres Anis baswedan bisa dilihat sebagai bentuk rekonsiliasi politik bagi para kelompok islam, meski pada pilpres 2019, masing-masing kelompok islam  menempuh jalan politik saling berlawanan, kaum islam moderat mendukung Jokowi-Maa'ruf Amin.

Dramaturgi politik kelompok islam politik dengan Prabowo Subiyanto Ambyar, manakala PS memutuskan bergabung dalam kabinet presiden Jokowi menjadi menhan.

Langkah politik PS bergabung Jokowi mantan rival politiknya membuat kelompok islam politik kecewa dan geram karena merasa dikhianati. mendorong kelompok islam politik mencari figur politik baru persiapan menghadapi pilpres 2024.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun