Al-Qur'an, sebagai pedoman utama bagi umat Islam, tidak hanya memberikan petunjuk dalam urusan ibadah, tetapi juga memberikan arahan yang jelas terkait perilaku sosial. Salah satu yang ditekankan dalam Al-Qur'an adalah larangan terhadap miras (khamr) dan judi (maisir). Dalam perspektif Al-Qur'an, kedua praktik ini dianggap merugikan individu dan masyarakat, serta bertentangan dengan nilai-nilai moral yang diajarkan oleh Islam.
Pesan sosial Al-Qur'an tentang menjauhi miras dan judi memiliki dua dimensi utama yaitu dimensi sosial dan dimensi spiritual. Secara sosial, larangan terhadap miras dan judi bertujuan untuk menjaga kesejahteraan masyarakat. Praktik miras dan judi dapat menyebabkan kerusakan dalam hubungan sosial, meningkatkan tingkat kejahatan, serta memperburuk kondisi ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, dengan menjauhi praktik ini, umat Islam diharapkan dapat membangun masyarakat yang lebih harmonis, adil, dan sejahtera.
Sementara itu, dari segi spiritual, larangan terhadap miras dan judi juga memiliki implikasi yang dalam. Praktik-praktik ini dianggap sebagai perbuatan yang merusak hubungan individu dengan Allah. Miras dan judi dapat menghambat seseorang dari menjalankan ibadah dengan baik, serta menghalangi mereka untuk meraih keberkahan dalam hidup. Dalam Al-Qur'an, Allah menegaskan bahwa kesehatan spiritual sangat penting, dan praktik-praktik yang merusak seperti miras dan judi dapat mengganggu keseimbangan tersebut.
Allah telah menjelaskan dalam Al-Qur'an terkait larangan miras dan judi dalam beberapa surah berikut ini:
1. Surah Al-Baqarah ayat 219:
فِي ٱلْخَمْرِ وَٱلْمَيْسِرِ رِجْسٌۭ مِّنْ عَمَلِ ٱلشَّيْطَـٰنِ ۖ فَٱجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Dalam khamr (minuman keras) dan judi terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya."
Ayat tersebut menegaskan bahwa minuman keras dan judi memiliki dampak negatif yang jauh lebih besar daripada manfaatnya. Larangan terhadap keduanya bertujuan melindungi individu dan masyarakat dari ketergantungan, kerusakan kesehatan, kecelakaan, konflik interpersonal, dan kerugian finansial serius. Praktik-praktik tersebut berpotensi menciptakan ketidakstabilan sosial dan ekonomi yang merugikan secara luas.
2. Surah An Nisa ayat 43
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكٰرٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا اِلَّا عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوْرًا ٤٣
Ayat ini melarang umat Islam untuk melakukan shalat ketika dalam keadaan mabuk atau junub. Shalat dalam keadaan mabuk dikhawatirkan tidak khusyuk dan tidak memahami bacaan maupun gerakan shalat. Namun, jika tidak memungkinkan untuk mandi atau mendapatkan air, boleh bertayamum menggunakan debu yang suci. Menjaga kesucian shalat berarti shalat dilakukan dengan kondisi fisik dan jiwa yang bersih, serta menjauhi hal-hal yang dapat mengganggu kekhusyukan agar shalat diterima oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.