Hiruk-pikuk Jakarta tak pernah henti, terutama di kawasan Tanah Abang, pusat perdagangan terbesar di Indonesia. Di balik megahnya gedung-gedung dan kemilau transaksi ekonomi, tersembunyi realitas kehidupan manusia kardus—kelompok masyarakat yang hidup di bawah bayang-bayang ketimpangan sosial. Mereka adalah individu atau keluarga yang menjadikan kardus sebagai alas dan atap, bertahan di tengah kerasnya ibukota. Namun, satu pertanyaan sederhana tetapi mendalam muncul: apakah manusia kardus bahagia?
Kehidupan di Balik Kardus
Manusia kardus bukan sekadar simbol kemiskinan. Mereka adalah cerminan perjuangan di tengah arus urbanisasi yang kian menekan. Mereka hidup dari pekerjaan informal seperti memulung, mengamen, atau menjual barang bekas. Tanah Abang, dengan segala kesibukan dan dinamikanya, menjadi tempat mereka bertahan hidup—mencari rezeki dari sisa-sisa kehidupan modern.
Namun, kehidupan mereka penuh keterbatasan. Tidak ada rumah yang layak, apalagi kenyamanan. Pendidikan dan fasilitas kesehatan pun sulit dijangkau. Semua yang mereka lakukan hanya untuk satu tujuan: bertahan hidup. Di tengah kekurangan ini, muncul pertanyaan: bagaimana mereka memaknai kebahagiaan?
Makna Bahagia bagi Manusia Kardus
Bagi kebanyakan dari kita, kebahagiaan mungkin identik dengan kemapanan, akses terhadap pendidikan, atau kenyamanan hidup. Namun, bagi manusia kardus, kebahagiaan mungkin memiliki makna yang berbeda.
Bahagia adalah Bertahan Hari Ini
Seorang pemulung mungkin merasa bahagia jika berhasil mengumpulkan cukup barang bekas untuk dijual dan membawa pulang makanan untuk keluarga. Di tengah ketidakpastian ekonomi, setiap hari yang terlewati adalah kemenangan kecil.
Jaringan Sosial sebagai Sumber Dukungan
Kebersamaan dengan sesama manusia kardus juga menjadi penguat. Mereka saling berbagi informasi, membantu satu sama lain, dan membangun komunitas kecil yang menopang mereka di tengah keterasingan kota besar.
Menerima dengan Ikhlas
Banyak dari mereka mengandalkan filosofi hidup sederhana: menerima apa yang ada dengan ikhlas. Ini tidak berarti mereka tidak bermimpi atau berharap lebih baik, tetapi sering kali, harapan besar terasa terlalu jauh untuk diraih.
Ketimpangan dan Tantangan Kebahagiaan
Meskipun manusia kardus mungkin menemukan kebahagiaan sederhana dalam keseharian mereka, ketimpangan sosial tetap menjadi bayang-bayang yang sulit diabaikan. Di satu sisi jalan, ada gedung-gedung megah dan pusat perbelanjaan, sementara di sisi lain ada individu yang tidur beralaskan kardus. Kontras ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah kebahagiaan sejati dapat tercapai ketika ketimpangan sedemikian nyata?
Bantuan sosial yang disalurkan pemerintah sering kali tidak menyentuh kelompok seperti manusia kardus. Mereka berada di luar sistem formal, sulit dijangkau oleh program-program kesejahteraan. Akibatnya, kebahagiaan mereka rentan—guncang oleh perubahan kecil dalam ekonomi atau kebijakan.
Mencari Kebahagiaan yang Lebih Berarti
Menyingkap kebahagiaan manusia kardus adalah tantangan sosiologis yang kompleks. Kebahagiaan mereka tidak bisa hanya dilihat dari kacamata materialistik, tetapi juga dari bagaimana mereka menemukan makna hidup di tengah keterbatasan.
Namun, kebahagiaan mereka juga menjadi cerminan kegagalan kita sebagai masyarakat yang lebih luas. Ketika masih ada manusia yang harus tidur di bawah kardus dan mencari makan dari sisa-sisa, sudah seharusnya kita bertanya: apa yang bisa kita lakukan untuk membuat kebahagiaan mereka lebih stabil dan bermakna?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H